Tuesday, April 23, 2024
spot_img

Indonesia, Tapi Beda… [4]

Kurangnya Kepedulian Masyarakat Akan Pendidikan

HARI MASIH PUKUL 8 PAGI, saat Cahyo berkunjung ke Walay, sebuah kampung di Distrik Senggi, Kecamatan Keerom, Jayapura, di hari kedua Februari 2015. Cahyo Yuwono mengunjungi 6 sekolah dasar di Jayapura. Tiga berada di Distrik Web, tiga lainnya di Distrik Senggi.

Saat pagi baru datang, SD YPK Farwasi Walay, Dusun Walay Kampong Molof begitu sepi. Belasan anak-anak bukannya masuk kelas, tapi keluar lewat gerbang gereja, pulang ke rumahnya. “Pak guru masih di atas,” kata seorang anak. Maksudnya, guru tidak di tempat melainkan masih di kota (atas).

SD Walay hari itu tak buka. Sudah beberapa hari, Faha Ferius, guru yang biasa mengajar terbaring sakit di rumahnya. Saat berjalan, lelaki tua yang mulai beruban ini terlihat tertatih. Tiga anaknya mengawal di sisi Faha.

SD Walay terlihat sangat tidak terurus. Rumput setinggi dada orang dewasa tumbuh liar di halamannya. Tak ada lapangan bermain bagi anak, semua ditutup ilalang. Pintu masuk sekolah pun tak ada. Jika hendak masuk, haruslah berputar melalui gerbang gereja yang berada di samping sekolah. Faha Ferius mengakui, kepedulian guru dan masyarakat sangat kurang akan pendidikan. “Di sini 99 persen pendidikan dari guru. Hanya 1 persen dari masyarakat,” katanya. “Jika tak ada guru tidak berhasil.”

Hanya Feri, panggilan Faha Ferius, yang mengajar seorang diri. Guru-guru lainnya, katanya tidak menetap di Walay.Masyarakat tidak menyukai kehadiran guru tersebut (selain Feri). Kondisi tersebut, akunya, diciptakan sendiri oleh para guru. Rasa tanggungjawab tidak ada. Menjadi guru nomor dua bagi mereka. “Istilahnya, tungku api, sendok dan makannya mereka tak di tempat. Saya itu asli merauke, makan dan berak di Molof,” katanya sedikit kasar. “Masyarakat tidak menerima karena kelakuan kita. Guru tidak tekun tugas, ada bisnis sampingan membuat masyarakat tidak terima. Ada guru yang jadi agen miras, ada pemain kayu.”

Maksud Feri, guru-guru banyak menjalankan bisnis penebangan kayu ilegal. Di samping juga menjadi penjual miras yang amat harus diakui, amat  diminati masyarakat pedalaman Papua.

Ada satu falsafah hidup yang dipegang erat Faha Ferius. Hal itu membuat ia betah mengabdi di Walay.

“Tulus seperti merpati cerdik seperti ular,” kata Faha Ferius. “Ketulusan dalam bekerja haruslah seperti merpati. Orang yang berhasil bisa menjinakkan ular dari kelakuannya. Saya menjaga sekolah ini karena saya yang melahirkannya. Sama halnya dengan ibu, sekolah ini anak pertama saya. Saya bakal selalu menjaga mengenangnya.”

Feri merupakan perintis SD Walay, sekolah yang ia buka medio 1996 lalu. Sekolah ini dulunya ada di gereja yang bersisian dengan sekolah. Setahun berjalan, pemerintah membangun ruang belajar sederhana di lahan gereja.

Feri sama dengan pendidik lain yang merindui kemerdekaan. Ia berpantun sambil tersenyum getir: di sana rindu, di sini rindu. Di tengah-tengah seperti ini. Ini ada apa?” ujarnya. “Indonesia merdeka, tapi melihat pendidikan di sini, ada apa ini?,” tanyanya lagi.

Cahyo yang datang mengantar Fani Parantya, muridnya untuk mengabdi di Walay diterima dengan tangan terbuka. Barangkali relawan guru dari Semarang ini adalah salah satu jawaban dari kekosongan guru di Walay.

Sebenarnya Fani telah diantar akhir Agustus lalu. Beberapa masalah di masyarakat membuat ia ditarik kembali, dan ditempatkan di SD Usku, jaraknya sekitar satu jam dari Walay.

Di Usku, ada dua guru asal Unnes yang mengajar, yaitu Anugerah Tri dan Catur Romadoni. Sedangkan Fani Farantya dan rekannya Risqi Darmawan adalah guru titipan. Darmawan baru diantar ke sekolah penempatannya di SD YPK Nambla, yang jaraknya sekitar satu jam lagi dari Usku. Nah, sementara mengunggu diantar Nambla dan Walay, mereka tinggal dan mengajar di Usku. Namun sayang, rumah yang mereka tempati dibobol warga. Kaca-kaca dipecahkan. Barang diobrak-abrik. Di dapur, terlihat setumpuk kotoran manusia. Masalah itu membuat mereka kemudian ditarik. Catur dipindahkan ke SD Yabanda, dan Anugrah Tri dipindahkan ke Walay.

Markus Niko Pahanail, guru kontrak SD Inpres Usku mengakui pendidikan di Papua amat memperihatinkan. “Banyak guru,tapi realitasnya ternyata kurang,” kata pria asal Kupang ini. Di Usku, tempat ia mengajar, sekolah disegel karena pemerintah tak kunjung membayar tunjangan transportasi bagi guru. Padahal sebentar lagi ujian nasional datang. Pemilik tanah tempat sekolah dibangun pun bahkan mengacam akan membakar sekolah jika siswa tak bisa mengikuti ujian nasional tahun ini. “Kita bahkan diungsikan. Kepala desa tidak tidak sanggup menghadapi orang-orang desa,” kata Anugrah Tri Wijayanto, salah seorang relawan guru yang juga dikirim Pertamina Foundation.

“Di sini bukan teknik mengajar, mata pembelajaran apa yang diajarkan, tapi lebih pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya pendidikan. Itu yang awal harus ditanamkan,” kata Catur. Dari sisi fisik, sekolah di Usku sebenarnya lebih bagus dari sekolah lainnya yang ada di Keerom. Bangunannya dibangun semi permanen. Ada ruang pertemuan juga. Tapi sayang, dukungan masyarakat masih sangat kurang. “Ke depan saya harap harus ada dukungan orangtua dan lapisan masyarakat. Bahwa pendidikan itu penting untuk masa depan anak,” kata Catur. [BERSAMBUNG]  >> HALAMAN 12, 3, 4, 5

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU