Thursday, April 25, 2024
spot_img

Amnesty International: Reputasi Indonesia Rusak Jika Cegah Nelayan Aceh Bantu Rohingya

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Amnesty International Indonesia mengapresiasi inisiatif nelayan Aceh yang dari awal menunjukkan simpati dan empati ke pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di perairan Bireuen, Aceh. Amnesty menilai reputasi Indonesia terkait situasi Myanmar akan rusak jika mencegah nelayan Aceh membantu Rohingya.

“Dalam pandangan kami, para nelayan Aceh telah memberi teladan yang mulia betapa kita sebagai bangsa yang bermartabat memiliki kewajiban untuk menolong orang-orang yang terapung di laut,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dilansir acehkini, Rabu (29/12).

Karenanya, menurut Usman, Pemerintah Indonesia seharusnya juga menunjukkan keteladanannya dalam solidaritas kemanusiaan. Indonesia dinilai telah memiliki reputasi yang cukup dihormati dalam menyikapi situasi di Myanmar terutama setelah kudeta militer. 

“Jika Indonesia menolak kedatangan pengungsi Rohingya dan atau mencegah nelayan untuk memberikan solidaritas kemanusiaannya maka itu akan merusak reputasi Indonesia terkait situasi Myanmar,” ujar Usman.

Penolakan itu juga dapat menunjukkan kebijakan yang inkonsisten karena Indonesia memiliki pengalaman penyelamatan sebelumnya, yaitu ketika menerima kedatangan pengungsi Rohingya pada Juni dan September 2020. 

“Indonesia saat ini mengemban amanat penting yaitu sebagai Presiden G20 karena itu seharusnya dapat menunjukkan kepemimpinannya dengan menerima dan memenuhi hak asasi manusia dari para nelayan tersebut. Solidaritas dari para nelayan itu justru memperlihatkan sikap yang bermartabat sebagai warga dunia,” kata Usman.

Sikap-sikap yang ditunjukkan oleh nelayan yang menolong pengungsi Rohingya, kata dia, justru selaras dengan hukum-hukum bangsa di dunia. 

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS), Konvensi Pencarian dan Pertolongan Maritim (Maritime Search and Rescue Convention, Konvensi SAR), dan Konvensi Internasional untuk Keselamatan Penumpang di Laut (International Convention for the Safety of Life at Sea, Konvensi SOLAS) yang mewajibkan negara pantai untuk memberikan bantuan dan mengkoordinasi operasi pencarian dan pertolongan (SAR) terhadap orang-orang yang berada dalam kesulitan di laut, terlepas dari kewarganegaraannya.

Tidak hanya itu, menurut Usman, hukum kebiasaan internasional juga mengatur adanya prinsip non-refoulement, yang mengatur bahwa negara tidak boleh mengirim para pengungsi dan pencari suaka ke tempat di mana nyawa mereka terancam, termasuk mendorong kembali para pengungsi tersebut ke laut.

Kapal pengungsi Rohingya terpantau nelayan Bireuen pukul 11 siang Ahad (26/12). Jaraknya sekitar 70 mil dari daratan antara Peulimbang dan Peudada, Kabupaten Bireuen. Nelayan langsung melaporkan ke aparat keamanan begitu melihat kapal Rohingya. Sampai Rabu (29/12) sore, kapal itu masih tertambat di rumpon nelayan berjarak 45 mil dari daratan.

Aparat keamanan Indonesia berencana menggiring kapal pembawa 120 pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di laut Bireuen, Aceh, ke kawasan Malaysia, meski ada desakan untuk mendaratkan mereka.

Direktorat Kepolisian Air dan Udara Kepolisian Daerah Aceh, Kepolisian Resor Bireuen, Angkatan Laut, dan Pemerintah Kabupaten Bireuen memasok bantuan berupa bahan bakar minyak dan makanan ke kapal Rohingya itu sebelum menuju ke laut lepas.

Badan PBB untuk Pengungsi atau UNHCR dan Amnesty International mendesak pemerintah Indonesia menampung dan mendaratkan pengungsi Rohingya itu. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU