Friday, May 3, 2024
spot_img

Terseok di Kaki Idieng

Dalam belantara Krueng Ayon, enam gerilyawan bersenjata laras panjang, siaga di tepi sungai. Di balik rimbun pepohonan, sejumlah personil TNI siap menggempur.

Tiba-tiba, dor..dor..dor…! Perang memuncah. Para petempur berpencar, saling melepas tembakan. Dari atas bukit, sejumlah gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyerang, membela enam temannya yang terhimpit pasukan pemerintah.

Pagi yang suram, Juli 2004. Rentetan letusan senjata menggema dalam rimba, mengalahkan suara jatuhnya air terjun dari bukit. Perang berlangsung dua jam lebih. Bening Krueng Ayon, berubah merah. Tiga tewas. Keadaan pelosok Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya itu mencekam.

***

Aku berada di lokasi perang, lima tahun silam. Damai. Jumat 14 Agustus 2009 siang, hanya suara air jatuh dari tebing 30 meter lebih terdengar, bersama kicaun burung liar. Panorama air terjun Krueng Ayon asri berbalut kabut.

Gemerincing air terdengar hingga radius 500 meter. Terpancar hawa sejuk. Air bening menyisir bebatuan besar terbentang di belantara Gunong Idieng. Dingin menikam tulang.

Ucok Parta/ACEHKITA.COM
Ucok Parta/ACEHKITA.COM
Aku bersama dua puluhan peserta training jurnalis lingkungan. Menelusuri rimba, menikmati indahnya air terjun Gunong Idieng. Tgk. Zulkiram, Kesyik Krueng Ayon memandu kami. “Ini kawasan pejuang dulu,” meriwayatkan kisah lokasi markas gerilyawan.

Zulkiram, yang kerap disapa Keusyik Jhon, mantan kombatan. Dulu ia panglima sagoe di sana. Jhon hafal betul belantara ini. Air terjun Krueng Ayon terletak sekitar lima kilometer lebih dari perkampungan. Kami melewati medan berat. Jalan berkubang, persis arena off road. Dikelilingi pepohonan sawit dan belantara. Dua mobil jenis double cabin dan Helline mengangkut kami.

Di jalan, kami terseok-seok. Mobil merayap dalam lumpur. Kerap terjebak dan kami terpaksa turun mendorong. Jalan ke sana jarang dilewati kenderaan, kecuali truk pengangkut sawit.

Laju mobil berhenti, kala terhadang sungai. Kami menyeberang dengan berjalan kaki, menelusuri jalan setapak. Kami seakan tenggelam dalam rerumputan gunung yang tumbuh tinggi.

Dalam penjajakan, mahot (pawang gajah) yang ikut bersama kami kerap meledakkan karbit, agar gajah liar menjauh. Menurut Keusyik Jhon, setahun terakhir, gajah liar kerap berkeliaran di sana. Nyali warga mulai ciut ke kebun, terlebih gajah sering menumbangkan pohon kelapa dan sawit warga.

Tiga kali menyeberang sungai dangkal, kami berhadapan dengan air terjun yang indah. Tebing batu kokoh berdiri. Tingginya ebih 30 meter. Orang yang naik ke atas terlihat sebesar kelinking. Gemuruh jatuhnya air membahana. Berdiri di jarak 50 meter, kita sudah merasakan percikannya.

Usai sejam lebih mandi dan menikmati panorama asri, kami pulang ke perkampungan Ayon. Menempuh jalur sama.

***

Ucok Parta/ACEHKITA.COM
Ucok Parta/ACEHKITA.COM
Krueng Ayon menawarkan potensi. Air terjun indah cocok dijadikan objek wisata dan pembangkit listrik tenaga air. Jhon menceritakan, tim peneliti dari sebuah perusahaan minuman ternama pernah survey ke sana, 2007 lalu. “Mereka memperkirakan, jika PLTA dibangun, bisa menerangi satu Kecamatan Sampoiniet,” kata Jhon.

Ayon juga masyhur jeruk, rambutan dan sawit. Namun, letaknya yang terasing, di kaki gunung Idieng, menasbihkannya desa tertinggal. Jalan tak beraspal, serupa kubang. Menyulitkan warga memasarkan hasil tani.

Krueng Ayon berawal dari belantara. Sekitar tahun 1990, saat Pemerintah orde baru menggalakkan transmigrasi, kawasan itu jadi salah satu sasaran. Berdirilah rumah-rumah papan. Warga trans dan lokal hidup berdampingan.

Konflik memanas sejak 2000, memaksa transmigran asal pulau Jawa mengungsi. Kini keseluruhan penduduk di sana warga lokal. Jumlahnya 250 jiwa dari 65 kepala keluarga.

Perihal pendidikan, mereka tertinggal. Rata-rata warga di sana hanya tamat SD. Jarak tempuh membuat mereka enggan menyekolahkan anaknya. Akses SMP harus ke Suwak Beukah, Sampoiniet, jarak tempuh hingga dua jam dengan sepeda motor dari sana. Sementara SMA harus ke Calang, Ibukota Aceh Jaya, 40 kilometer lebih dari Ayon.

Hanya SD berdiri di Ayon. Itupun, proses belajar mengajar tak pernah efektif. Masuk jam 10. 00 WIB, pulang jam 12. 00 WIB. Ada lima guru di sana, semuanya asal Suak Beukah. Jarak tempuh mereka yang membuat masuk telat saban hari. “Malahan, jika hujan, sekolah libur total, karena guru tak datang. Anak-anak sudah hafal ini,” kata Maimunah, 40 tahun, orang tua murid.

Ihwal kesehatan, warga harus ke Fajar, dengan jarak tempuh dua jam. Tak ayal, jika sakit tak terlalu parah, warga enggan mengobati secara medis. Persalinan wanita hamil menggunakan jasa dukun.

Warga Ayon berbelanja seminggu sekali ke Keude Suak Beukah. Akses transportasi ke sana menggunakan jasa ojek atau menumpang truk sawit. Soal listrik, Ayon sudah lima tahun tak menikmatinya. Amuk tsunami 2004, ikut melenyapkan aliran listrik di sana. Kini, hanya tinggal tiang-tiang kosong, tanpa kabel.

Mangrib menjelang. Suasana Gampong Ayon mulai gelap gulita. Keusyik Jhon melepaskan kami penuh haru. Meninggalkan Ayon, kami melewati tanjakan dan turunan berkubang, terseok-seok seperti nasib desa di kaki gunung Idieng itu.[]

Previous article
Next article
Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU