Saturday, May 4, 2024
spot_img

“Belanda Pemecah Islam dari Dayah”

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Zaman dulu, dayah merupakan lembaga pendidikan yang terbuka pada keberagaman. Namun, Belanda membatasi pergerakan pendidikan dayah sehingga Islam sekarang terkotak-kotak.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Guru Besar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Prof. Dr. Hasbi Amiruddin, M.A., dalam diskusi publik Peran Strategis Dayah dalam Implementasi Islam Damai dan Membendung Tindak Kekerasan atas Nama Agama di Aceh di Café Pustaka, Banda Aceh, Rabu, 21 September 2011.

Menurut Profesor Hasbi, sebelum dipengaruhi oleh Belanda, Aceh menjadi pusat dagang internasional yang terbuka pada keberagaman sehingga Islam damai lebih dikenal masa itu.

“Orang-orang dari seluruh penjuru dunia masa lampau belajar di Aceh. Dayah di Aceh masa lalu tidak mengenal istilah orang luar negeri. Orang kafir yang datang ke Aceh, untuk berdagang maupun belajar disambut dengan baik. Ini baru dikatakan bahwa Islam itu menerima perbedaan, bahwa Islam itu agama perdamaian,” tegas dia.

Dia menambahkan, saat ini terjadi pergeseran pola pendidikan dayah di Aceh. Jika dulu, orang dayah bisa jadi diplomat ke beberapa negara semisal Turky, sekarang orang dayah lebih ekslusif.

“Kita patut kagum pada ulama Aceh dulu yang pada dasarnya mereka itu dari dayah. Tgk. Syiah Kuala contohnya. Ia belajar hingga ke Yaman lalu ke Mekkah. Di sana ia menghabiskan waktu sampai 19 tahun. Ketika kembali ke Aceh, ia diminta menulis buku oleh sultan. Ia menulisnya bahkan buku tafsir pertama dalam bahasa Melayu ditulis oleh Tgk Syiah Kuala alias Tgk. Chik Pante Kulu,” papar profesor, bangga.

Hasbi menambahkan, buku Tgk Syiah Kuala tidak hanya dibaca oleh orang dayah, tetapi juga oleh profesor-profesor dari berbagai belahan dunia. Kata dia, orang-orang dayah sekarang harus bisa menjadi “Tgk Syiah Kuala”.

Dia terus-menerus menyebutkan bahwa orang-orang dayah masa lalu banyak yang menulis. Mereka mengeluarkan kitab. Pada masa Ratu Safiatuddin, baru ada kekurangan penulisan kitab, bahkan saat itu terjadi pembakaran banyak kitab. Tambah lagi, saat itu Belanda mulai menyerang Aceh habis-habisan.

“Saat terjadi perang Belanda inilah semua ikut berperang bahkan ulama pun. Dayah-dayah terpinggirkan ke hutan. Akhirnya, para ulama mulai terbuka pemikirannya bahwa perang hanya memakan korban, sedangkan Aceh perlu ilmu dan pendidikan. Akhirnya, banyak ulama menyerah kepada Belanda. Mereka kembali ke kampung dan mendirikan dayah,” papar dia.

Sayangnya, sebut dosen Fakultas Tarbiyah IAIN, karena dayah masa itu masih dipengaruhi oleh Belanda, kitab-kitab pun dibatasi. Kemampuan orang dayah yang mulai kurang. Dari sini kemudian, kata Hasbi, Belanda mencoba memecah Islam melalui mazhab-mazhab.

“Dulu, Syiah bisa hidup di Aceh. Bahkan, banyak budaya Syiah yang masih berkembang dalam masyarakat Aceh. Sekarang saja sudah ada klaim syiah sesat. Dalam Ahlaussunah pun ada klaim seolah semua hanya Safi’i. Ini ulah Belanda masa itu,” pungkas dia.

Narasumber dari Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah (BPPD) Aceh, Drs. Muhammad Nasir yang dimintai tanggapannya, menyatakan, badan dayah ke depan akan terus mendampingin dayah di Aceh agar lebih maju dan berkembang.

“Saat ini memang prioritas kita pada pembangunan fisik, karena sesuai rekomendasi pemimpin dayah se-Aceh dengan wagub pada 2008 lalu. Namun, kita juga akan memberikan penguatan sumberdaya manusia. Tahun depan mungkin akan ada 10 atau 11 dayah yang diberikan internet. Tahun ini, ada 20 orang dayah yang kita kirim ke Malaysia. Selesai S2 di sana, mereka berjanji mengabdi di dayah,” tutur Nasir. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU