Bencana di Aceh
Belum genap setahun berlalu, bencana banjir kembali menghantam Tangse pada minggu terakhir Februari 2012 lalu. Sebelumnya di Maret 2011, banjir bandang juga menghumbalang wilayah itu yang membuat korban jiwa dan materi: lima desa terkena banjir, sembilan orang tewas, belasan luka-luka, 328 rumah rusak, serta 210 hektar kebun dan sawah hancur.
Daerah Aceh memang sejak beberapa tahun terakhir ini sering dilanda bencana, baik yang sifatnya alamiah maupun karena kerusakan lingkungan yang disebabkan ulah serakah manusia yang eksploitatif. Bencana mulai dari banjir, longsor, gempa bumi, angin puting beliung, dan yang terbesar adalah tsunami pernah menghantam Aceh. Dilihat dari letaknya, Aceh sebenarnya berada di atas alur Sesar Semangko dan Sesar Darul Imarah. Menurut ahli gempa dan peneliti LIPI, Danny Hilman Natawidjaja, “Sesar Semangko sangat aktif dan bergerak 1-3 sentimeter per tahun” (Tempo¸edisi 27/2/2012). Sesar Darul Imarah membelah kota Banda aceh dan Sesar Semangko alurnya sejajar dengan Pegunungan Bukit Barisan dan memiliki 20 patahan kecil, kota Sabang dan Banda Aceh berada di atasnya. Gempa 9,3 skala Richter diikuti tsunami yang menghantam Aceh pada 26 Desember 2004 lalu berasal dari gesekan lempeng yang terletak di selatan-barat Sumatera itu.
Selain bencana itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh mencatat sebagaimana dirilis Kompas (1/3) telah terjadi 46 banjir (2007), meningkat menjadi 170 kejadian (2008), menjadi 213 kejadian (2009), dan bertambah lagi menjadi 250 kejadian (2010). Hal ini belum termasuk kebakaran hutan, konflik satwa dengan manusia, dan longsor. Massifnya bencana yang terjadi di Aceh seharusnya membuat masyarakatnya lebih waspada dan berhati-hati dalam menghadapinya. Bencana yang terus berulang dan datang silih berganti juga membuat kita bertanya apakah kita sudah belajar dari bencana?
Pertanyaan ini relevan bila kita secara seksama mengamati penyebab banjir bandang di Tangse selama dua tahun berturut-turut ini. Seharusnya jika masyarakat belajar dari hikmah Bencana I, Bencana II tidak akan terjadi karena penyebab timbulnya bencana adalah karena ulah tangan manusia yang pada dasarnya dapat dikendalikan dan diawasi–bukan sesuatu yang alamiah yang tiba-tiba terjadi tanpa diprediksi. Ini juga berkorelasi dengan apakah kita sudah belajar dari bencana gempa dan tsunami yang terjadi di akhir 2004 lalu?
Kompas menulis dalam tajuk rencananya (12/3) baik masyarakat maupun pemerintah terkadang abai dan kurang perhatian terhadap kenyataan bahwa Indonesia berada di daerah yang rawan bencana. Wilayah Indonesia berada di atas kawasan Cincin Api Pasifik yang secara geologi sangat aktif. Berbagai pelatihan atau sosialisasi terhadap ancaman gempa dan tsunami memang sudah dilaksanakan. Namun hal itu dilakukan secara tidak berkesinambungan sehingga masyarakat dan pemerintah terjangkit penyakit hangat-hangat tahi ayam. Kita sangat berkepentingan untuk terus menambah pengetahuan tentang gempa dan bencana lainnya karena berharap saat gempa dan bencana itu terjadi, kita dapat menekan angka korban seminimal mungkin. Bahkan pada bencana yang bersumber karena ulah tangan manusia, seharusnya bisa dicegah.
Belajar dari Bencana Jepang
Jepang memberi contoh yang baik tentang bagaimana masyarakat dan pemerintahnya belajar dari bencana gempa dan tsunami yang sering melanda negeri itu. Tepat pada 11 Maret 2011 lalu terjadi tiga bencana besar di Jepang yaitu gempa bumi 9,0 SR, tsunami, dan bocornya reaktor nuklir. Bencana itu menewaskan 19.000 orang dan mengakibatkan 342.000 orang kehilangan rumah. Mereka telah belajar dari gempa Kobe 1995 sehingga desain seluruh bangunan dan infrastrukturnya untuk bertahan menghadapi lindu pada kekuatan maksimal 8 magnitude. Jepang yang sering disambangi bencana juga menyiapkan diri dengan menyebar sensor ke berbagai penjuru daerah, mulai dari laut, pesisir, hingga sepanjang lintasan kereta cepat (Kompas, 7/3/2012). Badan Meteorologi Jepang (JMA) menerapkan sistem terintegrasi bernama Earthquake Phenomena Observations System (Ephos) yang dikendalikan secara paralel dan saling backup dari Tokyo dan Osaka. JMA memasang 200 stasiun seismik di seluruh penjuru pulau utama hingga pulau terluar Jepang dan di pantai timur dipasang belasan sensor pengukur seismik di bawah laut. Pemetaan dibagi menjadi tiga kategori yaitu mayor tsunami (lebih dari 3 meter), tsunami (1-2 meter), dan tsunami advisory (0,5 meter). Ini didapatkan dengan menganalisis lebih dari 100.000 skenario tsunami untuk mendapatkan keakuratan informasi. Beberapa menit setelah deteksi tsunami, hasil kalkulasi didistribusikan kepada pemerintah, polisi/pemadam kebakaran, stasiun televisi, dan radio untuk disebarluaskan ke masyarakat. Tapi sistem ini bukannya tanpa cela.
Tim Folger dalam artikelnya yang dipublikasikan National Geographic Indonesia edisi Februari 2012 menuliskan bahwa pada Maret 2011 itu, sistem yang dioperasikan JMA ini tidak bekerja sempurna. Perkiraan awal JMA, saat tanah masih bergoyang, gempa tersebut berkekuatan 7,9—sementara analisis belakangan mengungkapkan gempa itu 9 skala Richter, 12 kali lebih besar. JMA memperingatkan akan adanya gelombang tsunami setinggi tiga meter atau lebih—sementara gelombang sebenarnya mencapai 15,5 meter di Minamisanriku dan bahkan mungkin lebih tinggi di beberapa tempat lain. Respons manusia terhadap peringatan itu juga tidak sempurna, hal ini dibuktikan dengan banyaknya orang yang merasa tidak perlu menyelamatkan diri dan tinggal di atas batas tertinggi tsunami 1960.
Bersama dengan JMA, ada The Port and Airport Research Institute (PARI), institusi penelitian independen yang mengendalikan alat pengukur gelombang bawah laut (seabed wave gauge) sebanyak 60 titik di kedalaman 20-50 meter dan ditambah 15 stasiun mengapung yang dinamakan GPS-mounted Buoys setinggi lebih dari 7 meter yang memberikan laporan kondisi perairan setiap detik sehingga dengan cepat mampu mendeteksi dan mengamati gelombang tsunami yang mendekati pantai. Kedua alat yang bersinergi dengan sebutan Nationwide Ocean Wave Information Network for Ports and Harbours ini cukup ampuh mendeteksi tsunami. Sejak 1970-an, Jepang juga memperbarui syarat keamanan bangunan dan mencari model yang tepat dalam membangun kota pesisir yang aman dari tsunami, nyaman, dan berkelanjutan. [bersambung]
Baca Juga:
Belajar dari Bencana: Aceh, Jepang, dan Dunia [2]