Martabat dan Gengsi di tengah Pandemi
Saiful Mahdi*
Saya hanya mengikuti selintas heboh “nasi anjing”. Nasi bungkus ini dibagikan di kawasan Tanjung Priok, Jakarta pada akhir April lalu . Bungkusnya berstempel gambar kepala anjing dengan tulisan: ‘Nasi Anjing, nasi orang kecil, bersahabat dengan nasi kucing, #JakartaTahanBanting’.
Sontak nasi bungkus itu membuat heboh. Apalagi nasi bungkus itu dibagikan oleh sebuah komunitas kristiani, termasuk di sekitar masjid. Bagi muslim, anjing identik dengan yang serba haram. Sementara bagi yang lain, anjing adalah simbol kesetiaan. Petani dan peladang di Aceh juga ada yang memelihara anjing.
Tak ayal, polisi turun tangan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memastikan kandungan “nasi anjing” itu halal. Tujuan Yayasan Qahal, sebuah komunitas kristiani juga mulia.
Pembagian nasi bungkus itu adalah sebagai bagian solidaritas dan bantuan untuk mereka yang terdampak wabah Covid-19. Konon diberi nama “nasi anjing” juga karena porsinya lebih besar sedikit dari “nasi kucing”, nasi bungkus paket super hemat yang dikenal banyak kalangan terutama mahasiswa.
Pada akhir April itu pula, seorang teman orang Aceh yang setia, Lilianne Fan, membagikan artikel yang ditulis Dato Seri Kalimullah Hasan tentang pengalamannya bertemu seorang laki-laki yang meminta makan karena kelaparan sambil menangis: In Bangsar, a hungry man cries and asks for food.
Laki-laki itu adalah seoarang pekerja migran yang menjadi tukang kayu di Malaysia. Karena lockdown Covid-19, dia kehilangan pekerjaan, tidak mampu membayar sewa tempat tinggal, dan sejak itu hidup di jalan di kawasan Bangsar, Malaysia.
Sambil terus mengatakan “Sir, I am not a beggar” (Tuan, Saya bukan pengemis), laki-laki tinggi besar itu akhirnya memberanikan diri meminta makanan pada Kalimullah.
Dato Seri baik hati ini awalnya juga tak tahu harus berbuat apa, dan mungkin juga sedikit curiga dengan orang berperawakan besar, berkulit gelap, dalam baju kusut dan kotor, mungkin sudah lama tidak mandi.
Bagi saya kedua cerita ini kembali membuka mata tentang martabat manusia. Bahwa dalam keadaan segenting apapun manusia berakal sehat masih mempunyai dan ingin menjaga martabat, dignity –nya.
Pada kasus “nasi anjing”, orang tersinggung karena martabat dirinya yang menyatu dengan martabat yang dianggap sebagai kepercayaannya. Walaupun butuh bantuan, mungkin nasi bungkus bergambar kepala anjing itu tidak diterima oleh sebagian Muslim di Priok waktu itu.
Pada kasus di Bangsar, Malaysia, si lelaki berungkali harus menegaskan bahwa “Saya bukan pengemis” walaupun harus meminta makan pada orang karena lapar yang sudah tak terperi.
Orang Aceh konon sangat menjunjung tinggi martabat. Paling tidak pernah demikian. Sehingga sering kita dengar kisah-kisah heroik mereka, dalam kisah hidup atau terekam dalam hadih maja (hadis majas), kumpulan kata-kata bijak dalam Bahasa Aceh.
Nibak sihet bah roe (daripada miring, biar tumpah sekalian), sebagai contoh, adalah ungkapan penuh martabat orang Aceh. Tentu saja ada unsur fatalistik di situ. Mungkin itu yang kemudian melahirkan fenomena Atjeh moorden atau Atjeh pungo (Aceh gila), amok Aceh yang ditakuti sejak masa kolonial hingga masa kini, konon masih tersisa seperti di kawasan Pasar Minggu, Jakarta.
Mungkin karena “keberatan martabat”, orang Aceh sampai dianggap lebih rela jadi pengangguran daripada mengerjakan pekerjaan yang dianggap hina oleh orang sekitar. Kita dengan bangga mengatakan “Tak ada orang Aceh yang mau jadi babu!”
Belakangan, contoh-contoh demikian kian jadi anekdotal. Saat kampanye “puwo martabat” (mengembalikan martabat) orang Aceh lewat perang lebih 30 tahun mencapai puncaknya dengan MoU Helsinki 15 Agustus 2005, diikuti dengan “peumrintahan sendri” lewat UUPA, orang Aceh justru melihat korupsi kian merajalela. Martabat yang diusung, kemiskinan justru kian memasung. “Aceh Hebat” hanya sekelebat?
Mugkin karena pergeseran makna “hebat”. Semua yang hebat sekarang seringkali diukur dengan uang dan yang serba materi. Hedonisme telah membuat makna martabat dan gengsi jadi sangat sumir. Ketinggian ilmu, orang terpelajar dan terdidik yang pernah begitu mulia dalam pandangan masyarakat Aceh kian terganti dengan kemuliaan berbasis materi dan pangkat.
“Orang Aceh itu miskin tapi sombong” malah ditegaskan seorang tokoh nasional asal Aceh di sebuah “Kenduri Kebangsaan” yang dihadiri Presiden Jokowi. Sepertinya ini kian menggambarkan orang Aceh yang identitasnya terbelah antara menjaga marwah/martabat atau terjebak gengsi.
Orang miskin yang tak mau meminta-minta jelas ada unsur “jaga marwah”. Bahkan ini perilaku sesuai perintah agama. Banyak orang di Aceh tidak mau menerima zakat jika merasa dirinya tidak berhak. Mereka yang beraqidah lurus ini lebih rela bekerja susah-payah dari pada meminta-minta.
Pelajar dan mahasiswa yang bermartabat pasti lebih memilih mengumpulkan kertas kosong saat ujian daripada mencontek dari temannya. Alumni pendidikan serendah atau setinggi apapun dan para pencari kerja yang bermartabat pasti rela tidak lulus tes kerja semacam seleksi CPNS daripada harus menyogok atau berbuat curang, menerabas sistim yang sebenarnya makin baik.
Tapi martabat di Aceh memang semakin mewujud dalam materi. Akibatnya, bandar narkoba bisa dicaci dalam ceramah agama dengan tepuk tangan dari jamaah. Tapi di hari yang sama sang bandar bisa sangat dihormati karena kenduri maulidnya paling besar, sumbangan untuk masjid nya paling banyak, misalnya. Orang bisa berebut memuliakannya hanya karena seolah hartanya begitu banyak.
Apakah untuk martabat atau demi gengsi, saat orang menjadi bandar narkoba atau melalukan korupsi? Apakah untuk martabat atau demi gengsi, saat bantuan Covid-19 pun bisa jadi kenduri?
Apakah untuk martabat atau untuk apa sebenarnya, saat orang berlomba masuk dalam daftar orang miskin yang berhak menerima BLT, Bantuan Langsung Tunai?
Merasa tak berhak menerima zakat, tapi semua bantuan sosial disikat? Itu gengsi atau martabat?
Saiful Mahdi, seorang pembelajar. E-mail: [email protected]