Saturday, April 27, 2024
spot_img

Kisah Suram Pendidikan di Meulingge

JAUH-JAUH HARI, Siti Zulaikha telah berencana berkunjung ke Meulingge, desa terluar bagian barat Indonesia, di ujung kepulauan Pulo Aceh, Aceh Besar. Tapi, situasi cuaca yang tak menentu membuat ia mengurungkan niatnya. Kamis (20/10) lalu, akhirnya cita-citanya tercapai. Dengan menumpang boat nelayan, perempuan 20 tahun ini akhirnya berangkat ke Meulingge, melalui Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lampulo, Banda Aceh.

Suasana SD Meulingge, Pulo Aceh. | Foto: M. Hamzah Hasballah/ACEHKITA.COM
Inilah perjalanan laut pertamanya dengan boat ikan, tiga jam mengarungi laut lepas, menuju sebuah pulau. “Siti ingin mengajar anak-anak di sana,” ujarnya kepada acehkita.com beberapa waktu lalu.

Perempuan duapuluh tahun itu terperangah ketika beberapa anak usia belasan tahun mengajaknya belajar mengenal huruf. “Saya tidak menyangka. Saya pikir hanya anak-anak kelas satu yang tidak bisa membaca,” katanya miris. Sebelumnya, ia hanya mendengar kondisi kritisnya pendidikan di SD pedalaman Kepulauan Pulo Aceh tersebut.

“Bisa menyanyi lagu Indonesia Raya?” tanyanya pada para siswa.

Hanjeut…(tidak bisa).” Beberapa anak berkoor kompak. Malahan, Azwar, murid kelas 1 menyebutkan, bendera Negara Republik Indonesia berwarna hitam-putih.

Dari kujak sikula ino hantom dipeu-ek bendera (dari saya sekolah di sini tidak pernah dinaikkan bendera),” Khalil, siswa kelas tiga, memberi penjelasan.

Sekolah Dasar (SD) Meulingge: sekolah tanpa plang nama, tak pula berbendera.

Tak ada yang istimewa dengan SD yang berada di pinggiran bukit dan pantai tersebut. Enam kelas konstruksi beton dengan cat terkelupas. Tiga di antaranya digembok, tak digunakan. Hanya tiga ruang yang difungsikan, dengan cara menghubungkan kelas dengan membuka pintu di belakang ruang, biar pengajar yang ‘minim’ mudah mengontrol para siswa.

Di halaman depan, tiang tanpa bendera berdiri kokoh. Puluhan anak terlihat tengah bermain ceria di atas buldozer yang terparkir di depan sekolah yang lengang.

Yusmaini, guru honorer yang telah mangabdi tiga tahun di SD tersebut duduk di halaman sekolah. Di sisinya, Cahyati (18), menemani. Cahyati adalah putri asli Meulingge, yang baru saja menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan di Banda Aceh. Ia kini mengabdi di desanya.

“Sayang kita lihat. Mereka mau belajar, kenapa kita tidak mau mengajar,” ujar Cahyati.

Yusmaini menyadari, susahnya mengontrol tigapuluhan siswa. Apalagi sekolah hari itu hanya didatangi dua orang guru. Tiga yang lain entah ke mana. “Pak kepala sedang di Banda Aceh sama yang ngajar olahraga. Satu lagi mungkin sedang di pasir,” ujarnya Sabtu (22/10) siang.

Pasir merupakan sebutan warga Pulo Aceh untuk warung kopi yang didirikan di pingggir pantai.

Ketika wartawan acehkita.com mengunjungi sekolah ini beberapa bulan lalu, ada sekitar limapuluhan murid yang menempuh pendidikan dasar di SD ini. Tapi, kondisi tersebut tidaklah bertahan lama. Ketika kembali ke Meulingge Sabtu silam, hanya tersisa tigapuluhan murid saja yang bersekolah di sana.

Tergerusnya jumlah siswa, kata Warga Meulingge, akibat tak ada guru yang mengabdi dengan serius. Sehingga para murid lebih memilih hengkang, dan tak lagi bersekolah.

Pernyataan warga tersebut, ikut diperkuat oleh Yusmaini. Perempuan 30 tahun asal Aceh Utara, ini lebih sering seorang diri mengontrol puluhan anak tersebut.

“Yang lain rata-rata nggak pernah datang kemari. Paling sekarang ada orang sini yang bantu. Banyak mereka yang malas sekolah, karena keseringan nggak ada guru,” kata warga tersebut.

Mirisnya, hanya satu orang penghuni tingkat akhir kelulusan, yaitu kelas enam. “Mungkin nanti pas ujian akhir kita titip ke SD di Gugop,” kata Yusmaini. Untuk siswa kelas lima, hanya ada dua murid.

Sebenarnya, sekolah ini bukannya tanpa guru. Dinas Pendidikan Aceh Besar telah menugaskan empat petugas (tiga pegawai, satu tenaga honorer), untuk mengabdi di desa ini. Tapi, para guru yang berpangkat Pegawai Negeri Sipil tersebut, lebih banyak barulah daripada memberikan pendidikan kepada anak-anak SD Meulingge.

“Gurunya memang nggak jelas. Mengajar hanya beberapa hari saja. Padahal mereka memang sudah ditugaskan kemari. Kalau memang disiplinnya ada, janganlah sampai segitu mereka berulah,” gerutu Ismuha, Sekretaris Desa Meulingge.

Dijumpai di rumahnya Sabtu (22/10) siang, Ismuha bercerita, para guru menggilirkan kesempatan untuk mengajar enam kelas. “Pulang si pulan, ya balik si pulan kemari untuk mengajar. Begitu seterusnya.”

Jadi, jangan heran, ketika mendapati murid kelas empat belum sepenuhnya menguasai baca-tulis. Malah, ada yang bisa membaca, tapi tak bisa menulis. “Dia itu bisa membaca, tapi nggak bisa menulis,” ejek seorang siswa kepada kawannya, dengan bahasa Aceh.

Kondisi ini telah terjadi semenjak musibah raya, Tsunami 2004 lalu. Para guru, seperti diceritakan warga Meulingge, mengajar bergilir selama dua minggu per guru. Sementara selama satu bulan lebih, mereka menetap di Banda Aceh.

Wiradawati (15), alumni SD Meulingge, ingat betul dengan kondisi pendidikan di desanya. Sejak ia sekolah disitu 2003 sampai 2008 lalu, keprihatinan pendidikan belum teratasi. Sebelum tsunami, ia bercerita, kondisi guru sangat menjanjikan. Mereka mengabdi untuk mencerdaskan putra-putri Meulingge. Sayangnya, beberapa guru meninggal di tengah air bah, dan sebagian lagi tak melanjutkan, untuk menetap di Meulingge.

“Dari setelah tsunami, guru ada enam orang. Tapi masuknya suka-suka mereka, kasihan juga anak murid. Kondisi itu berlangsung sampai sekarang. Ramai murid, nggak ada guru. Sekarang pun kejadiannya juga demikian,” sesalnya.

“Kita bisa lihat sekarang itu. Ketika guru nggak ngajar, ya murid di luar berkeliaran,” kata murid kelas satu Sekolah Kejuruan di Banda Aceh, yang bercita-cita mengabdi di desanya tersebut, Jumat, (21/10).

Kepala Sekolah Ridwan, yang coba dihubungi acehkita.com di Banda Aceh, sedang tidak mengaktifkan telepon selularnya. Tapi, dalam sebuah wawancara dokumenter pendidikan kepada Lamp On Aceh Film Community beberapa waktu lalu, ia beralasan beberapa orang guru, termasuk dirinya, tengah menempuh perkuliahan di Banda Aceh. Karena itu, kadangkala mereka berada di ‘daratan’.

Bukan hanya karena itu, ia dengan polos beralasan lain, penyebab anak-anak tak bisa membaca, yaitu; karena tak ada taman kanak-kanak di Desa Meulingge. “Anak-anak di sana baru diajar mengenal huruf abjad saat masuk sekolah dasar.”

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Aceh Besar Fadlan, menuturkan, berdasarkan laporan terakhir yang diterimanya, para guru sudah semuanya bertugas. “Kita ada kerahkan tim dari dinas untuk survei ke sana. Menurut laporan akhir, mereka sudah kembali bertugas,” katanya saat ditemui pada Kamis (27/10).

Tapi kondisi di lapangan tak seperti yang diteruskan tim Dispendik Aceh Besar kepada kepala dinas. Mendapatkan kenyataan tersebut, Fadlan berjanji akan mengecek kembali informasi tersebut. “Bila benar demikian, kita akan menindaknya. Yang jelas, kita akan mengkroscek kembali informasi tersebut.”

Bila menyegarkan pendidik dengan mengganti petugas, Fadlan menyangsikan hal tersebut. “Kalau menugaskan yang baru, mungkin sebuah tantangan. Karena belum tentu yang abru mau ditugaskan ke daerah. Sekarang ada sekitar 39 putra-putri daerah sana yang telah menyelesaikan kuliah. Mungkin itu yang akan kita tugaskan kesana. Pertama ya dengan menjadi tenaga honor dulu.”

Ketidaktersediaan akses pendidikan seolah melengkapi penderitaan masyarakat Meulingge. Karena, masyarakat juga tidak bisa menikmati akses transportasi yang merata. Untuk menempuh ke desa paling barat Indonesia tersebut, harus menumpang boat nelayan, selama tiga jam perjalanan dari Banda Aceh. Itupun, bila kondisi cuaca bersahabat.

Untuk kesehatan juga sangat memprihatinkan. Hanya sebuah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) kosong, tanpa tenaga medis, bantuan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, tahun 2006 lalu.

“Duluan mati orang, baru nyampe ke Pustu sana (Lampuyang).” Masyarakat Meulingge mengistilahkannya demikian.

Penerangan juga tak ada. Secara swadaya, masyarakat menggunakan mesin ginset, sebagai pengganti listrik negara. “Dari jam enam sampai tengah malam saja dihidupkan,” tambah Mustafa. Warga, jelasnya, harus membayar minimal Rp70.000 tiap bulan. “Ya tergantung pemakaian, paling sedikit 70.000. Untuk beli minyak.”

Semua keprihatinan tersebut seolah menutup keindahan desa kepulauan ini. Padahal, terumbu karang yang indah, kicau burung yang sering terdengar di hutan yang lebat adalah sebuah aset untuk memajukan Meulingge. Tapi, begitulah kondisi pendidikan anak-anak di pulau terluar Indonesia. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU