Thursday, April 25, 2024
spot_img

Balada Seorang Jurnalis

SAYA sudah lama mengenalnya. Ia bekerja sebagai jurnalis di sebuah media nasional. Ia teman yang hebat, hangat, dan sosok yang menyenangkan. Dua pekan lalu, jelang tengah malam, saya bertemu lagi dengannya. Kami berbicara banyak dan saling bercanda.

Hingga, ia bercerita tentang kondisi dirinya, yang membuat saya pilu, sesak, sekaligus makin mengaguminya: sebagai jurnalis hebat yang mempertahankan idealismenya.

Malam itu, dengan membawa serta gitar, dia datang terlambat dan tergopoh-gopoh pada tempat yang kami janjikan. Setelah pembicaraan tentang rencana kami selesai, dia merebahkan diri berdendang sambil mencabik senar gitar.

Lalu bangkit keluar dari pintu. Beberapa saat saya menyusul, mendapatinya duduk di pojokan, sambil menghitung uang recehan.

Dia tidak menyangka kehadiran saya, dengan malu-malu dia mengaku “Tadi habis ngamen, Bang. Lumayan, bisa buat makan.”

Saya kaget. Terdiam, kehabisan kata-kata, seakan tidak percaya dengan pengakuan yang baru saya dengar. Saya malah bertanya soal keseriusan ucapannya itu.

Namun, saya menyadari bahwa pria yang sedang menghitung recehan itu merupakan orang yang jujur.

“Habis gimana lagi Bang, ngarap gaji gak bakalan cukup, yang penting kan halal,” sambungnya polos, yang bikin saya merinding.

Saya tidak menyangka sampai sebegitunya cara dia mempertahankan idealismenya, cara dia menjaga marwah profesi ini dari noda yang mencelanya. Sebagian orang masih menganggap profesi jurnalis itu sangat prestisius, luas pergaulan, mentereng, dan punya daya akses mudah kepada sumber kekuasaan dan keuangan, bisa bertemu dengan orang baik-baik, sekedar baik, ataupun jahat sekalipun.

Nyatanya, tidak “seindah” dugaan kebanyakan orang. Tidak semua media membayar pekerjanya dengan upah layak. Mereka tak lebih dari penjual berita eceran.

“Malam ini, alhamdullilah dapat 98 ribu, Bang,” kata dia usai menghitung.

Lalu kami terdiam. “Sering kau ngamen,” tanya saya.

Gak juga Bang, pas lagi kepepet aja, kadang malu juga bila ketemu narasumber.”

“Pernah seperti itu (ketemu narasumbermu saat ngamen?).”

“Belum, saya sering pake topi pet, Bang. Kalau misalnya melihat orang yang saya kenal, saya balik kanan, cari warung atau kafe lain.”

“Kapan ngamen lagi, ajak saya ya,”

“Boleh, Bang, entar saya kasih tau.” Jawabnya sambil bangkit masuk ke dalam, saya mengikutinya dari belakang.

Ia lelaki yang menepati janji. Pada sebuah malam, ia menghubungi dan mengajak serta saya mengamen. Hanya saja, saya urung ikut karena sedang ada janji dengan beberapa kenalan lainnya.

“Bang, yuk ikut. Malam ini syaa mau ngamen.” Kata itu membekas di benak saya, membuat dada sesak dan pilu. []

SUPARTA ARZ

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU