Thursday, April 18, 2024
spot_img

Karena Perempuan Artinya Perubahan

Karena Perempuan Artinya Perubahan

Merayakan Hari Perempuan Internasional 8 Maret

Saiful Mahdi*

Tahukah Anda? Tingkat partisipasi pendidikan perempuan di Indonesia rata-rata lebih tinggi dari laki-laki. Hal ini berlaku umum di Indonesia, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Partisipasi pendidikan perempuan juga rata-rata lebih tinggi pada semua jenjang pendidikan. Perempuan jauh lebih banyak yang bersekolah baik pada pendidikan dasar, pendidikan menengah, bahkan hingga pendidikan sarjana. Secara umum juga lebih banyak perempuan yang menempuh pendidikan pascasarjana. Jumlah perempuan hanya kalah secara rata-rata dari laki-laki pada pendidikan doktoral (S3).

Menurut data BPS 2023, pada pendidikan dasar  (usia 7-12 tahun), 99,13 persen perempuan Indonesia bersekolah, dibandingkan 98,89 persen laki-laki. Untuk pendidikan menengah pertama (usia 13-15 tahun), rata-rata 96,55 persen perempuan Indonesia bersekolah dibandingkan 95,12 persen laki-laki. Pada tingkat SMA sederajat (usia 16-18 tahun), 74,51 persen perempuan bersekolah dibandingkan 71,34 persen laki-laki. Makin tinggi jenjang pendidikan, laki-laki terlihat makin tertinggal.

Angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia terus meningkat walaupun belum sesuai harapan.  Dari seluruh penduduk Indonesia yang berusia 19-24 tahun, hanya 31,16 persen yang tercatat menempuh pendidikan tinggi. Bandingkan dengan Thailand yang mencapai sekitar 49 persen dan Malaysia 43 persen.

Partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi juga lebih banyak dibandingkan laki-laki. Sebanyak 33,55 persen perempuan Indonesia dalam usia 19-24 tahun tercatat sebagai mahasiswa dibandingkan 28,91 persen laki-laki (BPS, 2022). Perbedaan yang cukup besar!

Secara umum, data di atas menunjukkan perempuan Indonesia rata-rata pendidikannya lebih baik dari laki-laki.

Bagaimana dengan Aceh?

Angka partisipasi sekolah Aceh dari SD hingga SMA atau sederajat termasuk yang tertinggi di Sumatera bersama Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau. Untuk pendidikan tinggi, data 2022 menunjukkan Sumatera Barat tertinggi dengan partisipasi sebesar 35,41 persen, diikuti Aceh pada 31, 72 persen. Angka ini jauh meninggalkan provinsi lain di Sumatera. Bahkan jauh meninggalkan rata-rata Indonesia pada angka 25,99 persen.

Aceh Dalam Angka 2023 juga menunjukkan, partisipasi sekolah perempuan untuk semua jenjang pendidikan di Aceh juga lebih tinggi dari laki-laki. Untuk pendidikan sederajat SMP, sebanyak 98,58 persen perempuan di Aceh bersekolah dibandingkan 97,35 persen laki-laki. Untuk pendidikan sederajat SMA, ada 83,47 persen perempuan  dibandingkan 82,76 persen laki-laki. Untuk pendidikan tinggi (usia 19-24 tahun), 34,18 persen perempuan dibandingkan 29,36 persen laki-laki.

Data-data tersebut secara umum menunjukkan perempuan Aceh juga lebih baik pendidikannya dibandingkan laki-laki. Fakta tingginya partisipasi perempuan pada semua jenjang pendidikan juga menunjukkan Islam tidak membatasi pendidikan untuk perempuan. Partisipasi perempuan dalam pendidikan yang tinggi di Aceh, Sumatera Barat, dan wilayah yang dominan pemeluk Islam lainnya bahkan menunjukkan hal sebaliknya. Islam sangat menganjurkan pendidikan untuk perempuan. Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia membuktikan itu.

Lantas kenapa masih ada diskriminasi?

Dengan kapasitas sumber daya perempuan yang begitu baik, lantas kenapa masih ada diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia, khususnya di Aceh?  Agama sepertinya bukan penyebabnya. Statistik menunjukkan partisipasi perempuan di wilayah-wilayah Indonesia, dengan pemeluk agama yang dianggap lebih taat, pendidikan perempuan justru sangat terbuka dan maju. Tingkat partisipasi perempuan bahkan meninggalkan laki-laki secara cukup signifikan.

Tafsir agama dan tradisi adat-budaya sebagian masyarakat lah yang, sengaja atau tidak, yang melemahkan peran perempuan di berbagai ranah publik. Budaya patriarki, perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial terentu (KBBI), jelas bukan dari agama. Ia sebuah kontsruk sosial yang dibangun oleh kelompok kepentingan tertentu.

Kelompok kepentingan tersebut patut diduga adalah mereka yang kapasitasnya lebih rendah. Karena kapasitasnya yang lebih rendah, kelompok ini kemudian membangun pembenaran lewat tradisi, adat-budaya, bahkan lewat agama, bahwa perempuan itu lemah dan tidak layak jadi pemimpin.

Karena kapasitas yang rendah, kelompok ini cenderung banyak yang jadi penguasa dan mempertahankan kekuasaannya dengan cara korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Karena itulah diskriminasi makin sulit diberantas di tengah masyarakat yang tidak menghargai pendidikan dan kapasitas manusia yang tinggi.

Menurut laporan Pusat Penelitian Pew (Pew Research Center),  tentang apa yang membuat seorang pemimpin yang baik, karakteristik seperti kejujuran, kecerdasan, kasih sayang, dan inovasi mendapat peringkat cukup tinggi pada skala penilaian. Saat membandingkan ciri-ciri ini antara laki-laki dan perempuan, perempuan mendapat skor lebih tinggi di sebagian besar kategori ini. Perempuan sebenarnya bisa memimpin lebih baik bukan hanya karena lebih cerdas, tapi juga lebih jujur dan lebih kreatif.

Sejumlah studi juga menemukan perbedaan gaya kepemimpinan berbasis gender. Perempuan lebih cenderung mengadopsi gaya kepemimpinan partisipatif dan pemimpin yang lebih transformasional daripada laki-laki. Artinya, laki-laki punya kecenderungan lebih kuat untuk menjadi penguasa yang otoriter dan menyukai business as usual, alias tidak suka perubahan. Jangankan untuk melakukan transformasi atau perubahan, penguasa laki-laki bahkan cenderung ingin mempertahankannya.

Karenanya, diskriminasi terhadap perempuan akan terus terjadi di tengah masyarakat yang rendah kapasitasnya. Tak perduli di ranah atau sektor kehidupan manapun. Perempuan umumnya makin sedikit jumlahnya di ranah atau sektor yang tidak menghendaki kecerdasan, kejujuran, kreativitas, iniovasi, dus perubahan.

Bahkan di sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang seharusnya menjadi tempat yang paling menghargai kapasitas manusia, perempuan tetap saja mengalami diskriminasi. Jauh lebih banyak kepala sekolah laki-laki meskipun sebagian besar guru adalah perempuan. Belum pernah ada rektor di Aceh yang perempuan dan masih sangat sedikit profesor dan dekan perempuan, meskipun sebagian besar dosen dan mahasiswa adalah perempuan. Apakah ini indikasi sekolah dan kampus juga semakin koruptif sehingga tidak ramah perempuan?

Singkatnya, sistim sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, dan politik yang oligarkis-koruptif dapat dipastikan diskriminatif terhadap perempuan. Karena kelompok oligarkis-koruptif ini sangat takut pada perubahan. Seperti terlihat pada berbagai perubahan di dunia yang dilakukan perempuan hingga melahirkan International Women Day (IWD) yang diperingati setiap 8 Maret.  Karena perempuan artinya perubahan.

*Saiful Mahdi adalah dosen di Jurusan Statistika, FMIPA Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, peneliti The Aceh Institute, ICAIOS, dan ISSED. Isi tulisan adalah pandangan pribadi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Saiful Mahdi
Saiful Mahdihttp://semuabisakena.jaring.id
Pembelajar di Jurusan Statistika FMIPA Unsyiah, ICAIOS, dan The Aceh Institiute. Pernah jadi kerani di PPISB Unsyiah. Belajar banyak di Phi-Beta Group dan pengagum AcehKita.com. A Fulbright Scholar, an ITS, UVM, and Cornell alumn.

Baca Tulisan Lainnya

2 COMMENTS

  1. Betul. Tapi sayang akar sejarah itu makin tidak mengakar di kalangan generasi penerus. Aceh memang perlu manajemen ilmu pengetahuan yang lebih baik. Perlu komunitas episteme yang lebih serius, peduli, berkualitas, dan berintegritas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU