Friday, April 26, 2024
spot_img

Selamat Tinggal Organisasi Mahasiswa?

Sepuluh tahun terakhir, beragam komunitas lahir di sekitar kita. Mulai dari komunitas pecinta klub sepak bola, komunitas sepeda motor, komunintas mobil merek tertentu, hingga komunitas bersih-bersih pantai, komunitas donor darah, dan klub membaca. Komunitas fotografi dan film juga cukup banyak dan kuat di Aceh sekarang. Komunitas film seperti Aceh Documentary sudah punya jaringan nasional dan internasional dengan sejumlah pegiat yang sudah jadi award-winning film maker yang diakui.

Bukan hanya di wilayah urban seperti Banda Aceh, aneka komunitas lahir di berbagai pelosok Pidie, Bireuen, hingga dataran tinggi Gayo. Begitu juga di wilayah barat-selatan dan timur Aceh. Fenomena serupa menjamur di berbagai wilayah Indonesia.

Pada tahun 2017, saat beberapa peneliti muda ICAIOS menggerakan kegiatan Hari Sampah Nasional (HSN), tak kurang dari 55 komunitas di Banda Aceh ikut berkolaborasi. Mereka membentuk Forum Kolaborasi Komunitas (FKK) dan sering berkumpul di Tamansari Bustanussalatin, Banda Aceh.

Fenomena apa ini? Kenapa para anak muda membentuk dan berkegiatan dalam berbagai komunitas itu? Kemana organisasi mahasiswa?

Belakangan ini saya teringat salah satu nasihat dari Kuntoro Mangkusubroto. Saat itu sedang terjadi proses penutupan operasi BRR di tahun 2009. Ketua BRR Aceh-Nias, yang juga guru besar teknik industri di ITB, berpesan dalam sejumlah kesempatan: “Jangan bangun organisasi. Bangunlah komunitas.” Tentu itu berbasis pengetahuan akademik dan akumulasi pengalaman empirisnya. Termasuk saat memimpin BRR tahun 2005 sd 2009.

Komunitas itu terbangun karena adanya passion (gairah) bersama. Walaupun sifatnya lebih cair, ia cenderung bertahan lebih lama. Selain karena gairah bersama, komunitas biasanya juga lebih egaliter. Pengambilan keputusan dalam komunitas lebih demokratis, dan karena itu anggotanya justru merasa punya rasa memiliki yang lebih kuat terhadap komunitas ketimbang organisasi.

Dari mahasiswa kupu-kupu ke kunang-kunang?

Banyak mahasiswa saya aktif dan menjadi tokoh organisasi mahasiswa di dalam maupun di luar kampus. Tapi mereka juga menjadi bagian dari berbagai komunitas. Seringnya lebih dari satu komunitas malah. Trennya adalah, aktif di hanya satu organisasi mahasiswa kampus, malah banyak yang tidak di satupun, tapi justru berkegiatan di lebih dari satu komunitas.

Karena itu, mahasiswa “kupu-kupu”, mahasiswa yang kerjanya “kuliah-pulang kuliah-pulang”, makin sedikit. Tapi mahasiswa “kura-kura”, mahasiswa yang kerjanya “kuliah-rapat kuliah-rapat” juga tak banyak lagi. Karena katanya satu aksi lebih penting dari 1000 rapat.

Senior berjas almamater hanya disegani pada masa orientasi mahasiswa baru saja. Mereka inipun kehilangan panggung ketika wabah Covid-19 memaksa orientasi dilakukan secara daring. Para penguasa kampus juga tak bisa lagi melakukan monolog berjam-jam di atas panggung saat mahasiswa bosan atau kepanasan di lapangan.

Sebentar ada tuduhan mahasiswa kupu-kupu dan mahasiswa kura-kura telah berubah menjadi mahasiswa “kunang-kunang”. Mahasiswa yang kerjanya “kuliah-nangkring kuliah-nangkring” karena banyak yang nangkring dan nongkrong di warkop dan café.

Generasi baby boomer, generasi X dan Y, sempat curiga: “Anak muda sekarang, termasuk mahasiswa sibuk main game online di warkop,” tuduh mereka dengan generalisasi berlebihan. Memang ada anak muda yang ketagihan game online bahkan judi daring. Tak kurang MPU Aceh sampai mengharamkan sejumlah permainan di dunia maya itu.

Tapi tak kurang sebenarnya anak muda, dari usia SMP hingga mahasiswa, yang produktif secara online. Banyak di antara mereka yang pendapatannya lebih besar dari kebanyakan pegawai negeri. Mereka aktif berjualan online, menjadi content creator, membuat aplikasi, atau menjadi programmer untuk berbagai pekerjaan lepas di berbagai perusahaan teknologi informasi dalam dan luar negeri.

Ada satu mahasiswa saya di Jurusan Matematika yang mungkin dianggap “agak tertinggal” oleh kebanyakan dosen dan kawan-kawannya. Walaupun sudah ikut latihan kader sebuah organisasi mahasiswa ekstra-kampus, dia masih terlihat seperti nerd, orang aneh yang sibuk di belakang layar komputer. Beberapa kesempatan beasiswa degree dan non-degree dicobanya. Belum takdirnya. Mau ikut pelatihan dan pelatihan ulang dia tak punya uang. Diam-diam rupanya dia ikut pelatihan online pada sebuah perusahaan di Singapura. Biayanya berjuta-juta, tapi ditangguhkan sampai peserta mendapat pekerjaan. Artinya, dia boleh membayar saat sudah punya gaji nanti. Setelah melamar beberapa pekerjaan, akhirnya dia diterima di sebuah start-up konsultasi hukum online. Gajinya lebih besar dari gaji saya yang dosen PNS golongan tiga.

Bukan hanya menjadi wirausaha mandiri secara individual, generasi milenial dan generasi Z ini juga sangat peduli dengan keadaan sekitar dan lingkungannya. Banyak aksi sosial kemanusiaan dilakukan bersama dengan kampanye luas lewat media sosial. Lebih banyak lagi aksi individual dalam senyap dengan sumbangan dan pembayaran zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) lewat aplikasi dalam telepon genggam mereka.

Lewat kreativitas dan penguasaan teknologi—yang makin demokratis, sederhana dan murah, sebagian telah menjadi influencer dan YouTuber dengan penghasilan puluhan juta per bulan. Siapapun sekarang punya kesempatan besar untuk hidup merdeka. Asal punya kreativitas dan cukup cerdas.

Ya, kreativitas dan inovasi adalah kata kunci. Dari dulu, resep sukses itu tak mensyaratkan kecerdasan luar biasa. Malcolm Gladwell dalam bukunya The Outliers menunjukkan mereka yang super cerdas, para jenius dengan IQ sangat tinggi, seperti Chris Langan sang jenius Amerika, justru jarang yang sukses dan bahagia. Anda hanya perlu “cukup cerdas” untuk sukses. Tapi kreativitas dan inovasi adalah syarat yang tak bisa ditawar.

Lantas dari mana kreativitas dan selanjutnya inovasi dibangun? Dari kemampuan berpikir kritis.

Sayangnya, meskipun ratusan milyar dianggarkan pemerintah dan disalurkan ke kampus-kampus untuk Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) atau Program Kewirausahaan Mahasiswa, kreativitas dan inovasi masih merupakan perkecualiaan yang muncul sekali-sekali secara sporadis. Bukan sebagai hal yang jamak sebagai penciri sebuah bangsa.

Ribuan proposal PKM hanya sebatas jadi proposal karena ada dosen dan penguasa kampus yang memaksa mahasiswanya ikut PKM.  Apalagi saat jumlah proposal PKM yang dibiayai menjadi salah satu ukuran kinerja manajemen kampus. Proposal bisa ditulis paksa, tapi kreativitas dan inovasi tidak tunduk pada penguasa manapun di manapun. Kreativitas tak kan lahir tanpa kemampuan berpikir kritis.

Di situlah masalahnya. Kampus makin tidak menghargai kemampuan berpikir kritis. Organisasi mahasiswa harus ikut apa kata senior dan tunduk-patuh pada apa kata penguasa kampus. Penyeragaman bukan hanya pada baju seragam dan jas almamater. Struktur organisasi mahasiswa juga seragam.

Kegiatan yang bisa dilakukan terbatas pada yang sesuai pakem, dianggap normal, dan “tidak aneh-aneh”. Ada tuntutan harus bisa “membangun karakter (Islami), sesuai Pancasila dan kebutuhan masyarakat industri 4.0” seperti yang biasanya tertera pada spanduk kegiatan kampus oleh dosen dan mahasiswanya. Sementara masyarakat industri 4.0 penuh disrupsi dan karena itu butuh manusia yang adapatif, kreatif, dan inovatif. Apakah mungkin penyeragaman hasilkan kreativitas, yang biasanya justru out of the box alias di luar pakem?

Bagaimana kalau mahasiswa dan organisasi mahasiswa tidak ikut keinginan penguasa kampus? Pendanaan bahkan SK organisasi jadi taruhan. Dan saat mahasiswa yang benar-benar teruji kemampuan berpikir kritisnya mencari saluran lewat komunitas, akan tetap ada sejumlah mahasiswa yang mengambil alih, dan menjadi pengurus organisasi mahasiswa di kampus-kampus. Harapan kita ada niat baik untuk terus belajar dan suatu saat jadi pemikir kritis. Terlepas dari kapasitas dan kemampuan awalnya. Apalacur, mereka juga berjas almamater dan sering tampil dalam berbagai kegiatan seremonial bersama para penguasa kampus yang dijunjungnya. Gagah nian!

Selamat tinggal organisasi mahasiswa?

Fenomena melemahnya kekuatan organisasi mahasiswa di kampus bukanlah hal baru. Setiap rezim punya komponen fasis yang represif. Tapi mahasiswa selalu punya daya lenting untuk bertahan bahkan membalikkan keadaan.

Represi Orla dan awal Orba dilawan dengan demonstrasi. Tekanan intimidatif bahkan koersif di puncak Orba dengan NKK/BKK direspon dengan lahirnya aneka kelompok studi mahasiswa. Tak bisa berdiskusi di kampus, mereka membawa diskusi ke luar kampus. Diskusi dan demonstrasi itu telah lahirkan semua perubahan mendasar di negeri ini. Diskusi para pendiri bangsa lahirkan revolusi kemerdekaan Indonesia. Diskusi-diskusi kelompok mahasiswa 80-an hingga 90-an lahirkan Reformasi 1998.

Apakah menjamurnya komunitas anak muda di dalam maupun di luar kampus, yang tak terkungkung birokrasi kampus, adalah jawaban generasi pasca Reformasi terhadap tekanan kampus yang makin terstruktur dan masif lewat pendekatan pasar dengan kampanye link and match nya?

Ya atau tidak, yang jelas tren baru berkreasi dan beraksi lewat komunitas sepertinya akan terus berlanjut. Karena latihan berpikir kritis telah berpindah dari kampus-kampus ke komunitas-komunitas. Dan jika penguasa kampus dan tokoh-tokoh mahasiswa di kampus tidak segera menyadari ini dan melakukan perubahan mendasar, bisa jadi kita akan segera mengucapkan ‘selamat tinggal organisasi mahasiswa’?

 

*Saiful Mahdi, pembelajar di Jurusan Statistika, FMIPA Unsyiah dan ICAIOS. Isi tulisan adalah pandangan pribadi. Email: [email protected]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Saiful Mahdi
Saiful Mahdihttp://semuabisakena.jaring.id
Pembelajar di Jurusan Statistika FMIPA Unsyiah, ICAIOS, dan The Aceh Institiute. Pernah jadi kerani di PPISB Unsyiah. Belajar banyak di Phi-Beta Group dan pengagum AcehKita.com. A Fulbright Scholar, an ITS, UVM, and Cornell alumn.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU