Friday, May 3, 2024
spot_img

Tim Pansus DPRA Serang KIP

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Tim Panitia Khusus DPRA mencecar sejumlah pertanyaan kepada para komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Jumat (12/8). Anggota Pansus menilai KIP Aceh melanggar aturan dalam menetapkan tahapan dan jadwal pemilihan. Bahkan, KIP dinilai bisa dipidana atas tindakannya yang ngotot melaksanakan pemilihan jika tidak mengacu pada aturan yang ada.

Jumat (12/8) siang KIP memenuhi panggilan Panitia Khusus DPR Aceh yang menggugat tahapan dan jadwal Pilkada yang ditetapkan Komisi Pemilihan tanpa berkoordinasi dengan parlemen. Dalam pertemuan yang berlangsung sejak pukul 14.30 WIB hingga 17.00 WIB, sejumlah anggota Pansus IV meminta penjelasan dari Komisi Pemilihan.

Jufri Hasanuddin yang mendapat giliran pertama, menilai para komisioner KIP telah melabrak aturan yang ada. Aturan yang diterabas di antaranya Pasal 66 ayat (3) Undang-undang No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.

“Poin-poin yang ada di Pasal 66 ayat (3) itu jangan ditafsirkan sebagai administratif saja. Ada poin yang menyebutkan bahwa pemberitahuan KIP kepada DPRA (dalam menetapkan tahapan pemilihan) itu adalah perintah. Jangan disepelekan,” kata Jufri.

Jufri meminta agar KIP sepenuh hati menjadikan UU Pemerintahan Aceh sebagai landasan dalam menetapkan tahapan dan jadwal pemilihan kepala daerah ini. “Orang lain sangat menghargai UU ini. Entah kenapa kita, entah karena takut pada gubernur atau apa, tacawo keunoe, takasyuk keudeh,” lanjut Jufri.

Ia juga menilai KIP tidak memahami etika politik. Para komisioner KIP yang dipilih Parlemen Aceh dianggap lebih manut kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat dan gubernur.

“Sementara waktu meurumpok dengan ma ih, DPRA nyoe hana yum sagai (bertemu dengan ibunya yang melahirkan, DPRA, tidak ada harga). Ini persoalan etika,” ujarnya.

Liswani dari Fraksi Partai Amanat Nasional mempertanyakan tiadanya koordinasi KIP dengan DPRA dalam menetapkan tahapan dan jadwal Pilkada. “Jadi tahapan yang telah ditetapkan itu selama ini memakai pedoman apa?” tanyanya.

Menurutnya, KIP telah terlalu jauh melangkah tanpa melibatkan parlemen. “DPRA sudah ditinggalkan terlalu jauh. Untuk itu, Pansus ini dibentuk, supaya KIP tidak jalan sendiri, berlari terus, sementara kami dengar berita tahapan pilkada itu dari media,” kata Liswani.

Ermiadi dari Fraksi Partai Aceh juga mempermasalahkan KIP yang terlalu cepat menetapkan jadwal dan tahapan, sementara Qanun Pilkada belum ada. “Atas dasar apa KIP berani menetapkan tahapan?” gugatnya. “Ini aneh, tidak masuk akal dengan keberanian orang-orang KIP.”

Dia juga mempertanyakan alasan KIP memboleh calon perseorangan mendaftarkan diri dalam pemilihan 2011 ini. “KIP telah meninggalkan hal besar, dengan memasukkan calon independen. Apa hak KIP? Ini berani sekali,” kata Ermiadi, bersuara tinggi. “KIP seharusnya menetapkan tahapan setelah selesainya pembahasan qanun, karena di situ ke putusan masuk independen atau tidak.”

Bahkan, Ermiadi memandang tindakan KIP yang menetapkan tahapan pemilihan tanpa menunggu rampungnya pembahasan qanun sebagai tindakan yang dapat mengganggu perdamaian.

“Risiko sangat besar. Ini perang akan terjadi nye ureueng droenueh peujak (Perang akan terjadi jika KIP terus melaksanakan tahapan),” ujar Ermiadi. “Diam lebih baik. Tidak menetapkan tahapan lebih baik.”

Komisi Independen juga dipertanyakan ketidakberpihakannya. Ermiadi menduga, keberanian KIP dalam menetapkan tahapan pemilihan dan mengakomodasi calon perseorangan sebagai bukti bahwa Komisi itu berpihak pada salah satu kandidat. “Ada apa ini, ketika KIP berani menetapkan tahapan. Ini pertanyaan besar,” kata dia.

Mendapat cercaan dan gugatan ini, Ketua KIP Aceh Abdul Salam Poroh mengatakan, pihaknya memiliki landasan hukum yang kuat dalam menetapkan tahapan dan jadwal pemilihan. Sebab, dalam UU Pemerintahan Aceh, kata Salam Poroh, pelaksanaan pemilihan sepenuhnya menjadi kewenangan Komisi yang dipimpinnya.

“Apa pun yang kami lakukan, tidak ada yang kami langgar. Kami bisa tunjukkan hal-hal yang kami pandang sebagai pedoman dalam melaksanakan pemilukada,” kata Poroh.

Poroh lantas menunjukkan sejumlah pasal dalam UU Pemerintahan Aceh, seperti Pasal 56 ayat (1), Pasal 65 ayat (3), dan Pasal 66.

KIP juga telah berkoordinasi dengan DPRA dengan mengirim surat pada 23 Mei 2011. Namun surat ini tak mendapat balasan dari parlemen. KIP lantas mengirim surat kedua kalinya pada 9 Juni 2011. Surat terakhir mendapat balasan dari KIP.

“Pernah ada upaya koordinasi yang kami lakukan dengan DPRA. Mungkin karena kita sama-sama sibuk, jadi tidak berjalan,” kata Wakil Ketua KIP Aceh Ilham Saputra. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU