Friday, April 26, 2024
spot_img

Berbagi Kurma di Masjid Nabi [2]

KINI, di Masjid Nabawi, suasana kembali normal. Tepat pukul 19.00, azan berkumandang, pertanda waktu berbuka telah datang. Tak ada pukulan beduk atau sirene meraung-raung seperti kebiasaan berbuka puasa di Aceh. Pria Tunisia di hadapan saya memulai berbuka dengan melahap beberapa butir kurma. Berikut, giliran yogurt masuk mulut. Melihat si Tunisia tampak menikmati menunya, saya pun tergoda mencoba.

Baru saja sendok yogurt masuk ke mulut, saya tercekat. Rasanya, asam minta ampun. Melihat wajahku seasam yogurt, si Tunisia menahan tawa. sambil mengucapkan sesuatu dalam bahasa yang tak kupahami, ia menyerahkan mangkuk kurma. Lumayan, manis kurma langsung menghapus rasa asam di lidah. Rupanya, lidah Aceh-ku masih kaget dengan menu Arab. Yang terbayang adalah boh rom-rom atau timun suri yang dipenuhi es kristal.

Kompleks Makam Rasulullah. Yuswardi A. Suud/ACEHKITA.COM
Kompleks Makam Rasulullah. Yuswardi A. Suud/ACEHKITA.COM
Saat azan tanda salat magrib dimulai, dalam hitungan detik, keluarga Arab penyumbang makanan melipat plastik yang berisi sampah berbuka, lalu memasukkannya dalam plastik karung sehingga sampah tak tercecer.

Hasilnya, cling, masjid kembali bersih dan siap dipakai salat tanpa ada sampah tercecer. Cara ini mengundang decak kagum Jufrizal, pria asal Krueng Geukueh yang jadi teman sekamar di penginapan. “Kalau di kampung kita, abis makan main lempar aja sampahnya,” kata honorer di Puskesmas Cunda, Aceh Utara itu.

Jufrizal masih muda. Usianya 24 tahun. Ia datang bersama ibunya. Sama seperti saya, ini adalah kedatangan pertamanya ke tanah suci. “Kalo nunggu haji sepuluh tahun lagi belum tentu lolos. Mumpung masih muda dan sehat,” ujarnya.

Di Madinah, ia tak henti menadahkan tangan. Mengadukan cita-cita, ambisi dan harapan kepada sang pencipta. Baginya, Madinah adalah hotel dan masjid. Hampir setiap hari ia berkunjung ke Raudhah, salah satu bagian depan masjid yang bersebelahan dengan makam Nabi Muhammad.

Di Raudah, orang-orang meyakini doanya makbul. Itu sebabnya, dari pagi hingga malam, Raudah jadi rebutan. “Rasulullah berkata, antara rumahku dan mimbarku adalah taman surga. Itulah Raudah,” ujarnya.

Selain Raudah, tempat yang tak pernah sepi adalah makam Nabi Muhammad yang terletak di bagian depan masjid, persis di sebelah Raudah. Di sini, dimakamkan pula Abu Bakar dan Umar bin Khatab, dua orang terdekat Rasulullah. Di depan makam, tiga petugas keamanan disiagakan. Orang-orang hanya bisa melihat makam sambil tetap berjalan. Sempat kulihat beberapa pengunjung menangis terisak menahan haru.

Di luar masjid, masih ada makam para sahabat nabi. Salah satu sahabat yang dimakamkan di sini yaitu Usman bin Affan. Tapi, jangan coba-coba mengunjunginya di siang hari jika tak ingin kulit seperti dipanggang. Sebab, di bulan Agustus, matahari di atas Madinah belum bersahabat.

“Sekarang masih musim panas, nanti musim haji baru masuk musim dingin,” ujar Ustad Iwan Harahap, pemdamping kami.

Iwan berasal dari Medan, Sumatera Utara. Ia sudah dua tahun tinggal di Madinah. Sambil kuliah di salah satu perguruan tinggi di Mekkah, ia merangkap sebagai pemandu jemaah. “Lumayan untuk nambah-nambah uang kuliah,” ujarnya yang mengaku mendapat penghasilan 200 – 300 Riyal per hari atau setara 500-750 ribu Rupiah.

Iwan pulalah yang mengantar kami ke sejumlah tempat bersejarah di Madinah seperti masjid Kuba yang didirikan Nabi Muhammad, Jabal Uhud bukit tempat nabi bertempur melawan kaum kafir dan Masjid Kiblatain tempat turun wahyu mengubah arah kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram.

“Peninggalan bersejarah ini benar-benar dirawat untuk menjaga asal-usul Islam,” ujar Iwan.

Waktu berbuka hampir tiba ketika kami kembali ke penginapan. Ini hari ke delapan kami di Madinah sebelum bertolak ke Mekkah. Dari hotel, kami bergegas menuju masjid yang hanya berjarak dua tiang listrik. Di jalanan, panas masih meruap meski matahari hampir menghilang. Rasanya, persis seperti di ruang sauna. Untungnya, lama-lama saya mulai beradaptasi. Lidah pun mulai akrab dengan menu berbuka ala Arab.

Sore itu, di Masjid Nabawi, tangan saya kembali ditarik anak muda yang menawarkan berbuka bersamanya. Menunya tetap sama: semangkuk yogurt, sepotong roti, air zamzam dan beberapa butir kurma. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU