Friday, April 19, 2024
spot_img

Sekolah Kearifan Lokal

OKKE Neolaka, 9 tahun, baru saja mengganti seragam Pramukanya, saat bergabung dalam sebuah bangunan berdinding pelepah gewang (sejenis sagu) dan beratap ilalang.

Duduk bersimpuh di antara kerumunan, ia memulai aktivitas baru: memisahkan kapas dari biji-bijinya. Sementara yang lain, ada yang memintal, menggiling, mewarnai, juga menenun.

Sebelumnya, Okke juga ikut bagian dalam proses pembuatan minyak kelapa, mulai dari memarut, menggongseng, sampai memeras menjadi minyak.

Itulah kesibukan anak-anak dan kaum hawa di Boti Dalam, sebuah kompleks kerajaan terakhir (kampung adat)  di Pulau Timor, sekitar 60 kilometer dari ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, akhir Mei 2015.

Kerajaan Boti dipimpin Namah Benu (47), biasa dipanggil Bapa Raja. Pengikutnya menyebut Usif. Dia murah senyum. Secara adat, Bapa Raja memimpin 585 kepala keluarga atau 2.197 jiwa. Secara keyakinan, pengikutnya hanya 318 jiwa dengan 76 keluarga.

Orang Boti percaya pada Papa Langit (penguasa siang) dan Mama Bumi (penguasa malam). Tak ada ibadah dalam keyakinan ini. Hanya berkumpul tiap hari kesembilan, di kompleks kerajaan (Sonaf), untuk membicarakan solusi.

“Itu bentuk ibadah kami,” sebut Pah Sai, pengikut Bapa Raja. Sebagian Boti, menyebut keyakinannya adalah Halaika, sebagian menolak, karena Halaika artinya tidak punya tuhan atau kepercayaan.

Yang sudah memeluk agama, disebut Boti Luar. Antara kompleks kerajaan dan perkampungan hanya diberi batas pagar kayu.

Selain garam dan minyak tanah, semua kebutuhan (hidup) diproduksi sendiri. Pakaian ditenun dari kapas, minyak goreng dari kelapa, bertani dan berternak merupakan tradisi mereka.

Oke Neoloka warga Boti
Oke Neoloka warga Boti

Boti juga melarang menebang, kecuali pohon yang sudah mati. “Untuk membangun rumah, hanya kasuari dan pohon merah yang boleh,” ungkap Pah Sai.

Bila Baduy Dalam di Banten juga Samin di Jawa Tengah tak pernah mengirim anak-anaknya ke sekolah formal, Papa Raja dan pengikutnya memilih jalan tengah: sebagian anak-anak diizinkan bersekolah, sebagian lagi dididik sendiri, untuk meneruskan adat dan tradisi.

“Kalau misalnya dalam satu keluarga, mempunyai empat anak, dua orang anak kami sekolahkan, dua orang mempertahankan adat,” Papa Raja mengungkapkan.

Sebagai pemimpin, dia khawatir kelangsungan masa depan kerajaannya, bila semua dikirim ke sekolah  “Mereka sekolah dan pintar, namun tidak lupa budaya, itu tidak masalah. Tapi kalau sekolah dan terpengaruh lingkungan di kota, dia bisa lupa dengan budaya yang ada.”

Walau demikian, Papa Raja mendukung semua aktivitas pendidikan dan keagamaan di wilayahnya. Bahkan sekolah SD dan SMP Satu Atap di Kampung Boti, dibangun di tanah yang disediakan Papa Raja, begitu juga gereja tempat ritual warga Boti Luar.

“Kami mendukung pendidikan untuk generasi ke depan, maka kami harus saling membantu untuk membangun,” ungkap Papa Raja.

Mereka juga tidak mengintervensi urusan di sekolah, padahal Okke Neolaka dan anak-anak Boti Dalam dididik berdasarkan keyakinan yang dianut Boti Luar.

“Di sini (sekolah) kami ajarkan mereka doa dalam agama Kristen. Nanti di Sonaf baru diajarkan berdasarkan keyakinan mereka,” kata Sefnat Tabun, guru Bahasa Inggris.

Sementara pengikut ajaran Samin (Sedelur Sikep) di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah, sama sekali tak berkompromi untuk mengirim anak-anaknya ke sekolah. Mereka memilih mengajar sendiri. Kejujuran, berbuat baik, bertani dan menjaga alam, pengetahuan utama yang ditanam pada setiap generasi Samin.

Samin merupakan tokoh perlawanan terhadap penjajahan Belanda, dengan nama lahir Raden Surowijoyo (1859). Setelah sempat ditangkap, dia mengubah namanya menjadi Ki Samin Surosantiko. Pada 1890, Samin dan pengikutnya menolak tunduk pada aturan Belanda, termasuk soal upeti.

Untuk bisa baca tulis dan berhitung, pengikut ajaran Samin mengajar sendiri anak-anaknya di rumah. Seperti yang dilakukan Gunarti (40) terhadap ketiga putra-putrinya.

Gunarti bersama putra putrinya
Gunarti bersama putra putrinya

Dia menyediakan papan tulis juga buku-buku bergambar untuk ketiga anaknya. Setiap malam, sebelum tidur mereka belajar bersama.

“Kata leluhur kami, tujuan pendidikan bukan agar pintar, yang penting ngerti, kalau pintar bisa digunakan untuk memperdaya atau menipu,” ungkap Gunarti.

Tidak menyekolahkan anak-anaknya juga menjadi tradisi warga Baduy Dalam, di Lebak, Banten. Baduy hanya mengajarkan generasinya hidup selaras dengan alam. Bercocok tanam adalah pelajaran utama bagi orang Baduy.

Seperti yang diterapkan Sapri (49) terhadap delapan anaknya. Sama seperti warga Baduy Dalam lainnya, pemeluk keyakinan Sunda Wiwitan ini sejak dini diajarkan berpikiran bersih, berbuat baik, jujur, juga amanah. Hal itu bagian dari ritual ibadah mereka.

Namun, tiga anak lelaki  Sapri; Aldi (25), Asep (15), dan Komong (9), yang sering diajak memandu wisata ke Kampung Baduy, mencoba akrab dengan alfabet dan angka-angka. Mereka suka mengeja dari tulisan-tulisan pada koran bekas bungkus gorengan atau sejenisnya.

“Kami diajar oleh tamu, kadang kami juga bertanya,” begitu terang Aldi.

Aldi Dan Komong warga Baduy Dalam
Aldi Dan Komong warga Baduy Dalam

Baduy Dalam juga masih berpegang teguh pada tradisi: tidak menggunakan alas kaki, kendaraan, memelihara ternak –kecuali ayam.

Dilema klasik juga dihadapi banyak keluarga petani di Indonesia, ketika dihadapkan pada pilihan untuk mengirim anaknya ke sekolah formal atau mendidiknya di ladang untuk membantu aktivitas ekonomi.

Seperti yang terjadi di kelas jauh SDN 7 Biluhu, di Dusun Mohungo, Desa Biluhu Timur, Kecamatan Batudaah Pantai, Kabupaten Gorontalo.

Dusun tersebut hanya dihuni 38 keluarga. Sebelum ada kelas jauh, hampir tak ada anak-anak yang sekolah karena jarak dengan SD terdekat sekitar tiga kilometer dan medan pegunungan.

Baru pada 2012 satu ruangan kelas jauh itu ada, dibangun di atas tanah wakaf dan kayu sumbangan warga. Sedangkan pemerintah membantu seragam, buku, dan dua guru yang bergantian datang.

Sementara siswanya sampai kelas 3 saja, diajarkan bergantian oleh guru yang sama. Siswa kelas satu duduk paling depan, sementara kelas 3 paling belakang.

Walaupun begitu, hanya separuh dari murid kelas jauh ini yang melanjutkan ke kelas 4 di SD induknya.
“Banyak yang tidak (meneruskan), karena yang penting sudah bisa baca, tulis, dan berhitung. Karena warga di sini sebagian besar bertani,” ujar Kepala Dusun Mohungo, Husin Dini, yang beranda rumahnya pernah disulap jadi kelas darurat.

Total jumlah siswa SD ini hanya 21 orang,  bahkan ada dua siswa kelas 3 yang usianya sudah 20 tahun. Itu pun hanya sekadar bisa membaca, menulis, dan berhitung.

Menurut rilis UNICEF tahun 2015, sedikitnya 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan, terdiri atas 600 ribu anak usia SD dan 1,9 juta usia SMP.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2015 mencapai 7,56 juta orang, bertambah 320 ribu jiwa dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Pengangguran didominasi lulusan SMK 12,65 persen, disusul SMA sebesar 10,32 persen, Diploma 7,54 persen, Sarjana 6,40 persen, SMP 6,22 persen, dan SD ke bawah 2,74 persen.

Pemicunya, kata Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenaga Kerjaan BPS Razali Ritonga, jumlah angkatan kerja yang terus meningkat sedangkan daya serap tenaga kerja melemah. Jumlah angkatan kerja pada Agustus 2015 bertambah 510 ribu orang menjadi 122,38 juta, dibandingkan Agustus 2014 yang sebanyak 121,87 juta jiwa.

Siswa Siswi SMA 10 Batam Pulau Galang
Siswa Siswi SMA 10 Batam Pulau Galang

Di SMA 10 Batam, di Pulau Galang, Kepulauan Riau, yang mayoritas penduduknya nelayan dan berkebun sayur, dari 70 siswa, hanya ada satu orang yang bercita-cita sebagai nelayan. Padahal laut merupakan halaman yang menyediakan semua kebutuhan mereka.

“Saya ingin punya kapal yang besar agar bisa menampung orang-orang dan membuat lapangan pekerjaan, tanpa menunggu bantuan dari pihak luar,” kata siswa Kelas 3 SMA 10 Batam, Oktober tahun lalu.

Suatu yang ironis, bila pendidikan menciptakan pola pikir bahwa pekerjaan hanya ketika diterima jadi buruh pada industri atau instansi pemerintah.

Sebuah riset oleh LinkedIn terhadap 8.000 orang di pelbagai negara menunjukkan, 30,3% orang saat ini memiliki pekerjaan yang sesuai atau berhubungan dengan cita-cita di masa kecilnya. Sedangkan 34,1% lainnya masih bermimpi memiliki pekerjaan yang diinginkan ketika masa kanak-kanak

Walau tak pernah sekolah, generasi Boti, Samin, dan Baduy tak menjadi pengangguran, kearifan adatnya memproteksi pola pikir sebagai pencari kerja atau menjadi masyarakat urban. []

SUPARTA ARZ

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU