BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Kondisi Aceh setelah penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka tujuh tahun lalu sudah semakin membaik. Hubungan Aceh dan Jakarta sudah semakin stabil dan tidak lagi memerlukan mediasi pihak ketiga.
Hal itu disampaikan Bernhard May, utusan khusus Crisis Management Initiative, saat ditemui di sela-sela penutupan program dukungan terhadap pemantauan perdamaian yang didanai Uni Eropa di Hermes Palace Hotel Banda Aceh, Rabu (23/5).
May menyebutkan, hubungan Aceh dan Jakarta semakin hari semakin membaik. Begitu pula dengan kondisi Aceh setelah tujuh tahun lebih berada dalam kondisi damai.
“Aceh sudah sangat stabil,” kata May.
Dialog antara Jakarta (baca: Pemeritah Pusat) dengan Gerakan Aceh Merdeka sudah terbina dengan baik, sehingga pelbagai persoalan, terutama soal implementasi Undang-undang Pemerintahan Aceh, yang belum mencapai titik temu bisa dikomunikasikan dengan baik.
Selama ini, Crisis Management Initiative terlibat dalam empat kali focus group discussion antara Pusat dengan GAM dan Aceh. Dalam pertemuan FGD yang kelima pada 28 Mei nanti, CMI tak lagi terlibat.
“Kami melihat (kedua belah pihak) cukup serius untuk menuntaskan persoalan yang masih belum diimplementasikan,” kata dia. “Jadi, menurut pendapat kami, CMI atau pihak ketiga tidak perlu terlibat lagi.”
Selama setahun terakhir, CMI aktif memantau kondisi perdamaian Aceh. Misi mereka akan berakhir pada awal Juni ini.
Penasehat Pos-Konflik Uni Eropa, David de Beer, menilai kondisi politik Aceh selama ini sudah sangat baik. “Tidak ada lagi konflik di Aceh,” kata de Beer. “Aceh merupakan daerah di Indonesia yang berstatus otonomi khusus yang mempunyai peluang untuk membangun ke arah yanh lebih baik lagi.” []