Friday, May 3, 2024
spot_img

OPINI | Kita Bukan Bangsa Disaster Amnesia

SEBELUMNYA:
Mustahil Aceh Bebas dari Bencana

MAJELIS yang dimulaikan Allah,

Izinkan saya sejenak refleksi 26 Desember 2004, delapan tahun lalu. Matahari pada saat itu terbit seperti biasa, Ahad, masyarakat pun bercengkrama, karena itu hari libur. tetapi tepat pukul 07.58.53 WIB tiba-tiba bumi berguncang, dan guncangan itu begitu dahsyat. Timbul kepanikan di mana-mana, 9,1 SR. Satu gempa yang amat dahsyat dalam 100 tahun terakhir menimpa negeri kita.

Alam pun mulai menampakkan isyarat-isyarat ganjil. Air laut mendadak surut. Perahu-perahu nelayan yang bersandar tiba-tiba kandas, ikan menggelepar. Burung-burung, baik itu camar, bangau putih, beterbangan ke arah darat dalam kepanikan. tetapi tidak pandai kita membaca bahwa itu sebenarnya adalah ayat-ayat Allah, ayat-ayat kauniyah, yang memberi tahu kepada kita akan terjadi sesuatu yang luar biasa.

Kearifan lokal yang dimiliki suadara kita di Simeulue dengan nama Smong ternyata berhasil menyelamatkan sebagian besar penduduknya untuk menjauh dari garis pantai. Kearifan lokal menjadikan penangangan bencana bisa diminimalisir risikonya.

Dan konon kabarnya di Pelabuhan ini pada saat gempa terjadi ada 700 prajurit Batalyon 744 Kupang yang akan diberangkatkan. Tapi pada saat itu sang Komandan Brigjen Suroyogino yang sedang berjalan dari Banda Aceh menuju Krueng Raya beliau menyaksikan burung-burung beterbangan dalam kepanikan.

Lalu kemudian beliau menangkap isyarat tanda-tanda alam, ayat-ayat kauniyah yang Allah kirim ini, sehingga beliau berbalik ke Banda Aceh dan memerintahkan pasukan untuk menuju ke arah yang tinggi. Peristiwa ini banyak ditulis dalam buku, di antaranya buku “Selamat dari Bencana” yang diterbitkan oleh Unesco, yang menceritakan apa yang terjadi di tempat ini delapan tahun lalu. Inilah kearifan lokal yang mudah-mudahan yang bisa hidup dalam kehidupan kita.

Hadirin yang dimuliakan Allah,

Ternyata beberapa menit setelah air surut, datanglah gelombang yang begitu dahsyat yang kita kemudian kenal bernama tsunami. Gelombang itu kecepatannya 700 kilometer per jam, secepat pesawat jet. Dan dia datang seperti karpet yang digulung semakin dekat daratan semakin tinggi, dan kekuatannya pun semakin dahsyat dan dia bisa menghancurkan apa pun yang bisa dia timpa.

Hadirin yang dimuliakan Allah,

Dalam hitungan menit, ribuan mayat bergelimpangan, mendadak ribuan anak-anak Aceh menjadi yatim, ribuan perempuan menjadi janda, ribuan bangunan manusia hancur berkeping, kecuali sebagian besar rumah tempat manusia sujud, masih berdiri kokoh dan tegar. itulah masjid Allah, seakan-akan mengirim isyarat kepada kita, masjid Allah kokoh diterpa oleh bencana yang begitu dahsyat. Ada apa ini?

tentu orang yang beriman akan menangkap, ini ada isyarat yang Allah kirim kepada kita. Masjid tempat kita sujud, masjid tempat kita bersilaturrahim, masjid tempat kita menjalin persaudaraan, Allah mengundang kita untuk menjadi orang yang hidup dalam damai.

Masjid dibangun dengan keikhlasan, masjid dibangun dengan kejujuran, masjid dibangun dengan kerjasama, seakan-akan Allah memberi isyarat bangunlah Aceh dengan keikhlasan, bangunlah Aceh dengan kebersamaan, maka akan berdiri bangunan-bangunan kokoh seperti bangunan rumah Allah yang ketika begitu dahsyatnya tsunami dia masih berdiri dengan tegarnya karena lindungan Allah.

Subhanallah. Tsunami tidak hanya menghancurkan Aceh, Bapak dan Ibu yang dimuliakan Allah. 30 menit kemudian tsunami sudah merayap ke utara menghantam Kepulauan Andaman. 90 menit kemudian tsunami memporak-porandakan Thailand. Dua jam kemudian tsunami datang menjarah Srilanka dan India.

Bahkan tujuh jam tsunami menerjang pantai timur Afrika, yaitu Somalia yang jaraknya ribuan kilometer dari kita. Ini namanya teletsunami. Dan ini harus terus kita waspadai. Orang Somalia tidak merasakan gempa, orang Srilanka tidak merasakan gempa, tetapi tsunami datang.

Tidak mustahil kita tidak merasakan gempa, tapi tsunami bisa datang, maka untuk ke depan, dalam penataan perencanaan permukiman wilayah kita juga harus memperhitungkan kalau-kalau teletsunami, tsunami kiriman yang kita tidak merasakan gempa, tetapi dia bisa datang karena kekuatan energi tsunami itu.

Tsunami 26 Desember 2004 tidak hanya menimbulkan duka yang mendalam bagi Aceh. Tidak hanya Indonesia yang menangis, tapi dunia turut berduka. Maka kita menyaksikan solidaritas tertuju ke Aceh. Tsunami mempersatukan umat manusia, tsunami meruntuhkan sekat-sekat geografis, meruntuhkan sekat-sekat kesukuan, kebangsaan, ras, warna kulit, agama.

Mahabenar Allah dengan firman-Nya: “Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Menjadikan kamu berbangsa-bangsa, bersuku-suku, untuk apa? Saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa”.

Kebenaran ayat ini nampak di bumi Aceh. Seluruh dunia datang, membantu Aceh. Kita ucapkan terimakasih kepada dunia, kepada kawan-kawan yang dari Jepang. Arigato gojemas, terimakasih banyak atas bantuan mereka.

Allah menyatakan di balik kesulitan pasti ada kemudahan. “Sesungguhnya di balik kesulitan pasti ada kemudahan”. 15 Agustus 2005, kebenaran ayat Allah itu tercermin dengan lahirnya MoU Helsinki menjadi pintu damai bagi Aceh.

Tsunami juga ternyata mengubah pandangan dunia tentang bencana. Kalau dulu orang menghadapi bencana itu lebih bersifat pada responsif, bencana ditangani hanya ketika terjadi dan pascabencana. tetapi dengan adanya tsunami Aceh, dunia menjadi berpikir lain. Terjadi revolusi di dalam manajemen kebencanaan.

Di Jepang, pada bulan Januari 2005 telah lahir kerangka aksi Hyogo (Hyogo framework for action), menjadi landasan bagaimana mempersiapkan diri sebelum terjadi bencana, sehingga ketika saudara-saudara kita di Jepang pada tanggal 11 Maret 2011 menghadapi gempa besar 8,9 SR.

Kita juga turut berduka cita terhadap peristiwa yang menimpa mereka. Tadi ada seorang guru korban dari bencana itu telah berdiri di hadapan kita. Mereka ingin membawa berita dari Aceh membangun semangat di Jepang. Tapi kita juga harus banyak belajar dari Jepang, karena ada satu konsep Jepang yang bernama Gambaru.

Gambaru adalah satu kesadaran di dalam jiwa setiap orang Jepang untuk bisa bangkit dari keterpurukan, untuk bisa bekerja keras tanpa putus asa. Sebenarnya ajaran Islam telah mengajarkan kita “man jadda wajada“. Itu adalah kalimat yang bukan hanya sekedar hiasan di mulut, tapi harus mampu kita buktikan bahwa kita adalah bangsa yang mampu bangkit dengan kesungguhan kita.

Kesabaran di dalam Islam bukan kepasrahan, kesabaran di dalam Islam bukan keputusasaan. Tetapi kesabaran di dalam Islam adalah kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan. Kesabaran adalah optimisme untuk memandang masa depan yang lebih baik. Itu sebabnya Allah mengatakan “Innallaha ma’assabirin“, Allah bersama orang-orang yang sabar.

Mana mungkin Allah bersama orang yang berputus asa, mana mungkin Allah bersama orang yang berpangku tangan. Tetapi Allah bersama orang-orang yang aktif, dinamis, flow, aktif membangun negeri ini. Itulah yang dicita-citakan syuhada tsunami.

Kalau kita ingin mengabdi kepada ayah kita yang sudah meninggal, ibu kita yang sudah mendahului kita, anak-anak kita yang sudah tiada, istri kita yang sudah tiada, suami kita yang sudah tiada, mereka semua di alam barzah merindukan supaya kita menjadi orang yang lebih baik di dalam hidup ini.

Majelis yang dimuliakan Allah,

Tsunami Aceh juga menimbulkan perubahan yang besar di negeri kita. Lahir UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang tidak pernah ada sebelumnya undang-undang bagaimana penanggulangan bencana. Kemudian lahirlah Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Di Aceh lahir qanun yang melahirkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Di kabupaten/kota juga demikian.

Dan kita bergembira di Unsyiah sudah lahir satu Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana (TDMRC) yang berkantor di Ulee Lheue, di escape building. Sudah banyak kiprah kawan-kawan dalam delapan tahun terakhir ini untuk membangun kesadaran, kesiapsiagaan menghadapi bencana. Dan kita juga bersyukur, satu-satunya museum tsunami ada juga di Aceh.

Mudah-mudahan ini semua menjadikan kita manusia yang selalu ingat dengan peringatan Allah, tidak menjadi manusia yang amnesia terhadap bencana, jangan sampai disaster amnesia, tsunami amnesia menjadi penyakit dalam diri kita. Sehingga kita tidak siap ketika bencana datang.

Hadirin yang dimuliakan Allah,

Di penghujung tausiyah ini, saya ingin mengingatkan kita semua bahwa musibah dalam perspektif agama ada dua. Tadi sudah dibacakan ayat di dalam mukadimah. Musibah yang pertama adalah ujian Allah: “Apakah manusia itu mengira bahwa manusia cukup berkata beriman, kemudian tidak diuji”. Allah pasti akan menguji kita. Apa bentuk ujian Allah? “Dan sungguh akan kami beri cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”.

Jadi apa yang terjadi kepada kita pada 26 Desember 2004, ketika Allah berkehendak mengambil nyawa daripada saudara-saudara kita, menghancurkan rumah bangunan kita. Kita semua diuji oleh Allah apakah kita akan menjadi orang yang sabar.

Kemudian yang kedua. Musibah dalam pandangan Islam adalah peringatan Allah. Peringatan Allah kepada kita: “Apa-apa kebaikan yang datang kepadamu itu datang dari Allah, tapi kalau bencana yang menimpa kamu, itu berasal dari dirimu”.

Pak Gubernur tadi menyinggung satu surah, yaitu QS Al Ruum ayat 41: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah manusia”. Jadi bencana bisa datang karena perilaku kita, karena ulah kita.

Allah adalah Tuhan Yang Mahapengasih dan Mahapenyayang. Allah rahman dan Allah rahim. Teguran Allah jangan kita lihat sebagai hukuman. Mari hukuman Allah kita lihat peringatan, sebagai pendidikan. Ketika seorang ayah mencubit anaknya, ibu menjewer kuping anaknya, apakah ibu itu kejam? Apakah ayah itu jahat? Ketika seorang ustad memukul tangan muridnya dengan rotan karena hafalannya yang kurang pas. Apakah itu hukuman kebencian? Tidak. Itu adalah pendidikan.

Maka mari kita melihat peristiwa 26 Desember 2004 sebagai pendidikan Allah kepada kita, agar kita jangan menjadi orang yang bandel, agar kita menjadi orang yang baik. Hidup kita lebih terarah dan tertata.

Majelis yang dimuliakan Allah,

Tsunami menimbulkan banyak pesan dari dimensi spiritual mengajarkan kita untuk ingat akan kematian. Hidup dan mati adalah milik Allah. Maka kita semua harus bersiap untuk dapat menghadapi kematian itu. Allah mengingatkan: “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri mempersiapkan apa bekal yang akan dia dibawa untuk hari esoknya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang kamu kerjakan”.

Dari dimensi sains dan teknologi, sesungguhnya kehadiran tsunami menjadikan bumi Aceh sebuah laboratorium bagi ilmuan dunia. Pergerakan lempeng-lempeng bumi telah menjadi kajian dan menjadi diskusi para ilmuan, termasuk gempa terakhir yang sangat dahsyat, 11 April 2012, itu menjadi pembicaraan di seluruh dunia, karena gempa itu sangat fenomenal. Secara teknis saya tidak bisa menjelaskan di sini.

Hadirin yang dimuliakan Allah,

Kapal Apung yang bergerak hampir tiga kilometer dengan beratnya 2.500 ton, panjangnya 63 meter, dia mendarat begitu simetris di sebuah kampung di Punge. Seharusnya menggelitik seluruh ilmuan. Di sini banyak kawan-kawan dari kalangan perguruan tinggi.

Kalau Newton itu hanya kejatuhan sebuah apel bisa melahirkan teori yang sangat dahsyat yang bernama teori gravitasi. Bagaimana dengan sebuah kapal yang begitu berat, dia mendarat di tengah kota Punge. Mudah-mudahan bisa menjadi kajian ada sesuatu yang dahsyat yang terjadi di negeri kita di Aceh ini.

Bapak Gubernur dan hadirin yang kami muliakan,

Marilah peringatan delapan tahun tsunami ini, di samping kita berdoa kepada saudara-saudara kita yang telah mendahului kita, para syuhada tsunami, kita juga bermohon kepada Allah agar hidup dan kehidupan kita juga senantiasa mendapat bimbingan dan arahan dari Allah.

Delapan tahun tsunami ini mari menjadi evaluasi kita bersama terhadap kesiapan kita menghadapi tsunami. Pada 4 Juni 2007, Pak Gubernur ingin saya sampaikan juga sirene berbunyi sendiri, sehingga penduduk yang berada di sekitar Aceh Besar dan Banda Aceh menjadi panik.

Kemudian pada 11 April 2012, kita menghadapi gempa yang besar, dua kali gempanya, gempa itu dahsyat disebut gempa kembar, tapi sirene tsunami juga telat berbunyi. Kita tidak menampik keberhasilan kita dalam penanganan pengurangan risiko bencana yang sudah banyak kita lakukan, tetapi mari kita melakukan evaluasi terhadap kondisi ke depan kalau-kalau terjadi gempa, yang tidak pernah kita doakan itu datang. Tetapi mari kita lebih siap dan siaga.

Kemudian kita mempunyai beberapa escape building, ada juga escape hill yang dibangun oleh kawan-kawan negara donor yang mereka menyumbangkan hartanya bahkan sebagian anak-anak sekolah menyumbangkan uang jajannya untuk membantu saudaranya di Aceh, jangan sampai juga tempat itu terlantar, karena tempat itu menjadi sangat bermanfaat ketika gempa dan tsunami datang. Tetapi kita semua bermohon kepada Allah jangan sampai terjadi lagi bencana yang sangat dahsyat. [TAMAT]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU