Saturday, April 20, 2024
spot_img

Vaksin Haram untuk Kebijakan Halal

Vaksin Haram untuk Kebijakan Halal

Saiful Mahdi*

Belakangan ini isu halal kembali mencuat. Dipicu oleh masalah vaksin measles rubella (MR) atau campak dan rubella (campak Jerman) yang mengadung bahan dari babi.Ini jelas haram buat Muslim. Namun MUI dan sejumlah dai kondang sudah bicara. Menurut mereka vaksin MR ini bisa jadi tidak haram karena darurat. Sampai ditemukan vaksin yang tak mengandung unsur haram.

Fatwa MUI ditanggapi berbeda. Ada kepala daerah yang kembali melanjutkan vaksinasi. Agar mencegah anak-anak, juga orang dewasa, terjangkit virus rubella yang sangat berbahaya. Sekali terjangkit, virus ini dapat menyebabkan kebutaan, ketulian, cacat otak, hingga keterbelakangan mental. Tapi ada juga yang ragu bahkan melarang program vaksinasi dilanjutkan. Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, memilih yang terakhir. Akibatnya? Aceh terendah capaian imunisasi MR di Indonesia!

Kenapa isu halal atau tidak halal kembali mencuat?

Padahal demikian banyak jenis obat yang dikonsumsi orang Indonesia, termasuk di Aceh, yang tidak jelas halal atau tidaknya. Bahkan vitamin dan makanan tambahan untuk anak-anak banyak yang tidak atau belum bersertifikat halal.

Padahal kita seringkali tidak peduli halal atau tidaknya makanan yang disajikan kedai, warung, hingga restoran di Indonesia. Kita juga tidak begitu peduli dengan halal atau tidaknya aneka jajanan anak-anak kita di sekolah dan lingkungan sekitar.

Jika Anda seorang muslim yang baik. Pernah bepergian ke tempat dimana muslim adalah minoritas. Tentu lebih tahu makna penting halal atau tidak halalnya apa yang Anda konsumsi. Kita jadi lebih peka. Kita selalu berusaha memastikan kehalalan apa yang kita makan. Dengan bertanya atau membaca keterangan bahan yang digunakan.

Di Amerika, muslim memilih makanan kosher, makanan “halal” nya orang Yahudi, jika tak menemukan makanan berlabel halal yang masih langka. Terutama di kota-kota kecil. Orang Yahudi tidak makan babi. Dari sisi ini, muslim jadi merasa aman mengonsumsi makanan kosher. Kaum Yahudi bahkan lebih ketat dalam urusan “halal tidaknya” apa yang mereka konsumsi. Kosher yang ketat mensyaratkan sampai sendok-garpu masih tersegel dan hanya dibuka di depan kita saat kita makan di sebuah restoran.

Mereka yang pernah berusaha menjaga makanannya tetap halal selama menjadi minoritas di luar sana, bisa jadi terkejut dengan kurangnya sensitivitas terhadap isu halal di Indonesia.  Ada yang beranggapan karena Muslim di Indonesia adalah manyoritas. Jadi kita beranggapan sebagian besar makanan kita tentu halal. Seorang teman pernah berujar “Yang kita perlukan di Aceh bukan sertifikasi makanan halal, tapi sertifikasi haram karena manyoritas pasti halal.” Benarkah?

Malaysia yang manyoritas penduduknya beragama Islam jauh lebih serius dari Indonesia yang penduduk Muslim nya terbesar di dunia. Kampus-kampus di sana, juga di Thailand, punya “Halal Research Center” yang hebat dan menjadi acuan dunia. Non-muslim di sana bahkan makin banyak yang memilih makanan bersertifikasi halal. Seperti Muslim memilih makanan kosher Yahudi di Amerika.

Lantas kenapa kita tiba-tiba begitu sensitif terhadap halal atau tidaknya apa yang kita makan di Indonesia? Pada kasus vaksin pula? Yang diharapkan bisa mencegah jauh lebih banyak mudharat bahkan petaka. Terutama pada anak-anak kita.

Isu halal-tidak halal juga tak begitu mendapat perhatian di Aceh yang bersyariat Islam. Dari lebih 200 produk makanan dan minuman yang diproduksi UMKM di Banda Aceh, misalnya, hanya berbilang jari yang telah memiliki sertifikat halal. Apakah yang belum bersertifikasi halal lantas tak ada yang mengonsumsi? Pemerintah melarangnya? Tidak! Produk makanan dan minuman tanpa sertifikasi halal bertebaran di sekeliling kita. Dan banyak di antara kita yang mengonsumsinya tanpa pernah memeriksa.

Jadi? Kita wajib berusaha. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Sambil mohon ampun jika usaha melindungi generasi masa depan Aceh ini ternyata salah di mata Tuhan. Bismillah…pastikan anak-anak kita mendapat vaksinasi MR.

Sambil berharap pemerintah lebih serius membangun dan membina “Pusat Studi Halal” di berbagai kampus. Untuk Aceh, Dana Otsus yang berlimpah bisa dipakai untuk mendukung kebijakan pro-halal dengan membangun “Pusat Studi Halal Dunia” di Aceh lewat skema pemanfaatan untuk “pelaksanaan keistimewaan Aceh dan Syariat Islam”.

Bah ilmiah si-angen lah!

*Saiful Mahdi adalah penulis lepas untuk AcehKita.com, Ketua Koalisi Indonesia untuk Pembangunan dan Kependudukan (KK) Wilayah Aceh, staf pengajar Jurusan Statistika Unsyiah. Email: [email protected]

Saiful Mahdi
Saiful Mahdihttp://semuabisakena.jaring.id
Pembelajar di Jurusan Statistika FMIPA Unsyiah, ICAIOS, dan The Aceh Institiute. Pernah jadi kerani di PPISB Unsyiah. Belajar banyak di Phi-Beta Group dan pengagum AcehKita.com. A Fulbright Scholar, an ITS, UVM, and Cornell alumn.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU