Saturday, April 20, 2024
spot_img

Berbagi Kurma di Masjid Nabi [1]

SAYA sedang berjalan di dalam Masjid Nabawi ketika tiba-tiba ditarik oleh dua pria jangkung dengan wajah bertabur berewok. Yang satu menarik ke kiri, satu lagi mengajak ke kanan. Ya, saya diperebutkan dua pria Arab. Untung saja, bahu saya tak lepas. Eits, jangan salah sangka. Mereka bukan penyuka sesama jenis, bukan pula perampok padang pasir yang sedang berebut mangsa.

Sore itu, pada pertengahan Agustus yang kerontang, mereka berebut menawarkan saya berbuka puasa di tempatnya. Karena setengah memaksa, saya memutuskan menolak tawaran keduanya dan memilih berjalan agak ke depan.

Yuswardi A. Suud/ACEHKITA.COM
Yuswardi A. Suud/ACEHKITA.COM
Baru beberapa langkah, seorang anak muda berkerudung merah garis-garis langsung menggamit lengan saya, lalu dibawa ke tempat makanan telah disiapkan. Kali ini saya manut saja.

Begitulah. Setiap waktu berbuka puasa tiba, keluarga Arab yang menyumbangkan panganan berbuka di masjid, berlomba-lomba menawarkan makanannya. Mereka masih memegang teguh ajaran: jika memberi makan orang berpuasa akan diganjar pahala berlipat. Itu sebabnya, setiap sore orang-orang berbondong-bondong membawa makanan ke masjid terbesar kedua dunia itu.

Makanan yang disajikan hampir seragam: semangkuk yogurt, kurma, roti dan air zamzam yang disediakan pengurus masjid. Yogurt adalah susu hasil fermentasi yang bagus untuk pencernaan. Tak ada kopi atau air tebu, apalagi nasi kulah seperti menu berbuka di masjid-masjid Aceh.

Menariknya, makanan-makanan itu ditaruh di atas plastik panjang bening serupa tikar yang dihamparkan baris demi baris. Plastik-plastik itu mulai digelar sejak selesai salat Ashar. Petugas masjid bahu membahu dengan keluarga penyumbang makanan mempersiapkan tempat berbuka.

Saya duduk bersila berhadapan dengan seorang pria kulit hitam. Sambil menunggu waktu berbuka, saya mencoba membuka percakapan. “Where do you from?” Dia hanya geleng kepala sembari mengangkat bahu sebagai isyarat tak paham. Untunglah di tas kecil yang disandang di bahunya saya tahu lelaki itu datang dari benua Afrika: Tunisia. Rupanya, bahasa Inggris tak banyak gunanya di kota Rasul.

Selain dari negara-negara Timur Tengah seperti Iran, Iraq, Kuwait, orang-orang datang berbagai negara untuk melakukan umrah atau hanya sekedar salat di Masjid Nabawi. Tak terkecuali Indonesia. Di bulan Ramadan, Nabawi bersimbah doa.

Ini adalah buka puasa pertamaku di Masjid Nabawi. Ketika pertama tiba di Arab, kami berbuka di pesawat dengan hati bimbang. Ceritanya, jam di lengan sudah pukul 18.50 ketika awak pesawat mengumumkan waktu berbuka puasa telah tiba. Di Aceh, itu saatnya berbuka. Tapi, di luar pesawat, matahari masih terik. Jeddah, ibukota Arab Saudi, masih dua setengah jam lagi. Di monitor terpampang waktu Saudi: pukul 14.45. Indonesia empat jam lebih cepat dibanding Saudi. Artinya, jika mengikut waktu Saudi, buka puasa masih empat jam lagi.

Perbedaan waktu membuat matahari masih terik. Orang-orang mulai bimbang, sementara pramugari mulai beredar menawarkan makanan. Hasilnya, sebagian besar penumpang memilih menerima tawaran pramugari. Walhasil, di ketinggian 38 ribu kaki, di bawah siraman cahaya matahari, kami berbuka dengan menyantap nasi ayam tumis dan segelas juice apel yang disajikan pramugari berkerudung merah.

Tak semua penumpang berbuka puasa. Seorang ibu asal Aceh yang duduk di sebelah saya memilih tidak berbuka saat itu. “Saya berbuka ikut waktu Arab saja,” ujar perempuan asal Krueng Geukuh, Aceh Utara, itu.

Dia yakin, jika berbuka sekarang, puasanya tidak sah karena matahari masih tinggi. Itu artinya, si ibu baru akan berbuka empat jam lagi Saya sendiri ikut waktu Indonesia. Memang, terasa aneh berbuka di terik matahari. Namun, berhubung perut sudah tak bisa kompromi, saya ikut golongan mayoritas.

“Ada dispensasi untuk musafir. Tuhan tahu kita berpuasa,” ujar seorang anggota rombongan– yang wajahnya penuh janggut– sambil tersenyum.

*** [bersambung]
Baca juga: Berbagi Kurma di Masjid Nabi [2]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU