Tuesday, May 7, 2024
spot_img

Syariat Islam untuk Siapa?

Bang Amat nelangsa. Meski bersuara lantang, aura kesedihan terpancar, tampak di wajahnya. “Le that meuthen syariat jino ka,” katanya di pagi Jumat, 12 Desember, lalu. Kesedihan Bang Amat bukanlah tanpa dasar. Lelaki berusia setengah abad ini berpendapat, penegakan syariat Islam di masa ini mengalami banyak tantangan. Di antaranya, banyak pantangan yang menjadikan syariat Islam tidaklah berjalan. Misal saja, kata Bang Amat, penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang kadang bertabrakan dengan penegakan syariat Islam.

“Nyan jinoe, menye tacutit aneuk, ka dipeugah melanggar HAM,” gerutu Bang Amat.

Ditemani secangkir kopi, saya duduk menemani Bang Amat, warga Meunasah Neulop, Kemukiman Reubee, Delima, Pidie, Jumat itu bersama Tengku Aminullah. Sebetulnya, Bang Amat merupakan salah satu warga yang sangat setuju dengan penegakan syariat Islam di Aceh. Namun, banyaknya hal yang membuat syariat mandek, membuat ia gusar.

Tengku Aminullah juga berpandangan sama dengan Bang Amat. Menurut pengajar tetap di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Al Aziziyah Samalanga, Bireuen, itu pola pengobrokan syariat ini dimulai setelah tsunami melanda Aceh tahun 2004 lalu.

“Pola itu juga pengaruh bawaan NGO ke mari. Saya teringat yang dibilang Pak Karim Syech, bahwa NGO masuk ke Aceh bukan gratis. Bantuan yang diberikan kepada orang Aceh tidaklah gratis,” katanya mengutip pernyataan Karim Syech, Ketua MPU Kota Banda Aceh. “Setelah itu di Aceh mulai ada undang-undang itu (Perlindungan anak-red) yang mengerdilkan agama. Undang-undang Tuhan mulai ditentang sama undang-undang yang dibuat manusia.”

Tengku Aminullah menjelaskan, kita, masyarakat Aceh telah diberi umpan oleh NGO dan baru merasakan sekarang ketika banyak aliran yang beredar di Aceh. Konsep itu, tambah pengajar IAIN Ar-Raniry dan Dayah Darul Muar’if, Lampoh Pande di Neulop ini, telah lebih dulu dipopulerkan oleh Snock Hurgronje. Sedangkan masalah pemberian uang merupakan konsep milik Belanda.  Bang Amat pun sependapat dengan Tengku Aminullah.

“Nye awai nyan dirhoem peng lam peurede tring, jadi jak tanyo cah peureude tring untuk cok peng.” Maksudnya, Belanda ketika menjajah Aceh pada masa lalu, menaburkan uang dalam rumpun bambu. Tujuannya orang Aceh bisa membabat semua batang bambu, sehingga tidak lagi bisa bersembunyi. “Dulu kita diperangi membabi buta, kita sembunyi di balik batang bambu. Begitu cara menghabisi kita oleh Belanda,” tambahnya.

Konsep baru yang ditawarkan melalui hukuman cambuk bagi pelaku maksiat pun, disangsikan oleh Tengku Aminullah. Penerapan yang tak sesuai dengan aturan yang berlaku pada zaman nabi membuat hukum tersebut tidak berjalan. “Perlu digarisbawahi, ketika melakukan hukum rajam dan cambuk, ada aturan sendiri dan tidak bisa semena-mena, main langsung tangkap dan cambuk.”

“Kalau orang yang berzina dan kemudian ditangkap, hukumnya memang dirajam, tapi praktik dan aplikasinya itu seperti apa? Coba kita lihat hadits Nabi, apa Nabi Muhammad pernah mengatakan bahwa  beliau pernah menghukum cambuk dan merajam orang gara-gara melakukan perbuatan zina. Semua hadits sepertinya tidak ada yang menuliskan demikian. Kemudian pada masa sahabat ada tidak?” tanyanya lagi.

“Sebagian memang ada yang bilang ada, yaitu Abu Syammah. Tapi beliau kena hukum cambuk, bukan karena ditangkap, tapi pengakuan beliau sendiri telah berzina. Yang ditangkap tidak pernah ada,” tambah Tengku Aminullah.

Tengku Amin menyebutkan, menjatuhkan hukuman cambuk tidaklah boleh sembarangan. Ada prosedur khusus yang telah diatur dalam agama Islam. Harus ada minimal empat saksi yang adil dan melihat langsung dua insan berlainan jenis sedang melakukan persetubuhan. Adil dalam artian kuat dalam pengetahuan dan perbuatan keagamaan,  sah menjadi saksi nikah.

“Sekarang kita lihat secara logika, mana mungkin melihat orang yang memang sedang bersetubuh. Oke kalau memang kita lihat langsung, sedang kita memanggil orang alim, mereka sudah tidak lagi satu badan berdua.”

Tengku Amin menekankan, hukum cambuk dan rajam sangatlah sulit untuk diterapkan. Hal tersebut merupakan aib yang sangat memalukan. Islam, sebut Tengku Amin, menerapkan hukum seperti itu, supaya umatnya tidak melakukan hal yang demikian.

“Tapi kita lihat aplikasinya sekarang, bagaimana caranya menghukum orang? Ketika hanya sebagian hukum yang berjalan, maka saat itu orang akan membenci syariat Islam. Waktu penerapan  yang tidak imbang, saat itu akan menjadi konflik baru. Jadi, syariat Islam di Aceh sekarang ini menciptakan konflik baru. Dalam menjatuhkan hukum masih memandang orang. Aparat siapa berani hukum, dan efeknya akan timbul perpecahan di kalangan kita orang Aceh. Hal yang kita sayangkan sekarang, kita tidak lagi bersatu.”

Persatuan dalam diri orang Aceh memang tidak sekuat masa dulu, dimana saat konflik mendera Aceh.  “Saat itu kita dalam posisi tertekan, jadi kita mempunyai rasa kebutuhan dan tidak mungkin kita sendiri.” Persatuan orang Aceh bisa dilihat dari hidupnya balai-balai pengajian dan di meunasah di gampong-gampong. “Juga perlu diingat, saat itu syariat Islam di Aceh belum ada konsep, tapi memang muncul dari kesadaran masyarakat,” jelas Tengku Amin.

Menyangkut persatuan, sebetulnya, Masyarakat Aceh mempunyai konsep yang sama, yaitu konsep warisan indatu yang diajarkan turun temurun. “Konsep itu yang harus kita bangkitkan. Kita satu nektu. Jangan sampai harus  perang dulu baru bersatu.”

Untuk membangkitkan kembali hal tersebut, Tengku Amin dan Bang Amat menyarankan para orang tua untuk senantiasa mendidik anak-anak kecil usia sekolah dasar. “Nyan aneuk mit ube’ nan hana diteupe sapeu lom. Lebih mudah mendidik mereka daripada meluruskan yang sudah rusak.”

“Menerapkan syariat islam haruslah membangun dari diri sendiri. Pendidikan tingkat rumah yang penting.”  Tengku Amin memberi contoh pada diri perempuan, dimana perempuan adalah sosok ibu. Namun, banyaknya aturan yang bertabrakan dengan aturan masa modern seperti gender membuat lelaki berbadan tambun ini menyangsikan penerapan tersebut akan maksimal.

“Seharusnya perempuan atau ibu tidak boleh bekerja. Karena mereka memang pendidik anak, tidak perlu memikirkan hal lain. Namun pemikiran modern tidak lagi menerima hal tersebut. kenyataannya seperti itu memang.”

“Didikan ibu cukup berharga. Sambil menidurkan anak ia mengelus kepala. Saat itu ia mengenalkan Tuhan melalui selawat-selawat, atau dengan berzikir memuji Keeasaan Allah, Lailahaillallah. Itu konsep ajaran pengenalan syariat orang Aceh. Pengajaran agama islam sejak dini,” kata Tengku Amin.

Bang Amat dan Tengku Amin punya pandangan yang sama. Ibu, bagi mereka merupakan sosok penting, dan orang yang pertama mengenalkan Tuhan kepada sang anak. Menurut mereka, begitulah konsep penerapan syariat di diri orang Aceh. Di mana pendidikan tingkat rumah merupakan hal yang utama. “Sekarang kita tidak tau lagi kita apa masih ada yang demikian? Saya rasa sudah sangat langka,” tutup Bang Amat. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU