Sunday, April 28, 2024
spot_img

CERPEN | Dua Jam Lagi, Ayah!

“BAPAK sudah tiada, Nak,” begitu suara sayup di ujung teleponku. Tubuhku langsung bergetar mendengar berita tersebut. Tak ada kata terbersit di mulutku kecuali hati bisu kelu berurai sedih. Mukaku pucat pasi tak bergerak, rautnya datar tenggelam dalam hening pagi mentari yang cerah. Awan yang cerah seakan merubah wajahnya menjadi hitam melihat kelesuanku di sudut ruang yang sunyi. Tanpa banyak berbicara lagi aku langsung bergegas untuk melihat wajah ayah yang sudah tiada untuk terakhir kalinya.

Perlu diketahui, aku sudah lama tidak bertemu dengan ayah, karena kesibukan kuliah di sebuah kota kecil di daerahku. Aku sudah cukup lama tidak berjumpa dengan beliau dan bahkan semasa hidupnya juga aku kurang mendapat perhatian darinya, tapi itu tidak masalah bagi aku. Mungkin karena sibuk mencari nafkah untuk menghidupi keluarga kecilnya yaitu ibu, aku dan adik-adikku. Aku hanya bisa berjumpa dengannya setahun dua kali pada saat hari raya atau bahkan setahun sekali. Maklum saja beliau bekerja di negeri jiran Malaysia dan kadang-kadang menyambangi Singapura hingga negeri Gajah Putih Thailand. Semasa daerahku tengah dilanda konflik, ayah harus pergi mengasingkan diri karena ada isu beliau dianggap orang yang membantu pasukan pembela perjuangan daerahku. Ini adalah salah satu alasan lain mengapa beliau jarang berjumpa denganku.

Setelah konflik mereda beliau sudah memberanikan diri untuk kembali ke rumah berkumpul bersama keluarga kecilku. Tapi beliau sudah sering sakit-sakitan kerena mungkin faktor usia dan juga beban pekerjaan yang begitu berat selama hidupnya. Sedikit kugambarkan wajah ayahku, beliau tinggi lebih kurang 170 cm dan berbadan gempal yang sering dijuluki dengan sebutan Bang Haji Rhoma Irama di kampungku. Ada kemiripan dari wajahnya yaitu jenggot yang lebat serta potongan wajah, hanya tinggi saja yang membedakan keduanya. Bang Haji Rhoma sedikit lebih pendek dari ayahku. Ayahku juga pecinta lagu-lagu Bang Haji seperti Begadang, Perjuangan, dan lain-lain. Dalam lemari kasetnya, penuh dengan lagu-lagu dari Bang Haji dari album A hingga album Z. Disinilah aku juga mulai terjun untuk menyukai lagu-lagu Bang Haji.

***
Ayahku meninggal di rumah keluarga besar orangtuanya bukan di rumahku. Jadi keluargaku juga harus pulang ke sana, karena pada saat beliau sakit, beliau ingin dipulangkan ke sana. Dan juga untuk bisa lebih mudah untuk berkonsultasi dengan pihak keluarga dari ayah untuk masalah pengobatan pada saat hidupnya.
Dalam perjalanan pulang tersebut aku hanya bisa berdoa dan berharap bisa melihat wajah ayahku untuk terakhir kalinya. Aku berharap bisa mengantarnya sampai ke tempat peristirahatan terakhirnya. Di kota tempat aku kuliah ini juga ada beberapa saudara sepupuku yang ikut pulang untuk melihat pamannya yang meninggal yaitu ayahku. Tapi mereka pulang lebih cepat daripada aku beberapa menit. Jarak antara kota tempat aku menuntut ilmu ke rumah duka kira-kira 300 Km yang harus ditempuh selama lebih kurang 6 jam.
Aku harus mengejar sang waktu untuk lebih mudah memotong jarak tempuhku agar bertemu dengan wajah yang sudah tak bergerak itu walaupun senyumnya masih tetap lebar untukku.
“Ayah, kau ingin melihat wajahmu,” begitu pintaku.
“Aku hanya butuh beberapa saat lagi untuk bertemu denganmu,” gumamku.
“Hanya dua jam lagi ayah, dua jam lagi ayah, aku akan menjumpaimu.” Sedih, berurai air mata tanpa sadar.
Dalam perjalanan yang panjang itu seakan semangat ayah merasuki tubuhku yang lelah dalam menunggang kuda besi untuk lekas menemuinya walaupun kesedihan terus menyelimuti hati kecilku. Aku terus berharap sekuat hati. Di tengah perjalanan telepon pun berdering. Rupanya dari ibuku.
“Sudah sampai kemana kamu, Nak?” tanya ibuku.
“Tinggal dua jam perjalanan lagi, Ma?” jawabku sambil terisak-isak.
“ Ya sudah, hati-hati ya!!!” balas ibuku.
Aku kembali bergegas dengan menancap gas sepeda motorku. Aku sudah memperhitungkan bahwa aku akan sampai ke kediaman sebelum pemakaman dan aku yakin para keluarga dari pihak ayah akan menunggu kepulanganku, anak laki-laki satu-satunya. Paling tidak bisa melihat untuk terakhir kalinya walaupun tak bisa berbicara lagi.
Kembali bunyi telepon berdering di tengah perjalananku. Terlintas dalam pikiran untuk tidak menjawab deringan telepon tersebut tapi hati kecilku berkata lain. Aku berhenti untuk menjawabnya. Rupanya pamanku dari pihak ibu yang menelpon.
“Iya, Om. Kenapa lagi, kurang dari dua jam lagi aku akan tiba kok, Om,” ujarku tanpa sempat kujawab salamnya.
“Bapak sudah dikebumikan, Nak. Ini kebijakan keluarga dari pihak ayah,” selanya memotong pernyataanku.
“Kamu langsung pulang ke sini ya,” tandas pamanku.
Aku langsung menutup teleponnya tanpa salam dan hatiku seakan langsung menangis dengan sekuat-kuatnya karena tak bisa melihat wajah ayah untuk terakhir kalinya. Dalam pikiranku yang sudah dirasuki rasa sedih yang sangat besar, aku terus terngiang-ngiang suara paman tadi.
“Bapak sudah dikebumikan, Nak. Ini kebijakan keluarga dari pihak Bapak.”
“Bapak sudah di kebumikan, Nak. Ini kebijakan keluarga dari pihak Bapak.”
Aku langsung kacau tanpa memperdulikan apa yang akan terjadi ke depannya. Aku tidak lagi ingin pulang. Dalam hati, aku berkata, “kebijakan macam apa yang diambil keluarga Ayah. Bangsat semua mereka. Dianggap apa aku ini. Aku ini anaknya bahkan aku anak lekali satu-satunya yang ia punya.”
“Hanya butuh waktu dua jam lagi untuk menunggu aku pulang. Apa salahnya menunggu sejenak untuk bisa mempertemukan anak dengan ayah yang sudah lama tidak berjumpa ini. Dua jam lagi aku tiba, dua jam lagi, Ayahku,” timpaku lagi.
Aku tak beranjak dari tempat duduk istirahatku tadi.
“Maafkan aku Ayah, bukannya aku tak mau berjumpa denganmu, tapi keluargamu lah yang tak mau mempertemukan aku untuk mencium pipimu untuk terakhir kali dan mengantarmu ke tempat peristahan terakhirmu itu.”
“Dua jam lagi aku bisa menjangkaumu tapi aku tak bisa Ayah.”
“Dua jam lagi aku bisa menshalati jasadmu, tapi aku tak berkesempatan untuk itu.”
“Maafkan anakmu ini yang tak bisa mengantar jiwamu terbang dengan tenang ke alam sana, Ayah.”
Dua jam lagi, Ayah…..
Hanya dua jam lagi……….!!!
***
Dalam kesendirian terkadang aku melihat senyum lebar ayah yang seakan gembira melihat aku sudah tumbuh besar seperti yang dicita-citakannya. Jauh sebelum ia meninggal, ia cuma meninggalkan secuil pesan yang tanpa kusadari itu adalah pesan terakhirnya.
“Jadilah laki-laki yang bebas dan bertanggungjawab terhadap agama dan keluarga.”
Hingga saat ini aku belum bisa memenuhi hal tersebut, tapi aku akan berusaha membahagiakan ayah, walaupun kita sudah berbeda tempat. Salam manis untuk ayahku yang hebat! []
Banda Aceh, 20 Nov 2005

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU