BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Penangkapan 65 punkers di Banda Aceh beberapa waktu lalu menimbulkan reaksi banyak pihak. Nurafni, psikolog dari Fakultas Kedokteran Unsyiah, menilai, ideologi punk yang dianut oleh sejumlah remaja Aceh tidaklah sama dengan mereka yang di luar Aceh. Nyatanya, mereka tetaplah makhluk sosial, yang notabene tinggal di Aceh, dan menjalankan hukum syariat, seperti tetap menjalankan kewajiban salat.
“Jangan langsung memberikan stigma negatif terhadap mereka. Mereka tidak sama dengan yang di luar, yang misal dikatakan sampai sebulan nggak mandi. Tapi kan mereka tetap salat, dan harus mandi,” katanya kepada acehkita.com, Kamis (15/12) siang.
Ia menjalaskan, letak kesamaan antara sesama anggota komunitas punker hanya pada protes sosial terhadap lingkungan dan kebijakan demokrasi yang tidak memihak kepada komunitas mereka. “Ketika pun ditangkap, hendaknya mereka tidak dibina dengan kekerasan hingga mereka yang kebanyakan para remaja akan mengikuti contoh perilaku model orang dewasa tersebut.”
Kalau untuk menyadarkannya, lanjut Nurafni, semua sangat tergantung dengan bagaimana cara menyikapinya. “Yang harus dilakukan merubah pemikiran negatif mereka terhadap protes kebijakan tersebut, agar yang mereka pikirkan jadi lebih baik. Intinya yang dihantam adalah pemikiran, bukan merekanya. Kalau dengan kekerasan ya mereka akan mengikuti contoh kekerasan itu,” ujar Nurafni.
Nurafni menyadari, beberapa hal yang melekat pada sebagian diri punker yang tidak baik. “Misal ada sebagian yang mengikuti alur kehidupan itu, tanpa memikirkan masa depan mereka. Mungkin itu yang tidak baik dari diri mereka,” katanya. []