Thursday, April 18, 2024
spot_img

Infrastrukturisme Jokowi

Infrastrukturisme Jokowi

Saiful Mahdi*

Mereka yang skeptis, terutama dari kalangan oposisi, menuduh fokus pada infrastruktur di bawah Presiden Jokowi sudah kebablasan. Daya ungkitnya terhadap perekonomian Indonesia juga belum terlihat. Anggaran negara sudah kedodoran dan hutang Indonesia membengkak karena besarnya kebutuhan anggaran untuk berbagai proyek infrastruktur di bawah Jokowi. Sejak 2016, memang banyak anggaran departemen dan lembaga yang dipotong demi pendanaan infrastruktur.

Apakah Jokowi sedang mengulangi kegagalan pembangunan ala Orde Baru atau rejim sebelumnya yang konon juga punya fokus pada infratruktur? Atau ada yang beda dengan fokus pembangunan infrastruktur ala Jokowi?

Pemerintahan Jokowi bisa jadi sedang menggunakan resep pembangunan infrastruktur konvensional yang dipercaya sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi dan sebagai usaha mitigasi dampak resesi ekonomi. Resep ini, misalnya, menyatakan bahwa “Jalan adalah urat nadi perekenomian”. Tentu saja “jalan” di sini bisa jalan, jalan tol, jalur kereta api, subway, busway, tol darat maupun laut. Intinya, jika pergerakan manusia dan barang jadi sangat mudah dan murah, ekonomi akan tumbuh dan diharapkan kesejahteraan akan meningkat.

Tapi Jokowi sepertinya punya cara yang berbeda dalam pendekatan pembangunan infrastrukturnya dan karena itu layak disebut “Infrastruktur-isme Jokowi”, fokus pembangunan infrastruktur ala Jokowi.

Infrastruktur dan pertumbuhan

Fokus pada pembangunan infrastruktur seringkali diklaim sebagai resep ampuh dalam usaha merangsang dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Pandangan dasarnya adalah infrastruktur seperti jalan dan jembatan, pelabuhan, bandara, bendungan, jalur kereta api, listrik, dan sarana telekomunikasi adalah urat nadi perekonomian. Pembangunan infrastruktur juga bisa menjadi resep ampuh dalam bertahan dan kemudian bangkit dari resesi ekonomi.

Di tengah banyang-bayang Depresi 1930, Presiden Amerika, FDR dan kemudian Eisenhower, mulai membangun ribuan kilometer highways (jalan tol)  hingga pembangunan Hoover Dam yang terkenal itu sebagai bagian dari invetasi publik terbesar, “the new deal”,  pada 1950-an. Recovery Act 2009 yang meningkatkan investasi pemerintah Amerika untuk infrastruktur publik dianggap berhasil meredam dampak Resesi 2008.

Jepang pasca perang dunia kedua juga bangkit lewat pembangunan infrastruktur. Kebijakan investasi publik besar-besaran juga yang dipakai Jepang saat menghadapi resesi setelah krisis minyak 1974 dan Resesi Heisei setelah 1991.

Cina tidak  menjadi raksasa ekonomi dunia secara tiba-tiba. Investasi besar-besaran di sektor infrastruktur telah mejadi kebijakan utama sejak 1990-an. Dalam artikel pada tahun 2013, “Chinese Infrastructure: The Big Picture”, McKinsey malaporkan, “Pembangunan infrastruktur tetap menjadi prioritas utama pemerintah Cina, yang sudah sejak lama mengakui bahwa ekonomi modern berlari pada jalan dan jalur kereta api, listrik, dan telekomunikasi yang dapat diandalkan”.

Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina juga melakukan investasi pada sektor infrastruktur secara besar-besaran dengan memanfaatkan berkah harga minyak, gas dan tingginya harga beragam komoditas pertanian sejak 1970-an. Ketiga negara terakhir itu sempat belajar banyak dari bahkan memanfaatkan perusahaan-perusahaan pembangun infrastruktur dari Indonesia sejak 1980-an.

Infrastrukturisme Jokowi

Apakah pemerintahan Jokowi sedang menggunakan resep tersebut untuk Indonesia? Pro-kontra manfaat pembangunan infrastruktur sebagai pengungkit pembangunan ekonomi Indonesia sudah sering kita baca dan dengar lewat berbagai media. Di sisi lain, walaupun termasuk yang masih tumbuh positif dan cukup tinggi, Indonesia tak lepas dari pengaruh resesi global sejak 2008 itu.

Lantas apa yang membedakan fokus infratsruktur era Jokowi dari era pemerintah sebelumnya?

Pertama, Jokowi memulainya dengan melihat proyek-proyek infrastruktur yang sudah ada atau sedang dibangun. Ternyata banyak proyek itu yang mangkrak atau tidak fungsional. Ada embung dan irigasi raksasa dibangun, tapi saluran air yang seharusnya mengalirkan air ke sawah petani tidak ada! Tahun 2016 pemerintah Jokowi menemukan proyek mangkrak senilai Rp 143 triliun, sebagian besar proyek pembangunan tol, kelistrikan, dan jalur kereta api.

Kedua, Jokowi memulainya dari pinggir dan menggelontorkan dana sangat besar untuk pembangunan infrastruktur di luar Pulau Jawa dan untuk pembangunan perdesaan. Di masa Jokowi lah keberpihakan pada daerah luar Jawa dan pada penduduk desa nyata lewat politik anggaran. Ini berkebalikan dari resep konvensional pemerintahan sebelumnya yang selalu memulai pebangunan dari “pusat-pusat pertumbuhan” dengan harapan pusat pertumbuhan ini akan memberi efek menetes ke wilayah di sekitarnya dan jenjang di bawahnya. Terbukti, trickle down effect ala ekonomi neo-klasik ini tidak jalan dan kini sering menjadi kambing hitam tertinggalnya pembangunan di banyak negara berkembang. Karena kapitalisme agung yang seharusnya mendistribusikan kekayaan justru telah menjadi kapitalisme rakus yang tujuannya hanya untuk akumulasi kekayaan segelintir warga di atas penderitaan warga negara lainnya.

Ketiga, Jokowi memastikan bukan hanya fungsionalisasi, tapi juga konektivitas infrastruktur  antar wilayah dan antar jenis infrastruktur. Sebelumnya ada proyek infrastruktur yang tidak berfungsi karena tidak terhubungnya berbagai infrastruktur itu dengan beragam sektor ekonomi di sekitarnya. Betul, sejumlah ruas tol sudah dirintis dan dibangun di era pemerintahan sebelumnya. Tapi di era Jokowi lah Tol Trans Jawa baru benar-benar terhubung.  Semoga Trans Sumatera segera menyusul.  Kereta api kita, terutama di Pulau Jawa, termasuk kereta komuter seputar Jabodetabek sudah kembali membanggakan kita. Bersih, nyaman, aman, dan terjangkau.

Konektivitas juga makin terlihat pada sistem transportasi antar-moda. Impian bisa naik kereta listrik, sambung ke subway, terus naik bus-way, sambung ke kereta bandara, terbang dengan pesawat ke pulau luar Jawa, terus sambung dengan bus way lokal dilanjutkan dengan ferry sudah makin banyak terealisasi di berbagai wilayah.

Jokowi, misalnya, mengingatkan agar infrastruktur jalan dan pariwisata sekitar bendungan juga harus dipikirkan. Karena banyak bendungan di berbagai wilayah ternyata juga menjadi objek wisata tapi tak pernah disiapkan sejak awal. Bahkan ada bendungan yang tidak punya saluran sampai ke sawah penduduk dengan alasan dinas pekerjaan umum dan dinas pengairan adalah dua direktorat yang berbeda.

Keempat, Jokowi lebih total dan sungguh-sungguh. Sang Presiden secara teratur memeriksa sendiri pembangunan proyek-proyek infrastruktur itu. Tidak seperti para pemimpin sebelumnya yang hanya datang untuk meresmikan saat proyek “selesai”. Dengan cara ini, Jokowi ikut memastikan para mentri dan pimpinan wilayah dimana proyek itu berada melangkah bersama dengannya.

Investasi publik lewat pembangunan infrastruktur memang bukan panacea. Tapi jika dilakukan dengan benar, resep ini sudah banyak bukti keberhasilannya. Ada pilihan-pilihan sulit dengan sejumlah variabel. Kesejahteraan sosial, kelayakan ekonomi, dan kelestarian lingkungan harus mendapat perhatian sama besarnya. Pilihan antara jalan tol dan jalur kereta api, misalnya, seringkali menjadi perdebatan yang menarik. Semoga Jokowi dan pemerintah Indonesia kali ini melakukannya dengan benar.

Kalaupun tidak, nama Jokowi tetap layak dikenang ketimbang mereka yang bertanggung jawab dengan berbagai proyek infrastruktur yang tidak fungsional atau magkrak. Seperti proyek Tol Becakayu yang baru diresmikan Jokowi Jumat (3/11/2017) setelah 20 tahun mangkrak! ‘

Karena itu, model pembangunan infrastruktur ala pemerintahan Jokowi ini layak kita tabalkan sebagai “Infratsrukturisme Jokowi”.

*Saiful Mahdi, PhD adalah doktor dari Program Regional Science, Perencanaan Kota dan Wilayah, Cornell University; Staf Pengajar di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Email: [email protected]

Tulisan ini juga dapat dibaca lewat steemit @saiful.mahdi pada link:

https://steemit.com/jokowi/@saiful.mahdi/infrastrukturisme-jokowi

Sumber gambar: kasadar.com

Saiful Mahdi
Saiful Mahdihttp://semuabisakena.jaring.id
Pembelajar di Jurusan Statistika FMIPA Unsyiah, ICAIOS, dan The Aceh Institiute. Pernah jadi kerani di PPISB Unsyiah. Belajar banyak di Phi-Beta Group dan pengagum AcehKita.com. A Fulbright Scholar, an ITS, UVM, and Cornell alumn.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU