MAJALAH National Geographic Indonesia edisi Februari 2012 secara khusus mengangkat juÂdÂul utama Prediksi Tsunami, Kapan dan Di Mana Gelombang Berikutnya Menerpa? dengan samÂpul depannya adalah foto mesjid Rahmatullah di Lampuuk (Aceh Besar) pascatsunami 2004. DaÂlam artikelnya, majalah ini menempatkan Jepang adalah negara terbaik di dunia dalam hal perÂsiapan gempa bumi dan tsunami. Jepang telah memperkuat bangunan-bangunan tua dan meÂlengkapi bangunan baru dengan peredam guncangan. Tembok laut yang tingginya lebih dari 5,5 meÂter melindungi banyak kota pesisirnya, sementara rute evakuasi tsunami memiliki rambu yang jelas.
Beberapa negara telah bekerja sama untuk memperluas penggunaan sistem deteksi tsuÂnami. Sistem ini terdiri atas instrumen yang terpasang di laut—disebut tsunameter—yang mengÂukur perubahan tekanan akibat tsunami yang lewat. Tsunameter mengirimkan sinyal ke peÂlampung di permukaan yang meneruskan data itu ke satelit. Satelit itu kemudian menyiarkan inÂformasi tersebut ke pusat peringatan di seluruh dunia. Pada 2004 hanya ada enam detektor yang terÂpaÂsang dan semuanya di Pasifik, tidak ada yang dipasang di Samudra Hindia, ditambah lagi baÂnyak negara di kawasan itu yang tidak memiliki pusat peringatan nasional yang bisa memÂperingatkan masyarakat. Kesalahan kebijakan itu tentunya membawa konsekuensi tragis. SeÂkarang ada 53 pelampung-detektor yang beroperasi di semua lautan di dunia, termasuk 6 dari 27 yang direncanakan di Samudra Hindia.
Di Washington ada rambu evakuasi tsunami, menara tinggi di pantai untuk menyiarkan perÂingatan, dan buklet informasi tsunami di kamar hotel. Tapi pusat evakuasi tidak banyak dan tiÂdak semua orang memiliki akses ke tempat yang tinggi. Di Indonesia, seperti di Padang telah ada 32 rute evakuasi dan sedang membangun sembilan dari rencana seratus tempat penampungan berÂÂtingkat untuk perlindungan dari gelombang tsunami; di Aceh juga telah ada beberapa tempat evaÂÂkuasi bertingkat serta Museum Tsunami—dapat juga berfungsi sebagai tempat peÂnyelamatan—yang selama ini sering digunakan saat latihan simulasi dan siap-siaga bencana gemÂpa dan tsunami dan beberapa rambu serta rute evakuasi. Khusus di Banda Aceh, beberapa temÂpat evakuasi tsunami (escape building) ada yang sudah disegel, dirantai, dan dikunci karena seÂlama ini sering dimanfaatkan oleh oknum masyarakat yang nakal dengan melakukan perbuatan terÂcela di tempat itu. Hal ini menjadi hambatan tersendiri bila bencana benar-benar terjadi secara tiba-tiba tapi masyarakat tidak bisa memanfaatkan gedung itu karena kesulitan untuk masuk dan naik menyelamatkan diri.
Pelatihan kesiap-siagaan terhadap bencana dan edukasi untuk mitigasi bencana telah seÂring dilaksanakan, baik dilakukan oleh pemerintah, PMI, NGO International, maupun TDMRC yang membuat masyarakat jadi lebih tersosialiasi dan diharapkan dapat menghadapi bencana dengan lebih siap dan selalu siaga. Kontradiksi terjadi saat ada beberapa kalangan masyarakat yang seharusnya diuntungkan dari berbagai program sosialisasi ini malah enggan untuk ikut terÂlibat serta karena tidak mendapatkan uang (cash) dari program ini. Pengalaman langsung dari teÂman saya yang menjadi relawan di PMI dan bergabung di program pertolongan pertama berbasis masÂyarakat membuktikan itu. Dia mengkoordinatori dua desa dan di awal bulan pertama progÂram berjalan, relawan masyarakat yang berhasil direkrut sebanyak 48 orang, seiring berjalan wakÂtu jumlahnya terus merosot, hingga hanya tersisa delapan orang. Pada awal implementasi progÂram ini, relawan masyarakat mendapatkan dana per diem dan konsumsi, dan pada dua bulan terÂakhir saat dinyatakan tidak akan mendapatkan uang lagi, masyarakat mundur teratur satu-satu. TeÂman saya menyatakan betapa masyarakat itu rugi, karena walaupun tidak mendapatkan uang, maÂteri yang diberikan sesungguhnya sangat bermanfaat pada masyarakat itu. Hal ini juga terjadi pada beberapa program lain baik dikelola pemerintah maupun NGO baik lokal maupun interÂnasional yang kesulitan merekrut masyarakat atau mengajak masyarakat untuk terlibat dalam progÂram yang sifatnya kesukarelaan, tanpa mengharapkan imbalan. Tapi mental uang untuk kerÂja (cash for work) secara tidak sadar melesap di masyarakat.
Baik di Aceh, Jepang, maupun negara lainnya yang terkena bencana, masyarakat dan khuÂsusnya yang berusia lanjut enggan untuk pindah dan akan tetap kembali menetap di daerah asalÂnya yang sebelumnya pernah luluh lantak oleh bencana dan mengetahui serta menyadari daÂerah itu berbahaya. Mereka tetap ingin tinggal di tempat nenek moyang mereka hidup dan meÂninggal.
Proses mengingat bencana dan mencoba untuk memitigasinya harus berjalan tidak henti-henÂti: pewarisan pengetahuan dan ingatan wajib dilakukan dari generasi ke generasi. Tidak seÂperti gempa bumi yang dapat sering terjadi, tsunami sering melewati satu generasi sehingga memberinya kekuatan terpendam dan tidak terduga (Marie Mutsuki Mockett dalam NGI, Februari 2012). Kita tentu tidak ingin, beberapa ratus tahun lagi, setelah lindu mengguncang, masyarakat melihat air laut surut dan bergegas ke pantai, bukan malah lari meninggalkan pantai! [tamat]
BIODATA PENULIS
Rizki Alfi Syahril beraktivitas di Liga Kebudayaan Komunitas Tikar Pandan. Saat ini sedang melanjutkan pendidikan di Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada.