BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Lembaga pemantau hak asasi manusia, Human Right Watch, diundang DPRA untuk memberikan masukan terhadap Rancangan Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Pada rapat dengar pendapat Rabu, 17 April 2013, ini HRW akan memberikan sejumlah masukan.
Peneliti HRW di Indonesia, Andreas Harsono, menyebutkan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh harus mendapat mandat yang kuat.
“Agar ia bisa secara independen memeriksa berbagai tindakan, baik dari aparat keamanan Indonesia maupun pihak GAM (Gerakan Aceh Merdeka),” kata Andreas Harsono dalam pernyataan yang dikirim ke redaksi acehkita.com, Rabu (17/4/2013).
Menurut Andreas, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh harus berupaya membuat dokumentasi yang imparsial, tidak berat sebelah, terhadap pelbagai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sejak konflik Aceh dimulai, 1976 lalu hingga penandatanganan naskah perdamaian di Helsinki, 2005.
HRW memandang pendokumentasian tanpa pemihakan itu perlu dilakukan agar nantinya pelbagai informasi yang dimiliki Komisi Kebenaran dapat disiarkan kepada masyarakat sehingga bisa memenuhi keperluan emosional para korban.
“(Ia juga menjadi) promosi proses kesembuhan dan rekonsiliasi, membantu upaya menuntut pertanggungjawaban para pelaku, dan mencegah kemungkinan terjadinya pengulangan atas pelanggaran serupa,” lanjut Andreas.
Di sisi lain, kata Andreas, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga harus mempunyai kewenangan untuk merekomendasikan perbaikan sistem hukum dan kehakiman agar bisa menjawab persoalan impunitas masa lau dalam pelanggaran serius.
Human Rights Watch percaya bahwa ide pendirian Komisi Kebenaran dan Rekonsialiasi akan lebih kuat bila staf mereka meliputi kaum perempuan serta orang yang punya kepakaran di bidang kekerasan seksual. []