BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Meski angka pasien yang positif Covid-19 terus meningkat, tapi tingkat keterbukaan informasi program dan alokasi anggaran penanganan dampak penyakit akibat virus corona di Aceh semakin rendah sehingga pemerintah dianggap abai dalam mengatasi pandemi tersebut.
Demikian penilaian LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) seperti disampaikan Koordinator Bidang Advokasi Kebijakan Publik, Hafidh, dalam pernyataan tertulis dengan disertai sejumlah tabel alokasi dan realisasi anggaran penanganan dampak Covid-19 yang diterima acehkita.com, Rabu sore (23/9/2020).
“Berdasarkan data dan informasi yang kami peroleh, tampaknya Pemerintah Aceh telah abai dan tak responsif menjawab permasalahan penanganan Covid-19. Fakta ini menunjukkan ketakmampuan Pemerintah Aceh dalam merencanakan penanganan dampak Covid-19 dengan baik.” ujarnya.
Menurutnya, kondisi itu diperparah dengan sikap Pemerintah Aceh yang tak transparan dalam merencanakan dan mengalokasikan anggaran kebutuhan penanganan dampak Covid-19 yang hingga hari ini telah menyebabkan 142 orang meninggal dunia dari 3.784 yang terpapar virus.
Meski didesak berbagai pihak, termasuk DPRA, untuk transparan, tapi Pemerintah Aceh hingga kini belum mempublikasikan alokasi anggaran dan bentuk program penanganan Covid-19 secara terperinci kepada publik.
Tentu saja hal ini tak hanya berdampak pada relasi eksekutif dan legislatif, juga berdampak pada kepercayaan publik kepada Pemerintah Aceh dalam penanganan Covid-19, katanya.
“Dari informasi yang kami peroleh per Juli 2020, alokasi anggaran untuk penanganan Covid-19 seluruh Aceh (pemerintah Kabupaten/kota dan provinsi) sebesar Rp3,2 triliun. Pemerintah Aceh mengalokasikan Rp2,5 triliun, sementara alokasi seluruh kabupaten/kota jika dijumlahkan sebesar Rp730,6 miliar,” papar Hafidh.
MaTA mendesak Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota segera mempublikasikan rincian program dan anggaran penanganan dampak Covid-19 di Aceh.
Selain untuk menghindari tumpang-tindih dalam penanganan, membuka informasi ini juga untuk memberi ruang kepada masyarakat menyampaikan saran dan pendapat dalam penyusunan program, anggaran hingga kelompok sasar dalam penangan pandemi ini.
“Jika ini tak dilakukan, jangan terus menyalahkan masyarakat yang tak percaya pada langkah-langkah yang dilakukan pemerintah karena pada kenyataannya pemerintah sendiri yang tidak mau terbuka kepada masyarakat,” tegasnya.
MaTA juga mendesak DPRA/DPRK – dengan segala kewenangan yang dimiliki— untuk dapat maksimal melakukan pengawasan serta “memaksa” pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mempublikasikan rincian alokasi dan realisasi program/kegiatan penanganan dampak Covid-19 di Aceh.
Jika merujuk pada informasi itu, kabupaten/kota di Aceh dengan alokasi anggaran tertinggi yaitu Pidie Jaya sebesar Rp.97,2 milyar, disusul Aceh Barat Daya sebesar Rp. 54,2 milyar dan Kota Lhokseumawe sebesar Rp. 51,4 milyar. Sementara, daerah terendah yang mengalokasi anggaran penanganan covid-19 yaitu Aceh Jaya yaitu Rp5,6 milyar.
“Jika melihat realisasi per Juli 2020, tidak sampai setengah dari seluruh kabupaten/kota yang serapan anggarannya di atas 50%. Bahkan ada daerah yang baru terserap anggaran penanganan dampak covid sebesar 2,7%, yaitu Aceh Timur,” jelasnya
“Untuk Pemerintah Aceh, dari alokasi Rp2,5 triliun baru terserap sebesar Rp174,7 miliar, atau hanya sebesar 6,99% dari total alokasi.”
Seperti ketentuan, alokasi anggaran penanganan Covid-19 difokuskan pada tiga kelompok isu, yaitu pemulihan dampak ekonomi, penanganan bidang kesehatan dan untuk penyediaan jaring pengaman sosial (JPS).
Alokasi anggaran penanganan Covid-19 di provinsi terbesar untuk penyediaan JPS yaitu sebesar Rp2,3 triliun, disusul isu kesehatan Rp134, 4 milyar dan pemulihan ekonomi Rp19,6 milyar.
Melihat lebih rinci dokumen yang kami peroleh, isu pemulihan dampak ekonomi, pemerintah Aceh memfokuskan pada pengadaan masker sebesar 1,5 miliar. pengembangan pemanfaatan pekarangan dan pengenalan konsumsi pangan B2SA sebesar Rp8,1 miliar dan pengadaan ayam petelur dengan alokasi sebesar Rp.10 milyar.
“Dari ketiga alokasi tersebut baru direalisasikan untuk kegiatan pengadaan masker. Sementara dua kegiatan lainnya per Juli 2020 belum terealisasi sama sekali,” ujar Hafidh.
“Melihat fakta ini, kami menilai pemerintah Aceh tidak punya strategi dalam penanganan pemulihan dampak ekonomi serta tidak teridentifikasi secara jelas kelompok sasaran yang akan disasar untuk pemulihan dampak ekonomi di Aceh.”
Pada sektor kesehatan, rincian alokasi anggaran difokuskan pada enam kategori, tapi yang baru terealisasi pada tiga kategori dengan angka total serapan per Juli 2020 hanya sebesar 0,95%.
Kondisi ini sangat mengecewakan, ditambah fakta-fakta banyaknya tenaga medis yang terpapar Covid-19 di Aceh, malah telah mulai melumpuhkan layanan kesehatan dari tingkat Rumah Sakit Umum Daerah hingga level puskesmas.
Banyaknya tenaga medis yang terpapar covid-19 di Aceh dan lumpuhnya layanan kesehatan ini dapat simpulkan akibat tidak maksimalnya penanganan sektor kesehatan oleh Pemerintah Aceh,” katanya.
“Dengan realisasi itu, tentu saja Aceh menjadi provinsi terendah realisasi anggaran kesehatan se-Indonesia.”
Menurut Hafidh, untuk sektor Penyedian Jaring Pengaman Sosial (JPS), anggaran difokuskan kepada sembilan kegiatan dengan alokasi sebesar Rp2,3 trilyun. Dari total anggaran tersebut, per Juli 2020 baru terealisasi Rp171,9 miliar atau 7,33% dari total alokasi.
“Pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran JPS untuk kebutuhan sembako, penyediaan aplikasi bahkan alokasi anggaran untuk instansi vertikal,” pungkasnya.[]