Friday, March 29, 2024
spot_img

Perdamaian, Covid-19, dan Pekerja Migran

Perdamaian, Covid-19, dan Pekerja Migran

Saiful Mahdi*

Kemerdekaan hakiki adalah saat kita bisa memilih. Memilih sekolah, memilih pekerjaan, memilih tempat kerja, hingga memilih gaya hidup. Kalangan menengah ke atas bahkan sudah bicara kemerdekaan finansial yang memungkinkan mereka bebas memilih mau liburan kemana.

Di negeri maju, warganya bisa memilih tidak sekolah tapi tetap bisa belajar dan menjadi mandiri. Terutama ketika pendidikan yang diselenggarakan negara lewat pemerintah tidak seperti yang diharapkan.

Konflik atau perang, termasuk yang diklaim untuk memperjuangkan “kemerdekaan”, tak ayal membuat pilihan bagi warga yang terdampak jadi terbatas. Bahkan seringkali meniadakan pilihan sama sekali bagi warganya. Dus, mengorbankan kemerdekaan individual, keluarga, dan warga secara umum.

Saat konflik bersenjata mencekam Aceh, kebebasan warganya berada pada titik nadir. Bukan hanya mobilitas antar wilayah yang terbatas, besekolah di kampung sendiri pun sering kali sulit. Lebih 600 sekolah berbagai tingkatan dibakar selama konflik di Aceh. Sementara ijazah sekolah adalah kebutuhan mutlak di Indonesia untuk memperbesar kemungkinan mobilitas sosial, untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Sehingga “tidak sekolah” bukanlah pilihan.

Pemuda-pemudi di Aceh kala itu juga tak punya pilihan pekerjaan. Bisa dikatakan, di banyak wilayah memang tak ada pekerjaan yang mungkin dilakukan. Bertani dan berladang pun tidak mungkin. Terutama di wilayah-wilayah hot spot. Pemuda yang berladang bisa dituduh sebagai pemasok makanan gerilyawan GAM atau dianggap cu’ak untuk TNI/Polri. Pada akhirnya, memang cukup banyak pemuda-pemudi Aceh yang akhirnya terpaksa membuat pilihan. Ikut naik gunung bergabung dengan GAM atau jadi pemasok informasi diam-diam buat serdadu pemerintah kala itu.

Yang tidak mau memilih, terpaksa harus keluar dari kampungnya. Pada puncak konflik, wilayah urban seperti Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa, dan Meulaboh menjadi tempat yang dianggap relatif lebih aman. Rumah dan rumah toko di kota-kota itu dipenuhi para “pengungsi konflik” dari wilayah pedalaman Aceh. Tapi sekolah dan pekerjaan juga tak tersedia buat semua di kota-kota itu.

Banyak pemuda lantas memilih keluar dari Aceh. Medan, Jakarta dan kota-kota lainnya di Sumatera, Jawa, bahkan Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua jadi tujuan. Banyak juga yang menyeberang ke Malaysia, negeri makmur yang penuh harapan pada suatu waktu. Bahasa dan budaya di sana pun lebih ramah sebagai sesama Melayu.

Sebagian besar mereka datang secara resmi. Memanfaatkan bebas visa sesama negara ASEAN. Saat habis 30 hari izin tinggal otomatis, mereka tinggal keluar sebentar ke Thailand dan Singapore lewat darat, atau ke Batam dengan feri cepat. Begitulah “kampung-kampung Aceh” di Batam, misalnya, lahir dan makin besar.  Menjadi bagian dari sistem pendukung para perantau Aceh.

Kemudian mereka masuk lagi ke Malaysia. Begitulah berulangkali sampai otoritas Malaysia hafal betul perilaku para pelintas batas bolak-balik ini. Saat ekonomi Malaysia sedang butuh tenaga kerja murah, otoritas di negeri jiran ini menutup mata dan membiarkan para pelintas batas ulang-alik ini. Sesekali ada razia dan pengetatan pemeriksaan. Saat ekonomi memburuk atau sentimen anti-migran meningkat di Malaysia, seperti saat turbulensi politik jelang pemilu, para pekerja migran banyak yang ditangkapi. Ribuan orang Aceh menghuni penjara imigrasi di Malaysia.

Sebagian yang jujur dan rajin memperoleh peruntungan baik di negeri jiran itu. Tapi banyak juga yang kurang beruntung. Tingkat pendidikan dan kapasitas kerja jadi masalah utama. Maklum, mereka ini umumnya putus sekolah dan lari dari Aceh karena tak punya pilihan.

Pilihan yang terbatas, bahkan nihil di negeri jiran atau di wilayah-wilayah perbatasan seperti Batam, kemudian membuat sebagian mereka jadi mangsa jaringan narkoba dan perdagangan manusia.

Membaca berita kekerasan di Aceh dari negeri-negeri yang jauh juga membuat mereka geram. Sebagian mereka yang sudah berafiliasi dengan GAM makin militan. Sebagian yang sebenarnya tak punya sangkut-paut dengan GAM sebelumnya pun jadi tertarik bergabung dengan GAM di pengasingan, terutama di Malaysia. Minimal jadi simpatisan yang rela memberi berbagai dukungan untuk berbagai komponen GAM.

Di banyak kesempatan pada periode itu, tak jelas dan tak penting lagi siapa yang hanya pelarian ekonomi dan siapa yang pelarian politik dari Aceh. Semuanya merasa berhak untuk mendapat perlindungan dari pemerintah Malaysia atau UNHCR, lembaga PBB yang mengurusi pengungsi. Pengungsi dengan alasan apapun atas nama kemanusiaan. Banyak “pelarian Aceh” ini yang kemudian ditempatkan di negara ketiga seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan negara-negara Eropah Barat setelah perjuangan berliku di Malaysia.

Jaringan diaspora Aceh ini menjadi salah satu komponen paling penting dalam “kampanye Aceh” di tingkat internasional. Diaspora ini juga memberi banyak dukungan untuk “perjuangan” GAM. Bertahun-tahun hingga Aceh damai lewat MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Sentimen apapun yang mau dipakai, orang Aceh dalam diaspora ini punya kontribusi besar untuk Aceh dan Indonesia. Mereka “pahlawan perdamaian”. Mereka juga “pahlawan devisa”.

Pahlawan devisa “terperangkap” di Malaysia

Saat memperingati 15 tahun MoU Helsinki yang membuka jalan damai untuk Aceh dan Indonesia ini, kita berada di tengah sebuah pandemi. Pandemi Covid-19 menjadi ujian kepemimpinan dan ekonomi banyak negara. Malaysia telah resmi mengalami resesi. Di sana masih ada ribuan pekerja migran asal Indonesia, termasuk Aceh.

Sebagian pekerja migran ini sudah kembali ke Indonesia sebelum wabah memuncak. Ada yang harus lewat “lorong”, “lewat belakang”, atau “jalan tikus”. Kisah TKI yang tenggelam dalam penyeberangan kembali kadang menghiasi media kita. Tapi masih ada ribuan yang belum kembali karena berbagai alasan. Banyak di antara mereka yang sudah over-stay, pelanggaran yang pelakunya bisa didenda hingga ribuan ringgit.

Demi alasan kemanusiaan, juga karena beban ekonomi Malaysia yang juga makin berat, denda ini sudah ditiadakan. Para pekerja migran ini bisa pulang tanpa khawatir berurusan dengan masalah hukum. Bagi yang paspor-nya sudah mati pun bisa mengurus surat perjalanan laksana paspor (SPLP) dari KBRI atau konsulat Indonesia.  Namun semua ini perlu biaya. Belum lagi biaya perjalanan. Dengan kapal laut apalagi pesawat. Gawatnya, sebagian besar mereka sudah kehabisan tabungan karena tidak bekerja atau tanpa penghasilan sejak pembatasan mobilitas karena Covid-19 di Malaysia.

UU dan aturan di Indonesia sebenarnya memungkinkan Pemerintah Indonesia bahkan pemerintah provinsi atau kabupaten/kota di Indonesia membantu pemulangan para pekerja migran yang “tersandera” di Malaysia ini.  Pemerintahan Kabupaten Asahan telah melakukannya. Pemulangan TKI ilegal asal Asahan itu merupakan kerjasama Pemerintah Kabupaten Asahan, Pemprov Sumatera Utara, Diaspora Indonesia, dan KBRI di Malaysia. Pemerintah Kabupaten Batubara juga sukses melakukan hal serupa. Keduanya adalah wilayah yang dekat dengan Aceh, bagian dari provinsi tetangga, Sumatera Utara.

Ribuan orang Aceh terperangkap di Malaysia akibat wabah Covid-19. Dibantu jaringan relawan, yang umumnya mahasiswa Aceh di Malaysia, mereka sudah menyampaikan permintaan bantuan ke Pemerintah Aceh. Awalnya mereka mengharapkan bantuan darurat agar bisa bertahan di negeri jiran itu. Harapannya wabah akan segera berlalu dan mereka bisa kembali menjadi “pahlawan devisa”. Tapi ternyata wabah belum reda hingga kini. Sekarang mereka berharap bisa pulang ke Aceh. Tapi tabungan sudah habis. Makanan sumbangan berbagai pihak yang dikumpulkan relawan makin menipis. Mereka terperangkap di negeri orang!

Ironisnya, bantuan darurat yang pernah diharapkan dari Pemerintah Aceh tak kunjung tiba. Padahal konon para relawan sudah memastikan jalur bantuan dengan menghubungi Kemenlu hingga BNPB di Jakarta dan menghubungkannya dengan Pemerintah Aceh. Ada juga kabar sebuah partai lokal siap membantu pemulangan warga Aceh ini. Tapi entah kenapa, semuanya tanpa realisasi hingga kini.

Mungkin kalkulasi politik? Nanti kalau Haji Uma turun tangan membantu dikatakan “curi panggung” dan “pencitraan”. Karena ini memang panggung politik yang besar bukan?

Tapi sepertinya memang kita semua sibuk dengan peng griek (uang receh). Kalkulasi ekonomi sepertinya jadi alasan utama. Kebiasaan berburu rente, kebiasan buruk oknum birokrasi ala Indonesia yang pernah sangat dibenci orang Aceh, kini sudah banyak juga menjadi kebiasaan penguasa lokal di Aceh.

Bahkan untuk kemanusiaan pun ternyata ada pihak-pihak yang sibuk mencari laba? Yang dipikirkan adalah fee. Kalau para pekerja migran ini kita pulangkan, ada berapa untuk Saya, kelompok Saya, partai Saya. Mungkin begitu cara pikir para oknum penguasa lokal dan partai di Aceh saat ini?

Damai Aceh ternyata belum memberi pilihan bagi para pekerja migran, pahlawan perdamaian, dan pahlawan devisa kita.

Selamat memperingati MoU Helsinki!

*Saiful Mahdi adalah peneliti di ICAIOS. Isi tulisan adalah pandangan pribadi. Email: [email protected]

Saiful Mahdi
Saiful Mahdihttp://semuabisakena.jaring.id
Pembelajar di Jurusan Statistika FMIPA Unsyiah, ICAIOS, dan The Aceh Institiute. Pernah jadi kerani di PPISB Unsyiah. Belajar banyak di Phi-Beta Group dan pengagum AcehKita.com. A Fulbright Scholar, an ITS, UVM, and Cornell alumn.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU