Thursday, April 25, 2024
spot_img

Masyarakat Aceh Mulai Gamang dengan Budayanya Sendiri?

Makna kebudayaan telah mengalami pendangkalan dan penyempitan di tengah masyarakat, termasuk di Aceh. Jika hal ini berlanjut, dikhawatirkan orang Aceh akan gamang dengan budaya tradisinya sendiri.

Begitu salah satu hal yang disampaikan oleh Putra Hidayatullah dalam Pidato Kebudayaan yang berlangsung pada Selasa (26/12) di Kampus Darussalam.

“Sementara di Aceh, masyarakatnya belakangan bahkan kehilangan kepercayaan diri dalam menikmati budaya tradisinya sendiri,” tutur Putra, putra Aceh yang menjadi salah satu kurator pada Documenta Fifteen, pameran kebudayaan terbesar di dunia yang dilaksanakan di Kassel, Jerman, 2022 lalu.

Selain seorang kurator seni, Putra adalah akademisi di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, peneliti, dan penulis cerita yang lulus dari jurusan Contemporary Art and Art Theory of Asia and Africa di School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London. Ia adalah salah satu kurator muda pada pameran ‘Jakarta Biennale 2015 – Maju Kena, Mundur Kena: Bertindak Sekarang’.

Menurut Putra, kegamangan orang Aceh terhadap seni-budaya tradisinya sendiri disebabkan beberapa hal.

Pertama, Putra mengamati adanya pergeseran dan penyempitan makna budaya menjadi sekedar seni pertunjukan dan selanjutnya menjadi lomba-lomba dan event-event saja.

“Sehingga yang kita baca kemudian adalah tentang kabupaten ini menjadi juara lomba itu dan kabupaten itu menjadi juara lomba ini,” sebut Putra, pemikir budaya yang lahir dan besar di Aceh ini.

Padahal kebudayaan berasal dari kata ‘budhi’ yakni tentang ‘akal budi’. Karena itu kebudayaan harusnya menguatkan akal budi sebagai tulang punggung sebuah peradaban.

Kedua, berjaraknya pekerja dan karya seni-budaya dari keadaan dan kenyataan hidup sehari-hari masyarakat Aceh.

“Harusnya kebudayaan menangkap jiwa dan nafas untuk selanjutnya menjadi akal budi humanis yang mewarnai masyarakat di mana kebudayaan itu tumbuh dan berkembang,” kata Putra.

Ketiga, kebudayaan di Aceh tidak ditopang oleh dan berkembang dengan ilmu pengetahuan.

“Pekerja dan pelaku budaya, misalnya, jauh dari kampus-kampus yang dianggap sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Para akademisi pun sepertinya enggan berinteraksi dengan yang disebut ‘budayawan’ apalagi menjadi budayawan itu sendiri!” imbuh Putra menunjukkan keprihatinannya.

Menurutnya, perlu ada saling menguatkan antara pekerja budaya dan pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Untuk itu, Putra menganjurkan perlunya saling kunjung dan saling mengapresiasi.

“Kalau para seniman atau budayawan membuat pertunjukan atau pameran, misalnya, akan sangat baik jika para akademisi dan peneliti ikut menghadiri dan mengapresiasinya. Dari saling kunjung dan saling mengenal semoga akan lahir kerja sama yang saling mencerahkan.”

Acara Pidato Kebudayaan tersebut adalah salah satu kegiatan rutin ICAIOS sebagai refleksi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan olahraga di Aceh. Acara ini turut didukung oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah I Aceh.

“Mulai tahun ini, perhelatan Pidato Kebudayaan ICAIOS ikut didukung oleh BPK Aceh. Jadi Insya Allah akan rutin dan makin baik setiap tahunnya,” jelas Reza Idria, PhD Direktur Eksekutif ICAIOS.

ICAIOS adalah International Center for Aceh and Indian Ocean Studies, yaitu lembaga kajian tentang Aceh dan kawasan seputar lautan India.

ICAIOS merupakan lembaga pelatihan dan penelitian antar-bangsa dan antar-kampus. Ia didirikan oleh Universitas Syiah Kuala, UIN Ar-Raniry, dan Universitas Malikussaleh, Pemerintah Aceh, Kemenristek DIKTI, dan sejumlah perwakilan lembaga dan akademisi negara sahabat Indonesia sejak tahun 2007. ICAIOS adalah usaha rehabilitasi dan rekonstruksi sektor pengetahuan pasca-tsunami 2004 yang kelahirannya ikut dibidani oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias.

“Karena itu acara Pidato Kebudayaan ini dilakukan pada 26 Desember. Acara juga diawali dengan doa bersama untuk almarhum Presiden Martti Ahtisaari dan almarhum Prof Kuntoro Mangkusubroto,” jelas Ika Ismiati, Program Manager ICAIOS.

Martti Ahtisaari adalah Presiden Finlandia yang melalui lembaganya Center for Management Initiative (CMI) ikut memfasilitasi proses damai Aceh hingga tercapainya kesepakatan Helsinki pada 15 Agustus 2005. Sementara, Prof Kuntoro Mangkusubroto adalah Kepala BRR Aceh-Nias. Keduanya meninggal di tahun 2023 ini. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU