Mohamad Sharif, 16 tahun, menunjukkan kartu pengungsian UNHCR kamp Arakan, Myanmar. Bersama 572 orang Rohingya dan Bangladesh, ia terdampar di Aceh. Saat ini, mereka ditampung di GOR Lhoksukon, Selasa (11/5/2015). | FOTO: Radzie/ACEHKITA.COM

JALANNYA pincang. Di tangannya, ia menggenggam sekantong obat. Ia tersenyum ramah kepada siapa saja yang dijumpainya. “Assalamu’alaikum,” ia menyapa warga Lhoksukon yang mengunjungi Gedung Olahraga Aceh Utara. “I’m moslem”.

Mohamad Sharif, nama remaja berusia 16 tahun itu. Kulitnya hitam. Mengenakan baju olahraga warna kuning milik SMA Negeri 1 Lhoksukon, pagi itu Sharif berjalan-jalan di sekitar GOR Lhoksukon. Ia dipapah seorang temannya, Abdulrahman, 32 tahun.

“Kaki saya sakit,” ujar Sharif kepada acehkita.com, Selasa (12/5/2015) pagi.

Sharif merupakan salah satu etnis Rohingya yang terdampar di perairan Seunuddon, Aceh Utara, Ahad lalu. Bersama 572 etnis Rohingya (Myanmar) dan Bangladesh lainnya, ia ditampung sementara di Gedung Olahraga Lhosukon.

Sharif, remaja itu, tinggal di kamp pengungsian UNHCR di Arakan, sebuah perkampungan di perbatasan Myanmar dan Bangladesh. “Keluarga saya masih di sana,” ujar Sharif.

Pada 29 Maret lalu, Sharif bersama pamannya, Kifayatullah, 20 tahun, memilih keluar dari Arakan. Berbekal uang 100.2000 Lack, ia membayar agen boat, yang akan membawanya ke Malaysia.

Kapal itu mengangkut 600 orang Rohingya dan Bangladesh. Duduk mereka berdempet-dempetan. Kakinya menekuk dada, tidak ada yang bisa berselonjor. Kiri kanan, depan-belakang, dipenuhi barisan penumpang lain.

“Kami tidak bisa berselonjor. Tidur pun tidak bisa,” kenang Sharif.

Sharif menceritakan pengalaman pahitnya berada dalam lautan orang di dalam kapal sempit itu. Selama sebulan lebih, Sharif dan penumpang lainnya dibakar matahari dan diguyur hujan.

Mereka juga mengalami kekurangan makanan dan minuman. Kata Sharif, ada enam orang di dalam kapal yang meninggal akibat kelaparan, sakit, atau dehidrasi.

“Saya dipukul oleh kapten. Ini kaki saya dipukul,” ujar Sharif. Ia memperlihatkan bekas luka di tulang kering kaki kirinya. “Tujuh hari kami tidak makan apa pun, hanya minum air sedikit saja,” katanya.

Di tengah laut, kapten kapal memberitahukan bahwa mereka hampir tiba di Malaysia, tepatnya di dekat Singapura. Malah, kapten pamit mau pulang sebentar ke rumahnya di Singapura.

“Dia meninggalkan kami di tengah laut. Kapten dijemput dengan boat kecil dan tidak pernah kembali,” sebut Sharif.

Berhar-hari, kapal yang mereka tumpangi terombang-ambing di tengah lautan. Hingga akhirnya ditemukan nelayan dan dijemput relawan SAR Aceh di perairan Seunuddon, Aceh Utara, Ahad lalu.

Sharif harus menguburkan keinginannya bertemu dengan sang paman, Kamal Husein, di Kuala Lumpur, Malaysia. Padahal, ke negeri seberang itu, Sharif berharap bisa melanjutkan pendidikan menengahnya dan menggapai cita-cita.

“Saya mau sekolah madrasah di tempat paman,” kata remaja hitam manis tersebut.

“Setelah tamat, saya mau menjadi dokter atau guru. Nanti saya kembali ke Arakan dan mengobati atau mengajari saudara-saudara saya di kamp Arakan,” lanjutnya.

Tak hanya impian Sharif yang terombang-ambing akibat ulah agen dan kapten kapal. Muhammad Kasem, 40 tahun, tidak bisa mencari kerja di Malaysia. Warga Bangladesh ini sejatinya hendak mencari kerja di negeri Upin dan Ipin itu.

Apalagi, Kasem sudah pernah bekerja selama tiga bulan ketika berusia 18 tahun, dulu. “Karena saya sudah punya dua anak di Bangladesh, saya mau kembali ke Malaysia untuk mencari uang,” ujar Kasem kepada acehkita.com. Ia bisa berbahasa Melayu.

Untuk bisa naik kapal, Kasem membayar tekong sebesar 4.400 Ringgit Malaysia (sekitar Rp16 juta). Seperti cerita Sharif, Kasem juga menyebutkan bahwa mereka duduk di dalam kapal berhimpit-himpitan.

“Selama satu bulan tiga hari di laut, kami tidak ada makanan, susah. Makanan dan minuman cuma sedikit,” ujarnya.

Berada di pengungsian Lhoksukon, Sharif dan Kasem mengaku rindu keluarga. “Saya sangat rindu baba dan ma, adik dan kakak saya juga,” ujar Sharif. “I missed them so much. Jika teringat mereka saya selalu menangis.”

Kini, hari-hari Sharif akan diisi berada di pengungsian GOR Lhoksukon, sembari memulihkan kondisi badannya yang lemas. “Saya tidak bisa makan apa-apa. Kalau saya makan, semua keluar. Pencernaan saya bermasalah sejak di dalam kapal,” sebutnya. “Tadi pagi saya hanya makan apel yang diberikan warga.” []

RADZIE

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.