Friday, April 19, 2024
spot_img

Karantina

JAKARTA | ACEHKITA.COM – Saya merasa menjadi korban dari kebijakan pemerintah yang berubah-ubah tentang karantina kesehatan bagi pelaku perjalanan internasional. Dengan alasan ancaman varian baru Covid-19, masa karantina yang sebelumnya tiga hari, menjadi 7 hari, kemudian berubah lagi menjadi 10 hari.

Sebelum berangkat untuk mengunjungi istri dan anak saya di Malaysia yang sudah tak bisa saya temui selama lebih kurang 2 tahun karena penutupan perbatasan kedua negara, saya sudah menghitung masa karantina 7 hari di Malaysia dan 3 hari di Indonesia, dari 13 hari cuti yang saya peroleh, setelah saya ajukan ke kantor tempat saya bekerja.

Tidak mudah mendapatkan jatah cuti selama itu, karena saya harus membuat permohonan khusus dari atasan saya. Hanya karena alasan kemanusian, kantor saya memberi izin saya untuk mengambil jatah cuti setahun itu dalam satu kali sekaligus.

Kini dengan perpanjangan masa karantina menjadi 10 hari, saya harus merayu kembali atasan saya mendapatkan cuti yang akan saya gunakan untuk karantina yang tampak penuh dengan permainan dan formalitas semata.

Saya tiba di Bandara Soekarno-Hatta,Tangerang, Banten, dari Kuala Lumpur setelah transit di Singapura pada 8 Desember 2021, jelang tengah malam. Turun dari pesawat dan memasuki pintu kedatangan internasional, saya diarahkan menuju tempat pemeriksaan dokumen perjalanan untuk penentuan tempat karantina.

Petugas yang mengenakan seragam berlogo Kementerian Kesehatan bertanya beberapa hal alasan perjalanan saya ke luar negeri dan memeriksa dokumen perjalanan saya. Dia kemudian merekomendasikan saya untuk dikarantina di hotel selama 10 hari, sesuai keputusan terbaru pemerintah.

Biaya karantina di hotel yang disodorkan adalah Rp8.200.000 selama sepuluh hari, belum termasuk makan yang harus kita beli sendiri. Tidak ada hotel yang lebih murah dari itu dan boleh kita pilih sendiri.

Saya menolak dan mengaku tak punya duit sebanyak itu. Uang senilai Rp 8,2 Juta terlalu besar buat saya. Dengan harga segitu, setidaknya saya bisa menyewa apartemen tipe studio selama dua bulan.

Saya memohon untuk bisa mendapatkan fasilitas karantina yang lebih murah. Petugas mengaku tidak ada lagi hotel karantina yang lebih murah dari itu, dan menyarankan saya memohon karantina di Wisma Atlet dengan diskresi dari anggota satgas Covid dari TNI.

Wisma Atlet Pademangan dan Rusun Pasar Rumput di Jakarta Selatan dijadikan sebagai tempat karantina bagi pekerja migran dan mahasiswa yang kembali dari luar negeri. Jika saya berhasil melobi petugas itu, saya akan mendapatkan fasilitas karantina gratis dari pemerintah.

Saya berusaha mendekati seorang tentara yang bertugas, dan mengaku tidak punya uang untuk membiayai karantina di hotel. Petugas itu meminta saya menunggu sebentar. Dia terlihat sibuk menelpon untuk mencarikan hotel ke seorang warga negara asing.

Beberapa petugas kesehatan di tempat itu juga sibuk menghubungi hotel-hotel jaringan mereka, untuk memberikan pelayanan bagi orang-orang yang mampu membayar biaya karantina sesuai harga yang mereka telah sebutkan. Mereka berperan layaknya calo di terminal atau di konser-konser musik.

Bagi yang setuju dan punya duit dengan harga hotel sesuai kesepakatan, mereka diarahkan untuk menjalani tes PCR di Bandara sebelum diberangkatkan ke hotel dengan angkutan yang telah dipersipkan. Saya tak tahu berapa keseluruhan uang yang harus mereka keluarkan untuk proses karantina di hotel itu. Saya juga tidak bisa menebak, apakah mereka akan dikarantina ketat selama 10 hari atau tidak.

Saya terus saja mengamati proses transaksi dan negosiasi antara para anggota satgas kesehatan itu dengan para penumpang yang bersedia dikarantina di hotel itu.

Setelah berhasil mengurus warga asing tadi dan terlihat tak lagi terlalu sibuk, saya kembali mendekati anggota TNI tadi. Dia kemudian menyuruh saya bergabung dengan sekelompok orang terduduk lesu di kursi-kursi tunggu, tak jauh dari tempat kami berdiri.

Orang-orang itu ternyata senasib dengan saya. Mereka pun tak punya duit untuk dikarantina di hotel dengan harga yang dipatok oleh para anggota satgas di Bandara. Bahkan ada yang menunggu dari jam 7 pagi.

Kami dijanjikan baru akan diproses pada tengah malam, setelah penumpang pesawat terakhir tiba di Bandara. Saya memanfaatkan waktu penantian itu untuk mengisi daya telpon genggam saya sambil selonjoran di lantai, sama dengan beberapa penumpang lain yang bahkan telah menggelar alas untuk tidur.

Tengah malam yang dinantikan itu tiba. Petugas datang mendata kami satu per satu. dini hari itu, ada sekitar enam puluhan orang yang akan diangkut untuk menjalani karantina. Setelah pendataan selesai, kami diarahkan untuk melewati proses imigrasi, kemudian dipersilahkan mengambil bagasi.

Jelang pukul 2 pagi, kami dipersilahkan keluar untuk menuju bus damri yang sudah menunggu di luar. Atas perintah satgas, sopir bus yang akan mengantarkan kami, meminta seluruh penumpang menyerahkan passport. Katanya itu dibutuhkan untuk pendaftaran di tempat karantina nantinya.

Akhirnya setelah itu, bus Damri yang terisi penuh penumpang tanpa penjarakan tempat duduk itu, melaju pelan di tengah hujan deras pagi itu. Saya berusaha memejamkan mata dan berharap segera sampai lokasi tujuan dan bisa mendapatkan kamar untuk beristirahat.

“Karantina” di Bus

Sekitar satu jam perjalanan, ternyata bus yang kami tumpangi berhenti di Rumah Susun Pasar Rumput, Jakarta Selatan. Bus berhenti lama di depan rusun, sembari mengantre untuk masuk ke pekarangan.

Satu jam, dua jam, tiga jam, matahari mulai terang tanah. Bus yang kami tumpangi belum juga bisa masuk ke pekarangan rusun. Beberapa penumpang termasuk saya sudah mulai gelisah.
AC bus yang begitu dingin ditambah cuaca di luar yang masih hujan membuat kami tak lagi nyaman. Beberapa orang tua ada pula yang batuk-batuk.

Saya membatin semoga saja tidak ada satu pun penumpang di bus ini yang positif Covid. Kalau ada, sudah pasti kami semua akan tertular karena terkurung dalam bus yang suhu udaranya sama seperti di dalam kulkas ini.

Saya berusaha mencari tahu ke sang sopir mengapa kita harus mengantre begitu lama untuk masuk ke dalam pekarangan. Sang sopir menjelaskan kalau kita harus menunggu proses pendaftaran.

Pagi itu ada sekitar 4 bus lagi di depan kami. Sementara ada 6 bus lainnya di belakang kami. Saya sempat menghitung, jarak satu bus untuk masuk ke pekarangan sekitar 30 menit hingga satu jam.

Selama menunggu, kami tidak diperkenankan untuk turun. Perut yang belum terisi dari penerbangan di Singapura terus meronta-ronta. Kerongkongan saya semakin mengering karena tidak ada air yang bisa saya beli sejak di Bandara.

Sekitar pukul 7 pagi, bus kami baru bisa masuk ke pekarangan Rusun Pasar Rumput. Tapi ternyata penderitaan belum berakhir. Kami belum dibolehkan untuk turun. Menurut sopir, petugas masih mendata penumpang yang busnya masuk ke pekarangan lebih dulu dari kami.

Dari jendela bus saya melihat suasana lalu lalang orang-orang yang telah diperbolehkan turun dari bus untuk menuju tempat pendaftaran. Puluhan lainnya ada juga yang bersiap-siap untuk pulang setelah menjalani karantina.

Tiba-tiba seorang anggota TNI masuk ke bus dan menghitung jumlah kami. Ada sekitar 35 orang. Sang petugas itu kemudian menjelaskan beberapa tahapan yang harus kami jalani saat turun dari bus nantinya.

Sebelum mendapatkan jatah pembagian kamar yang di sisi 3 orang, kami harus menjalani tes PCR. Hasil tes hanya akan diberitahu kepada mereka yang positif. kami akan menjalani PCR tes kembali pada hari ke 9. Jika Negatif kami baru diperbolehkan pulang.

Petugas itu meminta kami untuk menunggu di bus dan tidak turun sampai pemberitahuan selanjutnya. Bagi yang ingin buang air atau mencari makanan, bisa turun untuk waktu yang dibatasi dengan pengawasan mereka.

Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Empat jam. Giliran kami untuk masuk ke rusun dan melakukan pendaftaran tak kunjung tiba. Azan zuhur dari masjid di belakang rusun telah berkumandang. Sementara perut saya semakin penuh oleh angin karena tak saya isi dari 19 jam lalu.

Baru sekitar jam 2 siang kami semua diperbolehkan turun dari bus untuk menuju tempat pendaftaran. Pos pertama yang kami lewati adalah ruang pengarahan, dimana kami dijelaskan soal prosedur pendaftaran dan diminta mengisi biodata seperti asal negara kedatangan, no HP, dan alamat kami tinggal setelah pulang dari tempat ini.

Pasport kami yang “sempat disita” sebelumnya dikembalikan untuk proses registrasi ke pos selanjutnya. Sekitar 20 menit kemudian, kami diarahkan menuju ruang tes PCR.
Proses tes tak berlangsung lama. Petugas juga menyerahkan kupon tes PCR untuk nantinya ditunjukkan pada PCR tes hari ke sembilan nanti.

Setelah itu saya harus mencari 2 orang teman, untuk mendapatkan kamar. Kami kemudian melakukan registrasi di ruangan yang tampak padat dengan pendaftar lainnya. Kebanyakan mereka berkerumun. Tidak ada sosial distancing. Petugas pendaftaran juga menyusun bangku-bangku pendaftaran layaknya situasi normal dan bukan di tengah pandemi.

Beberapa orang yang mengantre bahkan kerap melepas masker mereka. Saya sepuluh kali lebih khawatir tertular covid di tempat karantina ini ketimbang di luar sana. Sekali lagi saya berdoa dalam hati semoga saya tak tertular.

Akhirnya tiba giliran kami untuk melakukan pendaftaran mendapatkan kamar. Petugas menanyakan kembali alasan kami satu persatu ke luar negeri, dan memeriksa status vaksinasi kami serta alamat kami setelah keluar dari tempat karantina.

Setelah itu, dia memberikan kami sebuah kunci kamar yang akan kami tempati bertiga selama 9 hari selanjutnya. Sehari waktu karantina telah kami habiskan di dalam bus damri di luar rusun.

Selama di sini, kami mendapatkan jatah makan nasi kotak selama tiga kali sehari. Namanya saja nasi kotak gratis, tentu lauknya seadanya dengan nasi yang sudah mulai keras karena dimasak mungkin 6 atau 7 jam sebelum kita terima.

Kami tidak diperbolehkan memesan makanan dari luar. Jika ada keluarga yang ingin mengirimkan makanan atau barang keperluan lainnya, kami tidak boleh mengambil sendiri di pintu gerbang.

Kami hanya boleh menerima kiriman dengan bantuan dari petugas rusun. Tentu dengan membayar tips untuk mereka yang mengambil barangnya.

Saya merasa lebih bersyukur dan merasa lebih tenang menjalani karantina saat tiba di Malayasia, tempo hari. Di sana, kita bisa mengajukan diri untuk menjalani karantina di rumah.

Setelah mejalani tes PCR di Bandara, saya bisa pulang dan menjalani karantina selama 7 hari, meskipun belum boleh langsung bertemu keluarga. Karena tetap diawasi petugas kementerian kesehatan lewat aplikasi yang ada.

Saya mendapatkan gelang khusus dengan warna mencolok yang sulit dilepas, sehingga tak memungkinkan saya untuk keluar dari rumah. Jika kedapatan berkeliaran dengan gelang karantina di tangan, saya bisa saja dilaporkan warga lain dan ditangkap karena melanggar karantina.

Karantina di rumah bagi pelaku perjalanan internasional seperti di Malaysia saya kira lebih efektif dan berbiaya murah, ketimbang pemerintah mewajibkan karantina di hotel atau di tempat karantina terpusat semacam ini.

Karantina terpusat atau di hotel sama-sama memakan biaya tinggi yang membebani pelaku perjalanan dan juga pemerintah. Selain itu potensi korupsi dan permainan oleh oknum petugas cukup tinggi.

Tiba-tiba saya rindu akan suara ketukan pintu dari istri saya yang mengantarkan makanan dan cemilan-cemilan lezat buatan tangannya, saat saya dikarantina di rumah, di Malaysia. Hari-hari ke depan saya masih harus terkurung, menunggu masa karantina ini selesai secepatnya.[a]

Artikel ini sudah tayang di laman Facebook Riza Nasser. Redaksi sudah mendapatkan izin dari yang bersangkutan untuk dipublis di laman ACEHKITA.

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU