Thursday, April 25, 2024
spot_img

OPINI | Belajar dari Bencana: Aceh, Jepang, dan Dunia [1]

Bencana di Aceh

Belum genap setahun berlalu, bencana banjir kembali menghantam Tangse pada minggu ter­akhir Februari 2012 lalu. Sebelumnya di Maret 2011, banjir bandang juga menghumbalang wi­layah itu yang membuat korban jiwa dan materi: lima desa terkena banjir, sembilan orang te­was, belasan luka-luka, 328 rumah rusak, ser­­ta 210 hektar kebun dan sawah hancur.

Daerah Aceh memang sejak beberapa tahun terakhir ini sering dilanda bencana, baik yang sifatnya alamiah maupun karena kerusakan lingkungan yang disebabkan ulah serakah ma­nusia yang eksploitatif. Bencana mulai dari banjir, longsor, gempa bumi, angin puting beliung, dan yang terbesar adalah tsunami pernah menghantam Aceh. Dilihat dari letaknya, Aceh se­benarnya berada di atas alur Sesar Semangko dan Sesar Darul Imarah. Menurut ahli gempa dan pe­­neliti LIPI, Danny Hilman Natawidjaja, “Sesar Se­mangko sangat aktif dan bergerak 1-3 sen­timeter per tahun” (Tempo¸edisi 27/2/2012). Se­sar Darul Imarah membelah kota Banda aceh dan Se­sar Semangko alurnya sejajar dengan Pe­gunungan Bukit Barisan dan memiliki 20 patahan ke­cil, kota Sabang dan Banda Aceh berada di a­tas­nya. Gempa 9,3 skala Richter diikuti tsunami yang menghantam Aceh pada 26 Desember 2004 lalu berasal dari gesekan lempeng yang terletak di selatan-barat Sumatera itu.

Selain bencana itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh mencatat sebagaimana di­ri­lis Kompas (1/3) telah terjadi 46 banjir (2007), meningkat menjadi 170 kejadian (2008), menjadi 213 ke­jadian (2009), dan bertambah lagi menjadi 250 kejadian (2010). Hal ini belum termasuk ke­­bakaran hutan, konflik satwa dengan manusia, dan longsor. Massifnya bencana yang terjadi di Aceh seharusnya membuat masyarakatnya lebih waspada dan berhati-hati dalam meng­hadapinya. Bencana yang terus berulang dan datang silih berganti juga membuat kita bertanya apa­kah kita sudah belajar dari bencana?

Pertanyaan ini relevan bila kita secara seksama mengamati penyebab banjir bandang di Tang­se selama dua tahun berturut-turut ini. Seharusnya jika masyarakat belajar dari hikmah Ben­cana I, Bencana II tidak akan terjadi karena penyebab timbulnya bencana adalah karena ulah ta­ngan manusia yang pada dasarnya dapat dikendalikan dan diawasi–bukan sesuatu yang alamiah yang tiba-tiba terjadi tanpa diprediksi. Ini juga berkorelasi dengan apakah kita sudah belajar dari ben­cana gempa dan tsunami yang terjadi di akhir 2004 lalu?

Kompas menulis dalam tajuk rencananya (12/3) baik masyarakat maupun pemerintah ter­kadang abai dan kurang perhatian terhadap kenyataan bahwa Indonesia berada di daerah yang ra­wan bencana. Wilayah Indonesia berada di atas kawasan Cincin Api Pasifik yang secara geologi sa­ngat aktif. Berbagai pelatihan atau sosialisasi terhadap ancaman gempa dan tsunami memang su­dah dilaksanakan. Namun hal itu dilakukan secara tidak berkesinambungan sehingga mas­yarakat dan pemerintah terjangkit penyakit hangat-hangat tahi ayam. Kita sangat berkepentingan un­tuk terus menambah pengetahuan tentang gempa dan bencana lainnya karena berharap saat gem­pa dan bencana itu terjadi, kita dapat menekan angka korban seminimal mungkin. Bahkan pa­da bencana yang bersumber karena ulah tangan manusia, seharusnya bisa dicegah.

Belajar dari Bencana Jepang

Jepang memberi contoh yang baik tentang bagaimana masyarakat dan pemerintahnya be­lajar dari bencana gempa dan tsunami yang sering melanda negeri itu. Tepat pada 11 Maret 2011 la­lu terjadi tiga bencana besar di Jepang yaitu gempa bumi 9,0 SR, tsunami, dan bocornya re­aktor nuklir. Bencana itu menewaskan 19.000 orang dan mengakibatkan 342.000 orang ke­hilangan rumah. Mereka telah belajar dari gempa Kobe 1995 sehingga desain seluruh bangunan dan infrastrukturnya untuk bertahan menghadapi lindu pada kekuatan maksimal 8 magnitude. Jepang yang sering disambangi bencana juga menyiapkan diri dengan menyebar sensor ke ber­bagai penjuru daerah, mulai dari laut, pesisir, hingga sepanjang lintasan kereta cepat (Kompas, 7/3/2012). Badan Meteorologi Jepang (JMA) menerapkan sistem terintegrasi bernama Earth­quake Phenomena Observations System (Ephos) yang dikendalikan secara paralel dan saling back­up dari Tokyo dan Osaka. JMA memasang 200 stasiun seismik di seluruh penjuru pulau uta­ma hingga pulau terluar Jepang dan di pantai timur dipasang belasan sensor pengukur seismik di ba­wah laut. Pemetaan dibagi menjadi tiga kategori yaitu mayor tsunami (lebih dari 3 meter), tsu­nami (1-2 meter), dan tsunami advisory (0,5 meter). Ini didapatkan dengan menganalisis lebih dari 100.000 skenario tsunami untuk mendapatkan keakuratan informasi. Beberapa menit setelah de­teksi tsunami, hasil kalkulasi didistribusikan kepada pemerintah, polisi/pemadam kebakaran, sta­siun televisi, dan radio untuk disebarluaskan ke masyarakat. Tapi sistem ini bukannya tanpa ce­la.

Tim Folger dalam artikelnya yang dipublikasikan National Geographic Indonesia edisi Feb­ruari 2012 menuliskan bahwa pada Maret 2011 itu, sistem yang dioperasikan JMA ini tidak be­kerja sempurna. Perkiraan awal JMA, saat tanah masih bergoyang, gempa tersebut ber­kekuatan 7,9—sementara analisis belakangan mengungkapkan gempa itu 9 skala Richter, 12 kali le­bih besar. JMA memperingatkan akan adanya gelombang tsunami setinggi tiga meter atau le­bih—sementara gelombang sebenarnya mencapai 15,5 meter di Minamisanriku dan bahkan mung­kin lebih tinggi di beberapa tempat lain. Respons manusia terhadap peringatan itu juga ti­dak sempurna, hal ini dibuktikan dengan banyaknya orang yang merasa tidak perlu me­nyelamatkan diri dan tinggal di atas batas tertinggi tsunami 1960.

Bersama dengan JMA, ada The Port and Airport Research Institute (PARI), institusi pe­nelitian independen yang mengendalikan alat pengukur gelombang bawah laut (seabed wave gauge) sebanyak 60 titik di kedalaman 20-50 meter dan ditambah 15 stasiun mengapung yang di­namakan GPS-mounted Buoys setinggi lebih dari 7 meter yang memberikan laporan kondisi per­airan setiap detik sehingga dengan cepat mampu mendeteksi dan mengamati gelombang tsunami yang mendekati pantai. Kedua alat yang bersinergi dengan sebutan Nationwide Ocean Wave In­formation Network for Ports and Harbours ini cukup ampuh mendeteksi tsunami. Sejak 1970-an, Je­pang juga memperbarui syarat keamanan bangunan dan mencari model yang tepat dalam mem­bangun kota pesisir yang aman dari tsunami, nyaman, dan berkelanjutan. [bersambung]

Baca Juga:
Belajar dari Bencana: Aceh, Jepang, dan Dunia [2]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU