Friday, April 19, 2024
spot_img

Semalam di Williams Torren

MATAHARI baru saja menghilang, awan berubah jingga. Saya terus merekam transisi masa. “Krek”, bunyi seperti ranting patah, membuyarkan konsentrasi. Saya menoleh ke arah sebuah bangunan tua tak beratap, yang sebagian dindingnya tercengkram akar beringin, menembus celah dan melilit kusen yang tersisa.

Seketika sekujur tubuh ngilu, semua bulu menegang. Spontan, saya berlari menuruni tangga, meninggalkan kamera, menghampiri penjaga yang tugasnya memastikan lampu menyala, pada sebuah menara.

Ini adalah pekan terakhir giliran lelaki paruh baya itu menjaga lampu di Menara Williams Torren, di Kampung Meulingge, Kecamatan Pulo Aceh, Aceh Besar.

Sebuah menara yang kini berusia 141 tahun, dibangun Belanda pada 1875, atau dua tahun setelah maklumat perang terhadap Kerajaan Aceh, dikumandangkan.

Mercusuar itu dibangun bertujuan memandu kapal yang melintasi Samudra Hindia dan menuntun kapal-kapal dagang VOC yang masuk ke pelabuhan bebas dan pelabuhan transit Sabang, yang dibuka sejak 1896, jauh sebelum Temasek (Singapura) berkembang.

Di depan penjaga, saya berusaha tenang. Tak bercerita tentang ketakutan yang saya alami, begitu juga kepada Yahwa yang baru keluar dari toilet, teman yang tadinya menemani saya di dekat bangunan tua itu.

Tak berapa lama, Davi, Fadil, Novi, Budi, Fauzi bersama dua temannya tiba, membawa sekarung ikan, juga ‘tembakau indatu’. Petikan gitar Yahwa menemani kami bakar-membakar.

Sampai menjelang bubar, saya belum berani mengambil kamera yang tertinggal dekat gedung tua tak beratap. Akhirnya, Fadil anak mudanya. Lalu, sebagian dari kami tidur di ruang berbeda, lainnya melanjutkan konser gitar, entah sampai jam berapa.

Jelang dinihari, Novi pindah dan bertukar ranjang dengan Yahwa. Akunya, di ruang tadi ada yang menarik-narik kakakinya. Kerena lelah, saya tak lagi menghiraukan percakapan mereka.

Entah berapa lama tertidur, tiba-tiba telapak kaki terasa dingin, meraba selimut tak tersentuh, setengah terkejut mendapati pintu terbuka. Dalam remang melihat Davi masih pulas, begitu juga Novi di ranjang dekat jendela. Saya membungkuk membelakangi pintu, menarik sprei, menutup kaki sampai kepala.

Saat saya terjaga, daun pintu sudah rapat kembali. Nyanyian burung di luar menandakan hampir pagi.
Novi masih terlelap begitu juga Davi. Saya membangunkannya, minta ditemani naik menara, yang di belahan bumi ini hanya ada tiga; di Holland, serta di Kepulauan Karibia yang tersohor setelah dipopulerkan Jack Sparrow lewat Pirates of Carabian.

Pada zamannya, tempat ini dijadikan sebagai markas pasukan Belanda. Terdapat empat bangunan asrama, dua di antaranya bertingkat, juga dilengkapi sel tahanan.

Semuanya kokoh sampai kini, di antaranya telah direnovasi, dijadikan tempat tinggal petugas navigasi dan kamar bagi tetamu.

Satu bangunan dibiarkan begitu saja, tanpa atap dan dindingnya ‘berkarat’, letaknya terpisah dan paling tinggi. Konon, dulunya gedung dua lantai ini tempat tinggal perwira dan sering dipakai tempat pesta dansa.

Dari puncak menara setinggi 85 meter, saya kembali merekam transisi masa. Kalau tidak mendung, rona pesona sunrise juga sunset bisa dinikmati dari atas sini.

Kami baru turun ketika matahari makin menyengat. Lalu bergabung dengan dua penjaga menara. Mereka dari kantor Distrik Navigasi Sabang, yang sedang menunggu giliran rotasi setelah dua bulan.

Sunarwo (45) menyebutkan, Williams Torren tempat paling damai di antara 9 mencusuar tempat tugas dia lainnya. “Setidaknya, di sini kami masih bisa berinteraksi dengan masyarakat,” aku pria yang sudah 20 tahun memastikan lampu menara terus menyala.

Di luar tugas utama, memancing merupakan kiat membuang jenuh. Bila dapatnya berlebih, diasinkan dan dibawa serta ketika ditarik ke markas.

“Bagaimana kalau tidak hobi mancing,” pancing kami.

“Lama-lama juga akan jadi menarik, apalagi bila tugasnya di tempat tidak ada manusia lain,” jawab Sunarwo.

Lalu cerita berpindah ke hal ‘aneh’ yang kami alami semalam. Sunarwo mengaku juga sering mendengar suara-suara aneh. “Kalau di sana, teman-teman saya juga sering mendengar derap langkah seperti tentara sedang berbaris. Karena sudah terbiasa, tidak memperdulikannya,” terang Sunarwo sambil menunjuk jalan di bawah gedung tua tanpa atap. []

SUPARTA ARZ

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU