Friday, April 26, 2024
spot_img

Kisah Pilu Ramli

“Tolong saya sudah empat tahun terbaring di sini.” Suara Ramli Ahmad serak, tertahan. “Saya tidak sanggup lagi.”

Ramli bak orang yang berputus asa. Empat tahun terakhir ini, Ramli hanya terbaring di ranjang di dalam gubuk yang didirikan di kompleks terminal Keudah, Banda Aceh. Pria berusia 65 tahun itu merupakan warga Desa Pante Labu, Kecamatan Pante Bidari, Aceh Timur. Ia “terdampar” di Banda Aceh karena berusaha menyelamatkan diri dari kekerasan yang mengintainya pada masa konflik merajai Aceh.

Petaka itu datang ketika aparat keamanan menuduhnya sebagai mata-mata Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Empat kali saya ditahan di pos keamanan karena dituduh mata-mata GAM. Padahal saya hanya sipil biasa…,” kata Ramli kepada acehkita.com, Rabu (28/1). Batuk membuat ia menghentikan sementara kata-katanya.

Sesekali ayah Ramadhan (4) dan Fina Maulana (6 bulan) ini meraih timba hitam di bawah tempat tidur untuk meludah. “Asal batuk keluar darah, dada sakit sekali,” keluhnya memperlihatkan isi timba bercambur darah.

Meski letus senjata tak lagi mendesing di Aceh, namun konflik masih menyisakan pilu bagi Ramli. Kekerasan fisik membuat pria beristri Mutia (34), itu harus rela menghabiskan hari-harinya terbaring di tempat tidur. Tak banyak yang dapat dilakukannya kini.

Tempat yang dijadikannya rumah pun hanya sebuah ruko terlantar yang ditinggal pemiliknya. Bangunan berukuran 4×7 meter itu lebih pantas disebut gudang. Karena selain sebagai rumah, istri Ramli juga menjadikannya sebagai tempat menyimpan barang rongsokan untuk dijual kiloan. Kemiskinan menjadikan Meutia harus bekerja keras.

Untuk kebutuhan sehari-hari, Ramli hanya bertumpu pada istrinya dari penghasilan sebagai tukang cuci pakaian. Terkadang juga harus mengumpul barang bekas.

Ia tak lagi menjadi sebagai tulang punggung keluarga karena telah cacat permanen. Tubuhnya pun tinggal kulit pembalut tulang. “Ini susah digerakkan karena sering dipukul,” ujar Ramli memperlihatkan lututnya yang tak normal karena bengkak.

Penghasilan istrinya yang pas-pasan mengalahkan semangat Ramli untuk dapat pulih kembali. Kartu Jamkesmas penopang mahalnya pengobatan pun tak dikantonginya. “Sudah saya urus tapi kata Geuchik saya tidak dapat,” kenangnya sambil memperlihatkan KTP Merah Putih yang tidak berlaku lagi.

[KTP Merah Putih merupakan kebijakan Penguasa Darurat Militer Daerah Mayjen TNI Endang Suwarya untuk memisahkan masyarakat biasa dengan anggota GAM. Tak memiliki KTP Merah Putih, itu artinya harus berhadapan dengan polisi dan militer.]

Meski menetap di Banda Aceh sejak 2005 silam, Ramli masih bertatus warga Aceh Timur. Ia sempat kembali ke tanah kelahirannya untuk mengurus kartu Jamkesmas meski itupun sia-sia.

Kini Ramli hanya bisa pasrah menanti uluran tangan dermawan untuk mengurangi deritanya. Jangankan berobat, sekilo beraspun terkadang harus mengutang.

Meski penyakit yang diderita kian parah Ramli hanya mampu menahan rasa sakit di pembaringannya. Tak ada pengobatan maupun dokter yang merawat.

“Saya berharap ada NGO yang mau membantu pengobatan. Karena dari pemerintah sulit mendapatkannya,” ungkapnya.

Tak hanya itu, Ramli juga harus siap angkat kaki dari toko tempatnya berteduh jika sewaktu-waktu pemilik toko memintannya pindah. “Gak tau lah harus ke mana jika disuruh pindah,” keluhnya pasrah. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU