Tuesday, March 19, 2024
spot_img

Pagar

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘pagar’ adalah “sesuatu yang digunakan untuk membatasi (mengelilingi, menyekat) pekarangan, tanah, rumah, kebun, dan sebagainya.” Walaupun punya fungsi yang nyaris sama, ‘pagar’ berbeda dengan ‘tembok’. Tembok biasanya punya struktur lebih kukuh, terbuat dari beton semen. Menurut KBBI, ‘tembok’ adalah “dinding dari bata, batako, adonan semen.”

Dalam Bahasa Inggris, tembok atau dinding diungkapkan dengan satu kata: wall. Kata ini dipakai untuk pemisah beton di dalam maupun di luar bangunan.

Bahasa Jerman membedakan tembok di luar sebagai maeur yang berarti dinding luar, seperti dinding kota atau tembok luar benteng pertahanan, dari wand yang berarti partisi atau dinding dalam sebuah bangunan. Demikian juga dalam Bahasa Italia muro/parete, Bahasa Irlandia mur/fraig, dan Bahasa Lithuania m?ras/siena, dsb.

Pagar berbeda dengan dinding tembok. Pagar biasanya terdiri dari sejumlah tiang yang dihubungkan dengan tali, kawat, kawat berduri, atau penghubung lainnya. Pagar hanya memiliki sedikit atau tanpa fondasi beton sama sekali. ‘Pagar hidup’ biasanya terdiri dari tanaman yang terhubung satu sama lainnya.

Kapan pagar mulai dikenal? Di Inggris pagar baru dikenal mulai abad ke-16. Itu setelah para aristokrat dan tuan tanah mulai menyadari tanah sebagai modal yang nilainya makin tinggi dan produktivitasnya bisa ditingkatkan. Sebelumnya, sebagian tanah, biasanya yang kurang subur, dialokasikan untuk dipakai bersama oleh penduduk sebuah desa. Tanpa pagar.

Begitu tanah makin produktif atau punya potensi untuk lebih menguntungkan, batas tanah makin perlu dipertegas. Pelintas tak sah, manusia atau bukan, harus dihalau. Maka pagar didirikan.

Di Amerika, para pemukim awal bisa memperoleh hak atas sebidang tanah di wilayah wild west dengan membangun pagar. Mungkin sama dengan keadaan di negeri kita di awal kemerdekaan. Kecuali tanah dan properti yang jelas milik pemerintah kolonial Belanda yang diambil alih oleh pemerintah Indonesia, ada tanah-tanah “tak bertuan” yang diklaim oleh para elit setempat.

Di masa Orba, keluarga Cendana dan para kroninya terkenal dengan penguasaan lahan yang sangat luas di berbagai wilayah Nusantara. Penguasaan itu masih terus mengakibatkan ketidakadilan dan kemiskinan di negeri kaya ini hingga kini.

Begitu juga setelah konflik Aceh yang panjang itu. Sejumlah orang dengan seenaknya mengklaim tanah-tanah yang tak jelas tuannya. Termasuk yang ditinggalkan oleh pemilik yang harus meninggalkan Aceh seperti para transmigran.

Kalangan elit dari TNI di masa Orba dan GAM diketahui warga setempat telah mengklaim kepemilikan lahan-lahan strategis di wilayah operasi dan kekuasaannya dulu. Lengkap dengan bukti kepemilikan resmi.  Sebagian besar awalnya tanpa batas yang jelas. Tanpa pagar.

Sama seperti di Inggris pada abad ke-16, ketika tanah dan lahan makin bernilai, potensi dan produktivitasnya meningkat, baru para pemiliknya berpikir untuk memagarinya. Jadi motivasinya adalah keuntungan semata. Sama dengan motivasi para tuan tanah di Eropah di masa pra-demokrasi. Ketika kepemilikan publik belum dikenal. Bagaimana dengan kepemilikan publik di era demokrasi?

Apapun yang dipakai, pagar maupun tembok adalah pembatas, pemisah, pembeda, penghalang, atau penyekat. Secara hukum mungkin dia bisa jadi pemisah antara pemilik dengan yang bukan pemilik. Antara yang sah dengan yang tidak sah. Untuk keamanan, pagar atau tembok dianggap pemberi rasa aman dari bahaya dan ancaman dari luar.

Tapi secara sosio-kultural, pagar, apalagi tembok, memisahkan antara kami dengan mereka, antara kita dengan “yang lain”, dengan “yang asing”, dengan “bukan kita”, bahkan dengan “musuh”. Pagar dan tembok menunjukkan rasa tak percaya bahkan rasa tak aman terhadap yang di luar pagar. Rasa terancam. Ketakutan.

Bedanya, pemisah itu makin tegas saat yang dipakai adalah tembok. Pagar yang baik masih memungkinkan hadirnya tentangga yang baik. Seperti peribahasa “Good fences make good neighbors” yang dikutip Robert Frost dalam puisinya Mending Wall (Dinding yang Memperbaiki).

Mungkin karena itu, di negeri lebih maju dan beradab pembatas tidak selalu berupa pagar apalagi tembok. Pagar kampus di Amerika umumnya hanya struktur rendah yang bisa dilangkahi siapapun. Tapi jelas dan kokoh memberi batas properti kampus. Kadang hanya berupa parit kecil yang juga berfungsi untuk aliran air saat hujan atau salju mencair. Apalagi sekarang semuanya bisa dicatat sampai koordinat lengkap dengan peralatan GPS. Kampus-kampus di Jepang hampir semuanya tak berpagar tapi sistim keamanan setiap bangunan di dalamnya sangat aman dan canggih.

Tak perlu jauh, kearifan lokal indatu orang Aceh, misalnya, masih bisa ditemukan hingga kini pada pagar hidup berupa bak gaca, pohon inai, yang memisahkan jajaran rumah Aceh di Gampong Wisata Lubuk Sukon, Aceh Besar. Berbeda sekali dengan tembok beton tinggi yang memagari banyak rumah, kantor publik, bahkan kampus negeri di Aceh sekarang. Walaupun hak pribadi, tembok keliling rumah pribadi selalu menggelisahkan. Apalagi tembok keliling properti publik, milik umum.

Tembok bukan hanya memisahkan tapi juga mengisolasi. Makanya manusia bergembira dan kemanusiaan terangkat saat Berlin Wall, tembok Berlin diruntuhkan pada tahun 1989. Tembok ini secara fisik dan ideologis telah memisahkan warga Berlin Barat dan Berlin Timur sejak 1961, tahun puncak perang dingin.

Siapa yang masih percaya pada tembok abad ke-21 ini? Hanya kaum Zionis di Israel dan rezim ultra-nasionalis Trump di Amerika.

Kaum Zionis yang selalu ketakutan dengan serangan pejuang Palestina membangun tembok sepanjang 60 km untuk mengisolasi Ghaza pada tahun 1994-1996. Setelah sempat dirontokkan pejuang Intifada pada September 2000, Zionis Israel kembali membangun tembok pemisah itu pada Desember 2000-2001.

Donald Trump dan rezimnya yang percaya pada politik isolasi membangun Trump Wall di sepanjang perbatasan Amerika Serikat dengan Mexico sejak 2017. Walaupun terus dicoba bendung oleh kaum demokrat Amerika, Trump terus berusaha mewujudkan janji kampanyenya untuk menyenangkan kalangan konservatif Amerika. Kaum yang merasa terancam dengan pekerja dan barang haram dari Mexico.

Untuk lahan dan properti milik publik, bukankah seharusnya dijaga dan terjaga oleh publik. Siapa yang terancam dan siapa yang mengancam sehingga harus ada pagar bahkan tembok?

*Pembelajar di ICAIOS. Isi tulisan adalah pandangan pribadi. Email: [email protected]

Saiful Mahdi
Saiful Mahdihttp://semuabisakena.jaring.id
Pembelajar di Jurusan Statistika FMIPA Unsyiah, ICAIOS, dan The Aceh Institiute. Pernah jadi kerani di PPISB Unsyiah. Belajar banyak di Phi-Beta Group dan pengagum AcehKita.com. A Fulbright Scholar, an ITS, UVM, and Cornell alumn.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU