Di kerajaan Si Ratu Jahat, Putri Salju terus diburu setelah Cermin Ajaib menyatakan Sang Putri lebih cantik dari Si Ratu. Tak jauh dari kerajaan itu ada kerajaan bernama Aceh Darussalam.
Di sebuah kantor megah di jalan utama Kerajaan Aceh, seorang menteri juga punya cermin ajaib. Dari waktu ke waktu menteri itu, menteri pendidikan, suka bertanya pada cermin ajaibnya. Baru-baru ini Si Menteri tersebut bertanya kembali.
“Cermin, cermin di dinding, sudah majukah pendidikan negeri ini?”
“Erh…hmm…tentu Tuanku Menteri…Jumlah alumni sekolah menengah atas kita makin banyak yang diterima di PTN.”
“Alhamdulillah….”
“Tapi Tuanku Menteri…,” si Cermin berusaha menyela.
“Cukup…cukup…Kamu cermin jawab apa yang saya tanya saja!”
“Baik Tuan…Tapi…”
“Diam kamu Cermin!”
“Haduuuh….jangan marah tuanku. Baik saya diam saja tuanku.” Akhirnya si Cermin memilih diam dan patuh.
Tapi sebenarnya Cermin hanya ingin memastikan agar Si Menteri melihat wajah pendidikan Aceh pada seluruh cermin. Bukan hanya pada bagian wajah pendidikan yang cantik saja.
Benar, secara kuantitas jumlah siswa di Aceh yang diterima masuk PTN makin bertambah dari tahun ke tahun. Untuk tahun 2021, Aceh berada pada peringkat 5 dari 34 provinsi yang meluluskan siswanya lewat jalur undangan atau Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Menurut data Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT), sejumlah 5.626 dari 15.290 pendaftar SNMPTN diterima di salah satu PTN pada tahun 2021. Ini meningkat sekitar 500 kelulusan dibandingkan 5.132 di tahun 2020. Secara persentase itu sama dengan 36,80 persen, yang menempatkan Aceh bahkan di peringkat pertama di antara 18 provinsi dengan pendaftar SNMPTN tertinggi di Indonesia. Kelulusan lewat jalur SNMPTN ditentukan oleh nilai rapor siswa dalam lima semester sejak siswa masuk SMA.
Sedangkan untuk jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) tahun 2021, jumlah lulusan dari Aceh berada pada peringkat 7 untuk bidang sain dan teknologi (saintek) dan peringkat 9 untuk bidang sosial humaniora (soshum).
Secara persentase bahkan Aceh berada pada peringkat pertama juga untuk keduanya. Data menunjukkan 3.442 (20,53 persen) dari 17.767 pendaftar bidang saintek di Aceh yang lulus SBMPTN di salah satu PTN. Ada 3.446 (20,55 persen) untuk bidang soshum.
Secara umum, Aceh berada pada peringkat tinggi untuk jumlah pendaftar dan jumlah yang diterima di berbagai PTN di Indonesia, baik lewat jalur SNMPTN maupun SBMPTN. Kinclong!
Mungkin angka-angka besar ini yang dilihat sangat “cantik” pada wajah pendidikan Aceh oleh Si Menteri itu. Cermin kuantitas pendidikan di Aceh bisa jadi terlihat sangat rupawan. Tapi itupun tidak sepenuhnya tepat. Bahkan saat bicara kuantitas, pendidikan Aceh sejatinya tidak seindah yang dilihat Si Menteri pada cermin ajaibnya. Tapi Si Menteri sudah bahagia. Apalagi dia mendapat pujian dari Sang Raja di Kerajaan Aceh Darussalam.
“Tak salah engkau ku angkat jadi menteri pendidikan!” titah raja tak ada yang berani membantah.
Jumlah pendaftar SNMPTN dan SBMPTN 2021 di Aceh memang salah satu yang tertinggi. Jumlah yang diterima juga makin besar. Cantik? Tunggu dulu.
Si Cermin berpikir keras.
Memang patut disyukuri tingginya minat melanjutkan ke pendidikan tinggi di kalangan lulusan sekolah menengah di Aceh. Tapi inipun sebenarnya sekedar kelanjutan tradisi tingginya angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Aceh sejak muncul pendidikan tinggi di Nusantara Kerajaan Bersatu Indonesia (NKBI). Bersama Kerajaan Minangkabau di Sumatra Barat, Aceh selalu punya APK-PT tertinggi di Sumatra bahkan Nusantara.
APK-PT Aceh biasanya berada di sekitar 35-45 persen. Artinya, untuk setiap 100 orang penduduk berusia 19-23 tahun di Aceh, ada 35-45 orang yang tercatat sebagai mahasiswa. Sumatra Barat berada pada angka sekitar 45-48 persen. Keduanya jauh di atas rata-rata Nusantara yang 30 persen. Sebagai perbandingan, APK-PT Kerajaan Thailand berada pada angka 50.
Itu kenapa, sejak awal kemerdekaan banyak tokoh intelektual Indonesia adalah orang Aceh dan Minangkabau. Konflik 30 tahun telah ikut menggerus tradisi suka belajar ini di Aceh. Tapi Sumatra Barat masih terus di puncak dalam memproduksi pemikir dan intelektual bangsa di Nusantara.
Tren suka belajar sampai ke perguruan tinggi sepertinya belum sepenuhnya meredup di Aceh. Belakangan, tren itu malah makin menguat. Tingginya pendaftar dan yang lulus masuk PTN adalah indikator yang sangat valid untuk itu.
Indikator-indikator itu berarti pemerataan akses pendidikan tinggi makin baik di Kerajaan Aceh. Tapi kata ahli pendidikan dan pengembangan SDM dunia, akses hanya salah satu aspek kemajuan. Selain akses, sukses juga diukur denga kualitas dan relevansi.
Selanjutnya, APK-PT tinggi di Aceh sedikit berbeda dengan di daerah lain. Salah satu penyebab makin membaiknya APK-PT ini adalah makin banyaknya jumlah PTN di Aceh. Dengan penduduk sekitar 5,4 juta jiwa, Aceh memiliki lebih dari 10 PTN, termasuk 3 politeknik negeri. Enam di antaranya menerima mahasiswa lewat jalur SNMPTN dan SBMPTN 2021, yaitu: Universitas Syiah Kuala, Universitas Malikussaleh, Universitas Teuku Umar, Universitas Samudra, Institut Seni Budaya Indonesia Aceh, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.
Sementara Kerajaaan Singapura yang berpenduduk 6 juta jiwa hanya punya 2 perguruan tinggi negeri yang hasilkan sarjana. Selebihnya adalah politeknik dan perguruan tinggi swasta. Kalau yang swasta dihitung, maka Kerajaan Aceh adalah salah satu kerajaan dengan jumlah lembaga pendidikan tinggi terbanyak.
Jangan lupa. Masih ada pula penerimaan mahasiswa baru lewat “jalur mandiri” oleh masing-masing PTN. Walaupun ada saran agar jalur SBMPTN untuk menjadi satu-satunya cara penerimaan mahasiswa baru, sejauh ini LTMPT menetapkan jalur SNMPTN harus menerima kuota minimum 20 persen, SBMPTN minimun 40 persen, dan seleksi mandiri maksimum 30 persen. Penerimaan mahasiswa jalur SNMPTN, apalagi jalur mandiri, dianggap tidak seobjektif jalur SBMPTN.
Jadi tingginya jumlah yang berhasil masuk PTN tidak serta-merta menunjukkan makin membaiknya kualitas alumni sekolah menengah di Kerajaan Aceh. Dus, tidak serta merta menunjukkan membaiknya kualitas pendidikan di Kerajaan Aceh.
Kalau melihat seluruh cermin, akan terlihat indikator yang tak selalu kinclong. Menurut data Neraca Pendidikan Daerah (NPD) nasional tahun 2019, tak kurang dari 80,5 persen guru PAUD, 61,5 persen guru SD 62,4 persen guru SMP, 57,4 persen guru SMA, 66,0 persen guru SMK, dan 81,4 persen guru SLB di Kerajaan Aceh belum “bersertifikasi” sebagai guru. Distribusi guru antar wilayah dalam Kerajaan Aceh dan antar bidang pelajaran juga tidak merata.
Mungkin buruknya kualitas pendidikan di Aceh juga akibat kecilnya anggaran. Walaupun dikenal sebagai Kerajaan yang mandiri dengan kekayaan yang luar biasa, hanya 13,05 persen pendapatan asli Aceh yang dialokasikan untuk pendidikan. Itu menempatkan Aceh pada posisi ke 8 dari bawah di antara 34 kerajaan-kerajaan Nusantara. Jika digabungkan dengan transfer nasional ke Aceh, APBA hanya mengalokasikan 17,90 persen untuk urusan pendidikan. Masih di bawah 20 persen kewajiban yang disepakati kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Jadi menurut Sang Cermin, wajah pendidikan Aceh tidak seindah kehendak Si Menteri dan Rajanya. Karena itu, Si Cermin bertekad untuk menyampaikan semua bagian dirinya, bagian cermin untuk pendidikan seutuhnya saat Si Menteri mau berkaca lagi.
Suatu sore Si Menteri kembali berkaca.
“Cermin, cermin di dinding, sudah majukah pendidikan negeri ini?”
“Erh…hmm…tentu Tuanku Menteri…. Negeri ini, Aceh Darussalam, adalah kerajaan peringkat kedua tertinggi yang lulusan SNMPTN nya menerima Kartu Indonesia Pintar (KIP). Dari 5.295 orang pendaftar KIP ada 2.221 orang yang mendapatnya,” jawab Cermin dengan gundah.
“Alhamdulillah….Itu artinya, pemerataan akses pendidikan tinggi makin baik. Anak-anak dari keluarga miskin mendapat beasiswa penuh untuk dapat menjadi sarjana. Alhamdulillah….”
Si Menteri tersenyum-senyum sumringah. Bahagia. Pasti Raja akan tambah senang dengan dirinya. Pikirnya.
“Erh….tapi Tuanku…,” Cermin mencoba menambahkan.
“Kenapa lagi Cermin Ajaib? Aku tak bertanya yang lain. Itu saja cukup. Aku sudah bahagia. Rajapun pasti bahagia,” tegas Si Menteri, ingin tetap menikmati kecantikannya.
“Tapi Tuanku… Nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) para guru di negeri Tuan juga sangat buruk. Peringkat bawah terus. Juga, tingginya penerima KIP adalah bukti masih besarnya angka kemiskinan di negeri ini, bukan?”
“Apa!? Apa kau bilang cermin? Apa tak cukup indah pendidikan negeri ini? Kenapa kau bicara kemiskinan pula lagi?”
“Tapi Tuanku…pendidikan juga bukan sekedar masalah akses, bukan sekedar masalah kuantitas. Tapi juga masalah kualitas. Lebih penting lagi pendidikan adalah masalah relevansinya. Rasanya tidak relevan bukan pendidikan makin luas tapi kemiskinan makin tinggi?” Cermin berusaha cepat-cepat menjelaskan apa yang diketahuinya mumpung sedang mendapat perhatian Si Menteri.
“Kurang ajar kau, Cermin!” Si Menteri keluar asap dari telinganya karena kemurkaan yang tak tertanggungkan.
“Suut…,” seuatu melayang dari tangan Menteri yang murka.
“Priing…,” Cermin terbelah.
*Saiful Mahdi, mantan kerani di Pusat Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB), Universitas Syiah Kuala. Isi tulisan adalah pandangan pribadi. Email: [email protected]