1/Yang di Gedung
Pada daun-daun yang jatuh
Teruntuk embun dan desau angin, aku bercerita
Telah tandas kata untuk melukis kebencian ini
Gerah kami tatap polahmu, wahai!
Gedung itu tempat kau membusung dada
Seperti ayam yang berani di kandang
Saban pagi, seolah kami anak tiri nan tak berbudi
Dengan jabatan kecil itu, kau berak di atas kepala kami
Dan di sini aku berdiri menantangmu
Seperti serigala yang membela kawanannya
Telunjuk-telunjuk kami mengutuk
Mulut-mulut kami memekik: kapan pun, kau bukan manusia jika tak menghargai manusia!
2/Yang Paranoid
Punyakah engkau seorang ibu?
Adakah ibumu seperti ibu kami?
Yang mengajari tentang kasih mengasihi
Tentang menghormati manusia
Yang menasihati kami:
“Janganlah engkau, wahai anakku, membakar hati orang lain dengan tutur kata dan sikap tidak anggun. Sehingga mereka sampai berjaga tengah malam untuk menyebut namamu dan ibumu ini dengan nada yang sumbang”
Adakah kau?
Lalu mengapa kau tak kunjung berubah?
Di saat usiamu semakin menabrak
Sementara kau masih seperti anak-anak
Yang tak punya kebijaksanaan
Atau seperti ular derik yang terjepit ekornya
Sembarangan kau semburkan bisa
Sembarangan kau patuk siapa saja
3/Yang Bungkam
 Derap langkah pahlawan meninggalkan debu
Yang bercerita dalam pusaran sejarah
Padanya aku baru belajar tentang bungkam
Bahwa diam adalah pembiaran
Adalah kebodohan
Bahwa ia sejenis kejahatan
Sementara di sini lidah kita kelu,
Dan ketakutan kuat mencengkeram
Apa yang kita lakukan?
Sudah cukup semisal pengucilan dan peng-anaktiri-an
Sudah cukup kaki kita dipotong-potong
Karena mereka anggap itu kayu
Sembarangan sekali bukan?
Atas nama kebaikan kita harus melolong
Bahkan menggonggong
Bila perlu seperti anjing lapar.
Putra Hidayatullah, penggiat di Komunitas Jeuneurob