Thursday, March 28, 2024
spot_img

Indonesia, Tapi Beda… [5]

Krisis Nasionalisme

Sekitar 4 jam perjalanan dari Senggi, Cahyo menjumpai Evanda Hirda Pratama. Guru yang mengajar di SD Yabanda. Sekolah ini lebih mirip barak pengungsian. Dibangun serupa balai-balai berjejer yang di depannya ada sedikit beranda untuk bermain. Rumput di depan sekolah seukuran mata kaki orang dewasa. Di pojok depan sekolah, sebuah lapangan bola voli. Di sanalah, Evanda kerap memberi latihan bermain voli kepada masyarakat.

Evanda barangkali adalah sosok yang amat dihormati di Yabanda. Ia adalah pengibar merah-putih pertama di sekolah yang tak terlalu jauh dari Papua New Guinea, itu. Sebelum sampai di Keerom, Agustus lalu, Evan sudah membayangkan potret buram pendidikan di pelosok Papua. Nah, apa yang ia bayangkan adalah suatu hal yang amat lumrah, sekaligus sangat menyedihkan.

Evanda masih ingat. Yang pertama ia tanyakan saat tiba di Yabanda, apa itu pancasila? bagaimana lafalnya dan coba nyanyikan lagu Indonesia Raya. Tak ada yang menjawab. Mereka, anak-anak Yabanda tidak tahu.

“Itu menampar muka saya. Ini dasar negara saya, dan ini harus saya tanamkan terlebih dahulu ke mereka,” kata Evanda. Bukan hanya itu, SD Inpres Yabanda bahkan tak pernah mengibarkan bendera merah-putih. Mereka tak pernah mengawali Senin pagi dengan upacara bendera. Sebuah pekerjaan rumah awal yang segera Evan siapkan. Ia menjadi penggagas upacara yang menabik sang saka sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Hal yang sama terjadi di Kampung Ubrub Distrik Web. Di sana ada Bagus Dwi Minarno, Azis Saifuddin dan Anggi Dwi Laksono. Mereka juga relawan guru Pertamina Foundation. Mereka mengajar di SD Yayasan Pendidikan Katolik Ubrub.

“Saya berniat membagikan nasionalisme anak-anak papua,” kata Bagus Dwi Minarno, akhir Januari lalu. “Orang-orang Papua ini krisis nasionalisme. Mereka terpinggirkan secara pembangunan. Jadi di sini gembar-gembor ingin merdeka.”

Karakteristik anak-anak pedalaman Papua pada umumnya berbeda dengan anak di pulau Jawa. Metode mengajarkan pun mirip pendidikan usia dini: mengajar sambil bermain.  Evan mengajar dengan metode aplikatif. Di mana, mengajarkan dengan sesuatu yang lebih akrab bagi anak, yaitu tak hanya dengan verbal, melainkan dengan contoh-contoh.

Murid-murid, mungkin tak mengetahui hasil 2+2 jika ditanyai dengan verbal. Tanyakan ke mereka, 2 gula-gula (permen) + 2 gula-gula, hasilnya berapa? Semua kompak menjawab 4. Metode seperti itulah yang dipakai oleh Evanda untuk mengajari anak-anak Yabanda di Keerom. Saat ini pun, perlahan para murid mulai menguasai baca-tulis dan berhitung.

Butuh keahlian khusus dan kesabaran ekstra dalam mengajar di pedalaman. “Kalau pagi kita mengawali hari dengan mengajak bermain, dan kalau siang mereka minta pulang,” kata Azis. Alasannya, ‘pak guru saya lapar. Kita pulang ya.’

Orang tua murid, kata Anggi, lebih memilih untuk menyuruh anaknya untuk berburu dan memanggul sagu daripada bersekolah. Pagi pun, anak-anak biasa bersekolah tanpa sarapan. Tak heran jika menjelang siang mereka minta pulang. Di rumah pun, anak-anak tak pernah belajar. “Pagi belajar di sekolah, siang kalau tidak ke hutan, mereka bermain, dan malam lampu tidak ada. Jadi belajar hanya sekolah saja,” kata Anggi.

Daya tangkap yang kurang dan niat berangkat sekolah sedikit juga menjadi kendala. Anak Ubrub bisa saja hadir ke sekolah satu minggu, dan seminggunya lagi alpa. Mengajar mereka juga tidak perlu muluk-muluk. Hanya 3 M saja; membaca, menulis, dan menghitung.

Menurut Evan, jika saja pemerintah lebih peduli, hal ini tidak terjadi. Evanda melihat, pemerintah masih abai. Tak heran jika kemudian menemukan anak kelas 5-6 tak bisa baca-tulis.

Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Keerom Jayapura, Stenly N. Moningka menyebutkan, kendala terbesar pendidikan di Keerom adalah masih kurangnya tenaga guru. Hingga Januari 2015, tercatat ada 183 guru yang mengabdi di Keeron. Kesulitan lainnya adalah, kata Stenly, adalah akses transportasi. Jalanan ke Web dan Senggi dari Jayapura, sekitar 8-9 jam perjalanan darat. Jalan berkelok dan lubang di sana-sini. Daerah ini berada di lintasan perbatasan antara Indonesia dan Pupua New Guinea.

“Harusnya kalau pendidikan di sana bagus, bisa menjadi contoh bagi Papua Nugini,” kata Stenly. Secara politis, masyarakat di Keerom adalah pelintas batas antar negara. Mereka dari suku yang sama, namun dibatasi kewarganegaraan yang berbeda. Meski demikian, anak-anak Papua New Guinea banyak yang bersekolah di Keerom. Sekolah yang berada di tempat yang segalanya serba tertinggal. Transportasi amat sulit, listrik tak menyala, dan anak-anak yang masih belajar mengeja.

Banyak anak Papua Nugini, yang ikut belajar di SD Inpres Yabanda. Masyarakat Kampung Mambruk, dari Suku Vam Miala Papua Nugini tersebut bahkan ikut upacara bendera pada senin pagi. Suku ini rata-rata bersaudara dengan penduduk Keerom. Nah, sebuah kesulitan mengajarkan mereka adalah bahasa. Kadang, Evanda memakai anak setempat untuk menjelaskan maksudnya kepada anak dari Papua Nugini. Menurut beberapa masyarakat setempat, warga Mambruk ini adalah pelarian dari PNG. Negara itu tak mengakui kewarganegaraan mereka. Jadilah mereka sebagai warga tak bernegara yang belajar di Indonesia.

Pendeta Yabanda, Yacob Tahlele, mengatakan kehadiran Evanda merupakan berkah. “Kita bersukur dia sangat setia. Ketika guru lain tak hadir, dia pasti hadir. Ia sangat rindu anak-anak ini menjadi pintar selaku anak bangsa yang berguna bagi bangsa dan negara,” kata Yacob. Memang benar, telah sepekan lebih Evanda mengajar seorang diri. Para guru pegawai negeri dan guru kontrak lagi libur. Liburan yang amat panjang.

Tanggung Jawab Mencerdaskan Bangsa

Relawan Guru Sobat Bumi merupakan salah satu program Direktorat Green Education. Terbentuknya Green Future Laeder merupakan salah satu visi yang melandasi mengapa Pertamina Foundation menghadirkan direktorat yang bergerak pada program-program pendidikan yang menopang mandat Pertamina Foundation sebagai yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan dan lingkungan.

“Majunya sebuah bangsa salah satunya berakar dari pendidikan yang ada di dalam negeri. Pertamina Foundation melalui direktorat Green Education ingin mengambil bagian dalam meningkatkan pendidikan yang berbasis lingkungan,” ujar Rida Hesti Ratnasari, Staff Ahli Green Education.

Salah satu mitra Pertamina Foundation adalah Universitas Negeri Semarang. Melalui program Relawan Guru Sobat Bumi Pertamina Foundation mencoba menghadirkan para relawan yang salah satunya berasal dari Kampus Unnes untuk mengabdikan dirinya mengajar di Indonesia Timur agar para siswa disana memperoleh kesempatan pendidikan yang lebih baik.

“Relawan Sobat Guru merupakan program kerjasama Pertamina Foundation dengan Perguruan Tinggi Negeri untuk mengirimkan mahasiswa  tingkat akhir atau fresh graduate ke Indonesia Bagian Timur yang bertujuan untuk percepatan pembangunan pendidikan di daerah 3T Indonesia Timur,” ujar Rida. Selain mengirim mahasiswa Unnes, Pertamina Foundation juga menempatkan beberapa mahasiswa Universitas Negeri Jakarta untuk mengajar di Kabupaten Raja Ampat.

Ahmad Rizali Gaffar, Direktur Green Education menjelaskan, sebagai organisasi nirlaba dan merupakan bagian dari tanggung jawab sosial PT Pertamina [Persero], Pertamina Foundation juga bertanggung jawab pada kemajuan pendidikan di Indonesia terutama yang berbasis lingkungan. Didirikan pada 12 Januari 2011, yayasan ini mempunyai moto dasar “Belajar, Berbagi, dan Bergerak Bersama” dan berfokus ke bidang pendidikan serta isu lingkungan.  [TAMAT]  >> HALAMAN 12, 3, 4, 5

MUHAMMAD HAMZAH HASBALLAH

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU