Friday, March 29, 2024
spot_img

Indonesia, Tapi Beda… [3]

Di Ujung Rotan Ada Emas Kebaikan…

ANDRA MENEMPATKAN PAPUA pada memori terdalam di pikirannya sebagai daerah yang istimewa. Sebuah keunikan yang baginya merupakan keistimewaan.

“Dalam satu daerah bahasa mereka bisa berbeda-beda, tapi bahasa Indonesia semuanya bisa, padahal (mereka) berbeda suku,” ujar Andra.

Tercatat sekitar 25 suku asli Papua (sebagiannya tersebar di Papua Nugini dan di daratan Australia-red). Setiap suku punya bahasa yang berbeda. Semua hanya disatukan dalam satu bahasa kesatuan: Bahasa Indonesia. “Kalau suku lain (misal: Aceh, Batak, Minang –red) belum tentu semuanya menguasai bahasa Indonesia.”

Andra adalah mahasiswa tingkat akhir kampus olahraga, Unnes Semarang. Ia mengajar di Kampung Waan, bersama Faatih Rijalul Haq. Kampung Waan merupakan kampung paling akhir yang dikunjungi Cahyo di Kabupaten Merauke.

Jarak antara Kolam dan Waan hanya sekitar sejam saja. Sedikit melewati alang-alang dari Kolam, keting-ting langsung masuk ke Rawa Besar. Ukuran rawa ini lebih besar dari Kali Bian sendiri. Barangkali ukurannya lebih dari satu kilometer. Keting-ting di ujung rawa hanya tampak bagai benda kecil yang bergerak amat pelan. Rawa yang besar membuat perahu sedikit bergoyang karena gelombang yang ditimbulkan angin yang bertiup agak kencang. Cahyo mengeratkan pegangannya di pinggir keting-ting. “Saya menyebut mereka mahasiswa rawa,” kata Cahyo tertawa. “Ini PPL dan KKN yang sangat ekstrim.”

Saat pertama dikirim ke Muting, Andra dan Faatih membayangkan, Kampung Waan adalah tempat yang lebih tertinggal dari Boha dan Kolam. “Kita berangkat sekalian. Ke Boha dulu. Melihat di sana, aduuuh…,” katanya. Dari Boha, mereka menuju Kolam. Andra tambah terperanjat. “Sekolah tutup. Rumput setinggi dada. Kok seperti ini. Saya langsung membayangkan, kalau di Waan pasti lebih buruk,” tambahnya. “Dalam pikiran saya suasana pasti sangat ekstrim. Apalagi dengan anggapan orang, di sini sangat ganas,” timpal Faatih.

Apa yang mereka pikirkan ternyata salah. Kampung Waan lebih tertata dari Boha dan Kolam. Rumah-rumah dibuat berjejer seperti huruf L, yang di kedua ujungnya ada dermaga tempat keting-ting berlabuh. Pekarangan rumah warga pun lebih rapi. Pendidikan di Kampung Waan juga lebih maju. Hanya sedikit saja anak di Waan yang buta aksara. Ternyata, ada Darwanto dan istrinya, dua guru transmigrasi dari Pulau Jawa yang mau menetap di Waan, meski sejak Agustus 2014 lalu kepala sekolah tidak pernah hadir ke Waan.

Sayang, Cahyo tak menjumpai Darwanto. Istrinya melahirkan. Darwanto turun ke Muting. Sekolah kini di bawah kendali Andra, Fatih, dan dua guru lokal lainnya.

“Sampai di sini, bergabung dengan orang berkulit hitam, berambut keriting, itu sama saja ternyata. Yang berbeda pola pikirnya saja,” kata Faatih.

Andra adalah salah seorang guru yang amat betah tinggal di Waan. Keseriusan itu membuat Darwanto memberikan keting-tingnya bebas dipakai Andra. Warung kecil di rumah Darwanto pun diserahkan untuk dikelola Andra selagi ia membawa turun istrinya melahirkan di Muting.

Andra bahkan berkeinginan untuk kembali ke Waan setelah menyelesaikan kuliahnya di Semarang.”Saya ingat nasihat orang tua. Yang paling bahagia yang kita bisa bawa mati hanya tiga; anak yang saleh, ilmu yang bermanfaat dan amal jariah. Saya ingin ilmu saya bermanfaat. Meski jauh dari orang tua, dengan tekad dan bismillah,” ujar Andra.

“Bagi saya di sini menyenangkan. Apalagi beban pikiran di sini tidak banyak. Saving keuangan tidak membengkak dan masyarakat juga sangat ramah,” ujar Andra.

Sama dengan Andra, Faatih juga kerasan tinggal di Waan. Ia punya niatan untuk menjalankan prinsip, bahwa pendidikan adalah ibadah. “Saya mau menjauhi zona nyaman,” kata Faatih

Satu hal yang membuat Andra dan Faatih kewalahan. Kebiasaan masyarakat pedalaman Papua. Anak kecil kecil harus mencari makan sendiri saat mereka mulai mampu bekerja, Berapa pun usianya. “Anak-anak ketika sudah mampu cari makan, pasti dilepas,” kata Andra. Jadinya, proses belajar hanya ada di sekolah. “Setelah itu mereka liar. Ada yang cari makan seperti panggul sagu mau pun berburu. Itu mainset masyarakat di sini. Pola pikir mereka yang harus kita ubah,” kata Andra.

Partisipasi masyarakat memang mulai tampak nyata semenjak Andra dan Faatih tinggal. Mereka rutin bersosialisasi ke warga perihal pentingnya pendidikan. Apalagi perusahaan-perusahaan sawit mulai masuk membabat hutan di kawasan Boha. “Jika ibu-ibu hanya mengandalkan kehidupan dari Kali Bian, meski ikan di sana tak akan habis, itu tidak bisa. Sumber daya alam akan semakin berkurang. Zaman semakin maju.” Begitu mereka meyakinkan masyarakat.

Apalagi dengan kenyataan, ikan di Bian kian sulit didapat sejak perusahaan sawit masuk ke Merauke. “Dulu pas awal dibuka sawit, ikan-ikan mati,” kata Nabas. Ia menyebutkan, perusahaan membuang sesuatu ke aliran Kali Bian yang menyebabkan ikan-ikan mati (mungkin limbah sawit. Karena biaya membuka kebun di sana lebih murah daripada membuat aliran limbah. Biaya tanah di sana sekitar Rp.1-2 juta per hektar—red). Nabas adalah warga Waan yang bekerja di sebuah perusahaan sawit di Boha.

Ketertinggalan memang tampak sangat kentara di sini. Listrik negara belum menyentuh daratan Waan. Jaringan telekomunikasi juga tak ada. Tak ada satu kendaraan bermotor pun yang dimiliki warga. Pernah suatu ketika, cerita Andra, sepeda motor, entah milik siapa, melintas di depan sekolah. Semua anak yang lagi belajar, berdiri dan melihat semua. “Melihat sepeda motor saja merupakan hal yang luar biasa bagi mereka. Kita satu Indonesia toh, tapi kenapa kita berbeda,” ujar Andra sedih.

Di lain waktu, Andra menunjukkan foto-foto di pulau Jawa dari komputer jinjing miliknya. “Lampu menyala ya bapak guru?.” Suatu yang amat miris. “Kasihan mereka. Mereka tidak bisa merasakan seperti apa yang dirasakan anak usia mereka.”

Andra mengakui, susah mengajak anak-anak pedalaman untuk maju. Karena hidup mereka dibentuk oleh alam. Alam lah yang dianggap segala-galanya. Alam memberi penghidupan yang cukup. Mau makan tinggal berburu atau mengambil sagu. Tapi sampai kapan? “Kita bilang pendidikan, masih ada yang ngomong: ah, kita masih bisa menggantungkan hidup di alam. Masih ada yang tidak mau berpikiran maju.”

Di sekolah pun, hanya rotan yang bisa membuat mereka patuh. Berbeda dengan daerah lain. Di sini, orang tua langsung yang meminta guru untuk merotan anaknya yang membandel. Seorang pendeta pun pernah mendatangi Andra. Lantas ia bilang, di ujung rotan itu ada emas kebaikan. Andra selalu ingat pesan pemuka agama Katolik itu. Maksudnya, dari zaman dahulu sampai sekarang, rotan adalah benda untuk memperbaiki sikap mereka, anak Papua.

Bulan Juni nanti, Andra akan kembali ke Semarang. Melihat realita, ia yakin sekolah di Waan akan tetap berjalan. Tapi ia khawatir dengan sekolah di Kolam. “Di sini masih ada sosok guru yang bertanggung jawab, beda dengan sekolah lain di kawasan Kali bian ini, seperti di Boha dan Kolam. Kalau kita pulang, saya yakin masih ada secercah harapan dari kampung Waan ini,” katanya.

Seorang ibu yang berbelanja di warung yang dijaga Andra terlihat sedih saat ditanyai perihal kepulangan Andra. Ia lama terdiam. “Pak guru pulang, anak-anak…” ia menggantungkan jawabannya.

Keberadaan Andra dan Faatih memang sudah sangat diterima masyarakat. Bahkan jika dua hari saja mereka turun ke kota untuk belanja perbekalan, ibu-ibu di Kampung Waan bakal berkunjung ke rumah, membawa apa pun yang bisa mereka bawa. “Pak guru kenapa tidak mengajar? Pak guru tak ada makan?,” begitu masyarakat menerima keberadaan para guru titipan Pertamina Foundation ini.

Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Merauke, Felix Liem, mengatakan kehadiran guru dari Unnes Semarang, sangat membantu pendidikan di daerahnya. “Mereka cukup mampu menggerakkan pendidikan yang dianggap cukup macet di pedalaman ini,” kata Felix.

Bagi Felix, transportasi ke Boha, Kolam dan Waan masuk belum masuk kategori sulit. Masih ada distrik-distrik lain seperti Distrik Wan. Bayangkan saja, jika dari Muting menuju ke Boha, Kolam dan Waan, hanya butuh biaya sekitar 1-2 juta per sekali carter keting-ting, maka jika ke Distrik Wan, biaya carter perahu mencapai puluhan juta rupiah. “Jadi bisa dibayangkan distrik yang lebih sulit lagi, kondisinya seperti apa,” kata Felix. Distrik Wan berada di bagian selatan Pulau Kinaam.

Faktor geografis, kata Felix menjadi tantangan terberat dalam pengelolaan pendidikan di pedalaman Papua. Posisi sekolah di tempat yang sangat terpencil. Medannya yang hanya dapat dilalui transportasi air dinilai sangat berat. “Tentu sangat menyulitkan guru yang bertugas di sana,” akunya.

Dinas Pendidikan, kata Felix, sedang gencar-gencarnya mempersiapkan fasilitas tempat tinggal guru, untuk memperlancar tugas. Bahkan, kata Felix, sekolah dasar tak mesti harus enam kelas, karena tempat tinggal guru kini menjadi yang utama. “Saya kira kepala sekolah harus bisa mengatasi permasalahan (kurang kelas belajar). Kelas tidak harus berpatokan lengkap enam ruang. Ruang kelas yang ada biar guru yang tempati. Siswa belajar di bawah pohon tidak apa-apa. Yang penting guru ada tempat tinggal,” katanya.

Kekurangan guru di pedalamanan juga menyangkut dengan kualifikasi guru S1. Dalam undang-undang UU No.14 tahun 2005 yang mengatur tentang kualifikasi guru dan dosen disebutkan, bahwa 10 tahun setelah ditetapkan undang-undang tersebut, guru haruslah berijazah S1 atau minimal D4. Jika tidak, yang bersangkutan akan dilarang mengajar, dan posisinya langsung diturunkan ke pegawai administrasi atau non guru. Undang-undang itu ditetapkan 30 Desember 2005. Berarti, tenggat 10 tahun akan jatuh di akhir Desember tahun ini.

“Undang-undang itu (UU No.14 tahun 2005 ) juga mempengaruhi jalannya pendidikan di pedalaman sini. Jadi banyak guru SD di pedalaman yang belum S1, mereka turun untuk melanjutkan kuliah,” kata Felix.

Menyangkut guru yang telah lulus kualifikasi tapi masih membandel dengan tetap tidak mengajar, Felix menyebutkan, pemerintah bakal memberi sanksi tegas. “Untuk awal insentif guru kita tidak dibayar. Kalau dua sampai tiga bulan tetap tidak masuk penahanan gaji pastinya.” [BERSAMBUNG]  >> HALAMAN 12, 3, 4, 5

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU