Saturday, April 27, 2024
spot_img

OPINI | Belajar dari Bencana: Aceh, Jepang, dan Dunia [2]

MAJALAH National Geographic Indonesia edisi Februari 2012 secara khusus mengangkat ju­d­ul utama Prediksi Tsunami, Kapan dan Di Mana Gelombang Berikutnya Menerpa? dengan sam­pul depannya adalah foto mesjid Rahmatullah di Lampuuk (Aceh Besar) pascatsunami 2004. Da­lam artikelnya, majalah ini menempatkan Jepang adalah negara terbaik di dunia dalam hal per­siapan gempa bumi dan tsunami. Jepang telah memperkuat bangunan-bangunan tua dan me­lengkapi bangunan baru dengan peredam guncangan. Tembok laut yang tingginya lebih dari 5,5 me­ter melindungi banyak kota pesisirnya, sementara rute evakuasi tsunami memiliki rambu yang jelas.

Beberapa negara telah bekerja sama untuk memperluas penggunaan sistem deteksi tsu­nami. Sistem ini terdiri atas instrumen yang terpasang di laut—disebut tsunameter—yang meng­ukur perubahan tekanan akibat tsunami yang lewat. Tsunameter mengirimkan sinyal ke pe­lampung di permukaan yang meneruskan data itu ke satelit. Satelit itu kemudian menyiarkan in­formasi tersebut ke pusat peringatan di seluruh dunia. Pada 2004 hanya ada enam detektor yang ter­pa­sang dan semuanya di Pasifik, tidak ada yang dipasang di Samudra Hindia, ditambah lagi ba­nyak negara di kawasan itu yang tidak memiliki pusat peringatan nasional yang bisa mem­peringatkan masyarakat. Kesalahan kebijakan itu tentunya membawa konsekuensi tragis. Se­karang ada 53 pelampung-detektor yang beroperasi di semua lautan di dunia, termasuk 6 dari 27 yang direncanakan di Samudra Hindia.

Di Washington ada rambu evakuasi tsunami, menara tinggi di pantai untuk menyiarkan per­ingatan, dan buklet informasi tsunami di kamar hotel. Tapi pusat evakuasi tidak banyak dan ti­dak semua orang memiliki akses ke tempat yang tinggi. Di Indonesia, seperti di Padang telah ada 32 rute evakuasi dan sedang membangun sembilan dari rencana seratus tempat penampungan ber­­tingkat untuk perlindungan dari gelombang tsunami; di Aceh juga telah ada beberapa tempat eva­­kuasi bertingkat serta Museum Tsunami—dapat juga berfungsi sebagai tempat pe­nyelamatan—yang selama ini sering digunakan saat latihan simulasi dan siap-siaga bencana gem­pa dan tsunami dan beberapa rambu serta rute evakuasi. Khusus di Banda Aceh, beberapa tem­pat evakuasi tsunami (escape building) ada yang sudah disegel, dirantai, dan dikunci karena se­lama ini sering dimanfaatkan oleh oknum masyarakat yang nakal dengan melakukan perbuatan ter­cela di tempat itu. Hal ini menjadi hambatan tersendiri bila bencana benar-benar terjadi secara tiba-tiba tapi masyarakat tidak bisa memanfaatkan gedung itu karena kesulitan untuk masuk dan naik menyelamatkan diri.

Pelatihan kesiap-siagaan terhadap bencana dan edukasi untuk mitigasi bencana telah se­ring dilaksanakan, baik dilakukan oleh pemerintah, PMI, NGO International, maupun TDMRC yang membuat masyarakat jadi lebih tersosialiasi dan diharapkan dapat menghadapi bencana dengan lebih siap dan selalu siaga. Kontradiksi terjadi saat ada beberapa kalangan masyarakat yang seharusnya diuntungkan dari berbagai program sosialisasi ini malah enggan untuk ikut ter­libat serta karena tidak mendapatkan uang (cash) dari program ini. Pengalaman langsung dari te­man saya yang menjadi relawan di PMI dan bergabung di program pertolongan pertama berbasis mas­yarakat membuktikan itu. Dia mengkoordinatori dua desa dan di awal bulan pertama prog­ram berjalan, relawan masyarakat yang berhasil direkrut sebanyak 48 orang, seiring berjalan wak­tu jumlahnya terus merosot, hingga hanya tersisa delapan orang. Pada awal implementasi prog­ram ini, relawan masyarakat mendapatkan dana per diem dan konsumsi, dan pada dua bulan ter­akhir saat dinyatakan tidak akan mendapatkan uang lagi, masyarakat mundur teratur satu-satu. Te­man saya menyatakan betapa masyarakat itu rugi, karena walaupun tidak mendapatkan uang, ma­teri yang diberikan sesungguhnya sangat bermanfaat pada masyarakat itu. Hal ini juga terjadi pada beberapa program lain baik dikelola pemerintah maupun NGO baik lokal maupun inter­nasional yang kesulitan merekrut masyarakat atau mengajak masyarakat untuk terlibat dalam prog­ram yang sifatnya kesukarelaan, tanpa mengharapkan imbalan. Tapi mental uang untuk ker­ja (cash for work) secara tidak sadar melesap di masyarakat.

Baik di Aceh, Jepang, maupun negara lainnya yang terkena bencana, masyarakat dan khu­susnya yang berusia lanjut enggan untuk pindah dan akan tetap kembali menetap di daerah asal­nya yang sebelumnya pernah luluh lantak oleh bencana dan mengetahui serta menyadari da­erah itu berbahaya. Mereka tetap ingin tinggal di tempat nenek moyang mereka hidup dan me­ninggal.

 

Proses mengingat bencana dan mencoba untuk memitigasinya harus berjalan tidak henti-hen­ti: pewarisan pengetahuan dan ingatan wajib dilakukan dari generasi ke generasi. Tidak se­perti gempa bumi yang dapat sering terjadi, tsunami sering melewati satu generasi sehingga memberinya kekuatan terpendam dan tidak terduga (Marie Mutsuki Mockett dalam NGI, Februari 2012). Kita tentu tidak ingin, beberapa ratus tahun lagi, setelah lindu mengguncang, masyarakat melihat air laut surut dan bergegas ke pantai, bukan malah lari meninggalkan pantai! [tamat]

BIODATA PENULIS

Rizki Alfi Syahril beraktivitas di Liga Kebudayaan Komunitas Tikar Pandan. Saat ini sedang melanjutkan pendidikan di Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada.

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU