Saturday, April 27, 2024
spot_img

Potret Pesisir Jepang 11 Tahun Setelah Bencana Gempa dan Tsunami

Maret pertanda musim sakura dimulai. Awal musim semi di Jepang berganti dari musim dingin. Jika di wilayah selatan hingga Tokyo, bunga sakura telah mekar, tidak dengan bagian timur yang sesekali salju masih turun dan sakura belumlah mekar. Di wilayah inilah gempa dan tsunami pernah terjadi, sebelas tahun lalu.

Tepatnya di wilayah Tohoku, bagian utara Prefektur Miyagi, gempa berkekuatan 9,0 magnitudo disusul dengan tsunami setinggi lebih dari sepuluh meter menghantam pesisir Sanriku pukul 14.46 pada 11 Maret 2011 silam.

Di daerah bencana seperti Kesennuma dan Rikuzentakata yang terpisah hanya 30 menit dengan bus, pemandangan laut tak dapat secara langsung terlihat dari jalanan yang dilalui. Sebab tembok-tembok setinggi delapan sampai sepuluh meter telah dibangun di sepanjang garis pantai sebagai langkah pengurangan risiko bencana jika tsunami kembali terjadi.

Rumah-rumah penduduk juga tak dibangun lagi di dekat pesisir. Pemerintah memisahkan antara pinggir pantai dan wilayah penduduk sejauh tiga kilometer. Hanya lapangan luas yang terhampar serta beberapa bangunan sisa terjangan tsunami yang masih dipertahankan.

Kesennuma, berjarak sekitar 2,5 jam dengan bus dari ibu kota Prefektur Miyagi, Sendai, adalah salah satu kota yang memiliki beberapa tempat sebagai saksi ganasnya ombak laut hari itu. Salah satunya ialah Sekolah Menengah Koyo yang bangunannya berlantai empat dan terpaut sekitar 500 meter dari pantai. Bangunan sekolah ini dibiarkan seperti apa adanya sejak tsunami menerjang 2011 lalu.

Karena jaraknya dekat dengan laut, sekolah yang baru didirikan kembali di daerah yang jauhnya sekitar 2,5 kilometer dari bangunan sekolah yang awal. Setelah tsunami, bangunan tersebut dijadikan sebagai Museum Peringatan dan Reruntuhan Gempa Besar Jepang Timur Kota Kesennuma (Ruins of the Great East Japan Earthquake Kesennuma City Memorial Museum).

Hari itu, saat gempa terjadi, seluruh kelas telah berakhir dan sekitar 170 siswa yang tinggal sedang melakukan kegiatan ekstrakurikuler. Siswa beserta staf yang berada di sekolah tersebut selamat dengan melakukan evakuasi ke atap gedung. Tsunami yang tingginya mencapai 12 meter sampai ke lantai 3 serta beberapa sentimeter di lantai 4 gedung tersebut.

Tsunami menghancurkan jendela-jendela kelas, membawa masuk puing-puing yang terbawa arus, termasuk sebuah mobil ke sebuah kelas di lantai 3. Dari atap bekas gedung sekolah ini, hamparan tanah luas dan lautan yang dibatasi oleh tembok tebal setinggi 8 meter dapat dilihat dengan jelas.

Jika tsunami menghantam Kota Kesennuma setinggi 12 meter, maka di Kota Rikuzentakata, tsunami mencapai 14,5 meter. Di kota ini, sebuah museum tentang tsunami atau disebut dengan Iwate Tsunami Memorial, dibuka sejak September 2019. Desain bangunan ini berbentuk persegi panjang dan terdapat ruang terbuka di tengahnya sebagai akses jalan menuju tempat orang-orang berdoa, yang terletak di atas tembok laut setinggi 10 meter. Tempat berdoa ini langsung berhadapan dengan pesisir Sanriku.

Biasanya orang-orang berjalan ke tempat ini sambil membawa buket bunga, menaiki beberapa anak tangga, meletakkan bunga di tempat yang berbentuk seperti meja, lalu merapatkan kedua tangan sambil berdoa.

Jarak antara laut dan museum yang dipisahkan oleh tembok laut yang dibangun di sepanjang pesisir hanya beberapa meter saja. Di tempat inilah arsip tentang tsunami 2011 ditampilkan dengan detail, puing-puing sisa tsunami dipamerkan, penjelasan bencana dari sisi sains, serta langkah-langkah evakuasi saat bencana terjadi juga ditata dengan konsep yang menarik.

Tempat belajar tentang bencana bernama museum ataupun bekas bangunan sekolah, bencana dahsyat itu sendiri yang disebut tsunami, dan juga laut yang hakikatnya indah dan tenang dipandang tapi tak dapat dilihat secara gamblang karena terhalang tembok tinggi.

Laut yang juga jadi sebab musabab bencana gelombang besar itu, merupakan satu kesatuan yang tak bisa dilepas ketika berkisah kembali tentang apa yang terjadi 11 tahun silam di wilayah Tohoku. Sejatinya, laut kini tak lagi semenakutkan dulu. Walau ia menyimpan luka, tapi mari hidup berdampingan dengan laut. []

Penulis: Shiti Maghfira
Research Student Tohoku University

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU