Saturday, April 20, 2024
spot_img

Foto-foto Kalimantan Berselimut Kabut Asap

EKSPEDISI Indonesia Biru tengah berada di Pulau Kalimantan. Saat ini, dua jurnalis backpacker yang menginisiasi ekspedisi ini bergelut dengan pekatnya kabut asap yang melanda Bornoe. Berada di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, bak berada di tengah hutan yang terbakar.

Beberapa foto di tulisan ini diambil di Kalimantan Tengah. Foto seorang perempuan bersepeda lagi membetulkan maskernya, diambil pada Selasa (20/10/2015) sekitar pukul 17.00 WIB di Bundaran Besar, Palangkaraya, ibukota Kalimantan Tengah.

Tepat di jam itu, situs Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (bmkg.go.id) tak lagi mempublikasikan informasi kualitas udara.

BMKG bahkan telah menghentikan publikasi tentang Palangkaraya sejak pukul 07.00 WIB tadi pagi (20 Oktober 2015).

Data terakhir diambil pukul 06.00 WIB di mana PM10 (baca: kadar polusi) telah mencapai 600 persen di atas ambang BAHAYA, atau 1.300 persen dari ambang kualitas udara yang sehat bagi manusia (lihat tabel).

PM10 adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 10 mikron (mikrometer).

Nilai Ambang Batas (NAB) adalah batas konsentrasi polusi udara yang diperbolehkan berada dalam udara yakni 150 ugram/m3.
Tak ada sumber resmi lain yang bisa jadi rujukan, berapa sebenarnya kadar PM10 di kota ini setelah jam 6 pagi atau jam 5 sore ini.

Dengan kondisi ini, menurut Kepmenkes 289 tahun 2003, kota berpenduduk 200.000 jiwa ini mestinya sudah harus mengevakuasi penduduk yang rentan. Itu pun dalam kategori polusi 400 ugram/m3.

“Hari ini (20 Oktober) yang terburuk,” ujar seorang jurnalis lokal.

1511808_886590721424463_7251045064823840865_o 11051754_886637864753082_8286868456196462183_o 12028781_10153651061593618_7462353367524167755_o 12094928_886590631424472_8932696793253937135_o 12109964_886590784757790_2249393290134665884_o 12132650_886590808091121_3795200534249442676_o 12140882_886567828093419_2565881448159136205_o 12141035_886590671424468_8725148459677511023_o 12141144_10153650550608618_1130714726858168445_oKepungan kabut asap menyebabkan pelbagai sektor kehidupan terganggu. Roda perekonomian tersendat, belum lagi berbicara sektor pendidikan yang mengorbankan hak-hak siswa. Belum lagi kesehatan masyarakat yang terpapar asap dari pembakaran lahan pihak tak bertanggung jawab.

Menurut reportase Ekspedisi Indonesia Biru, tukang bensin eceran, pemilik warung kelontong, pencari ikan, dan ibu-ibu rumah tangga, semua mengeluhkan berkurangnya rezeki sejak dilanda kabut asap tiga bulan terakhir.

“Jangan nawari macam-macam, Mas. Gak ada uang. Sepi kena kabut semua,” ujar seorang ibu pemilik warung di Kabupaten Pulang Pisau, menampik penjual penghisap debu keliling yang berjalan dari kampung ke kampung.

“Habis tanaman karet dan pisang kami. Maksud hati menanam agar ada hasil,” ujar seorang warga Dayak di Sabangau, Palangkaraya, yang menanam di bekas Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare di masa Orde Baru (1996).

Itu belum termasuk ongkos yang dikeluarkan Negara dari pajak masyarakat untuk membayar aneka proyek penanggulangan kebakaran yang melibatkan tentara, polisi, petugas kesehatan, atau pemadam api. Juga tagihan rumah sakit pada BPJS.

Dapatkah semua ongkos lingkungan dan beban ekonomi masyarakat ini ditagihkan pada perusahaan atau pemilik perkebunan yang melakukan land clearing dengan membakar?

Atau mereka yang merancang sistem perkebunan tak ramah lingkungan seperti Proyek Lahan Gambut (Sejuta Hektare)?

Inilah bentuk subsidi yang tak pernah diakui pemerintah. Jenis subsidi yang tak dikenal di buku-buku referensi para ekonom.
Apakah pemerintah, Bappenas, atau Kementerian Keuangan pernah menghitung kontribusi industri monokultur ke kas negara, dibandingkan yang dikeluarkan negara untuk menanggulangi tragedi ini dan dampaknya pada ekonomi masyarakat di Sumatra dan Kalimantan?

Jadi, subsidi mana yang sesungguhnya salah sasaran? Terhadap BBM yang digunakan 240 juta penduduk atau industri monokultur yang dimiliki sebagian kecil orang?

Pertanyaan selanjutnya, sampai kapan kepungan asap ini akan menghantui Kalimantan –dan juga Sumatera? []

DANDHY | SUPARTA | EIB

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU