Friday, May 17, 2024
spot_img

Sketsa Pergantian Tahun di Serambi Mekkah

MALAM masih terlalu muda, di penghujung Desember 2011.  Jarum jam belum lagi melewati seperempat malam. Mendung mengarak awan, tanda-tanda akan turun hujan.  Dari corong Masjid Raya Baiturrahman, lantunan zikir menggema, beradu keras dengan bunyi ribuan kenalpot kendaraan. Di sela-sela itu, sesekali rentetan terompet memekik.

Ibnu GP/ACEHKITA.COM

Kepadatan mulai tampak selepas Isya. Melewati Jambo Tape, di pinggiran jalan, para penjaja burger menyetel keras musik disco. Muda-mudi bercengkerama, sambil berangkulan. Lewat dari situ, Simpang Lima, Banda Aceh. Beberapa kelompok mulai berkumpul, menumpuk hingga ke jembatan Pante Pirak, di atas Krueng Aceh yang membelah ibukota Provinsi Aceh itu.

Dari Masjid Raya, pemandangan serupa: jalanan dipadati lalu lalang kendaraan. Belok kiri, arah ke Lapangan Blang Padang, juga tak jauh berbeda. Di sini, tak ada lampu yang menerangi jalanan. Di beberapa sudut, di atas tanggul, puluhan pasangan tampak sedang memadu kasih. Malam seakan milik mereka berdua. Dengan mesra, beberapa sejoli terus sibuk dengan aktivitasnya, tak memperdulikan keramaian malam.

Jalanan yang macet hanya memungkinkan kendaraan bisa dipacu dengan kecepatan, sekitar 30 kilometer per jam. Tapi tidak bagi Ponda. Ia bersama tujuh rekannya mengayuh pelan wim cycle, menembus keramaian malam. Ia hendak merayakan malam pergantian tahun, di pinggiran pantai  Ulee Lheue. Baginya, ada sebuah keunikan ketika ia dengan kawan-kawan bisa menikmati kebersamaan di penghabisan tahun 2011.

“Jarang-jarang kita bisa seperti ini,” kata Ponda. Saat itu, waktu masih menunjukkan pukul 21.37 WIB. 

Sayang. Ponda yang datang bersama Komunitas Bocah-Bocah Lampineung atau Bohlam, harus putar kemudi. Warga Ulee Lheue, Meuraxa, menutup badan jalan di depan Masjid Baiturrahim, yang menghubungkan ke Pelabuhan Ulee Lheue itu.

Burhan, salah seorang warga menuturkan, kesepakatan menutup jalan itu diambil berdasarkan hasil musyawarah Pemuda Kecamatan Meuraxa, Koramil, Camat, dan Kapolsek Meuraxa.

“Minimal kita bisa mengurangi perilaku maksiat di tempat kita ini. Untuk mencegah mungkin sulit, tapi untuk mengurangi apa salahnya,” kata Burhan, yang juga penjual pulut di pinggiran Pantai Ulee Lheue ini.

Menariknya, kaum ibu ikut juga mengambil peran mengamankan desa mereka, Ulee Lheu dari maksiat. “Tadi kita juga ikut ronda ke Tumpok Teungoh,” kata seorang ibu.

Di tiap malam pergantian tahun, ibu tersebut menuturkan, mereka selalu melakukan ronda. “Kalau nggak seperti ini, yang jelek selalu kami Ulee Lheue. Padahal warga yang asli di sini bisa dihitung, apalagi yang perempuannya,” ujar perempuan tambun itu lagi.

Dia menyesalkan para pedagang yang kelewatan dalam mencari rezeki. “Di sini hampir semua pendatang. Kalau mau cari uang ya silakan, tapi kan ada batasnya,” gerutu ibu tersebut.

Malam tadi, Ulee Lheue memang dijaga ketat aparat keamanan. Ada TNI, Polisi, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan Polisi Syariat (WH), yang malam itu ikut menutup badan jalan.

Malam terus saja merangkak perlahan. Kini, satu jam saja selisih pukul 12. Kemacetan tak dapat dielakkan. Dari Lapangan Blang Padang, menuju pusat kota, pengguna jalan sudah menyemut. Tampak seorang tentara melempar batu ke sebuah sudut lapangan dekat dengan monumen RI 001; ternyata sepasang insan yang sedang dimabuk asmara. Mereka kemudiam meninggalkan lokasi itu.

Kembali melewati jembatan Krueng Aceh, pengguna jalan lebih memilih berhenti, daripada merangkak dengan kendaraan di jalanan. Malam yang pekat dimuntahi dengan kembang api, dan mercon-mercon besar. Mirip dengan pembukaan sebuah event besar, yang disiarkan di televisi. Polisi yang betugas ikut mengabadikan dengan kamera handphone.

Tahun 2012 akan menjelang dalam hitungan detik. Sebuah mercon tembak yang dirangkai dalam sebuah kotak, digelar di tengah jalan. Seorang lelaki menyulut sumbu kecil dari kotak ‘bom’ itu. Di kerumunan massa, ledakan menggema, bergantian. Lagit memerah dengan percik indah. Asap mengepul di angkasa. Terompet ditiup silih berganti.

Tiga, dua, satuuuu, selamat tinggal 2011. Beberapa pemuda menghidupkan motor besarnya. Mereka dari Ikatan Motor Besar Indonesia. Seperti sedang pemanasan, mereka menyetel keras bunyi kendaraannya. Kini, perhatian massa beralih ke kelompok mereka. Ada juga seorang Petugas Polisi Jalan Raya (PJR), yang ikut menggas kencang motor Highway Patrol Antik Kepolisian, Harley Davidson.  Bunyinya memekakkan telinga, bersaing dengan letupan kembang api.

Malam itu, semua berbaur. Polisi yang seyogyanya mengamankan ikut merakan pergantian tahun. Sebagian merekam, dan sebagian lagi larut dalam perayaan. “Kakaloen ile polisi nyan,” celutuk sekawanan remaja. Ia melirik ke petugas yang tak lagi ‘bertugas’ tersebut.

Berbagai cara perayaan di Simpang Lima. Satu kelompok marching band merayakan dengan memainkan nada saksofon. Lagi-lagi kegiatan mereka memecah perhatian publik. Ketika belasan muda-mudi itu selesai meniup instrumen Nanggroe Lon Sayang, tepuk tangan membahana, silih berganti dengan letupan ke angkasa.

“Lanjut lagi lah. Lagu lain lagi,” pinta seorang petugas polisi kepada mereka.

Tiba-tiba, seorang perempuan jatuh pingsan di kerumunan. Ia terkejut saat ledakan mercon besar, meletup tak jauh dari posisi dia berdiri. Oleh seorang kawan perempuannya, ia dipangku, dibawa entah ke mana.

Malam semakin larut. Satu jam telah berlalu di 2012. Kesibukan perlahan mulai surut. Jalanan masih padat. Kini; semua pengunjung berebut jalan pulang. Kembang api menghiasai langit Serambi Mekkah, mengalahkan seruan ulama yang melarang pesta pora menyambut tahun baru. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU