Friday, December 13, 2024
spot_img

Sekilas tentang Ekspedisi Indonesia Biru

EKSPEDISI ini dinamai demikian bukan karena dua pertiga wilayah Indonesia adalah laut, atau karena memiliki 52.000 km garis pantai yang menjadikannya terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Apalagi dikaitkan dengan visi kemaritiman presiden baru.

“Biru” adalah konsep sosial yang dikenalkan oleh cerdik pandai bernama Gunter Pauli asal Belgia, namun sesungguhnya sudah lama berkembang di Nusantara.

Dia tampaknya asal menyebut warna sebagai ganti “Ekonomi Hijau” yang menurutnya justru makin mahal. Produk pertanian organik atau mebel yang dianggap ‘hijau” atau bersertifikasi ramah lingkungan, harganya justru tak terjangkau orang kebanyakan.

Apalagi pada beberapa kasus, “ekonomi hijau” justru menimbulkan masalah baru seperti konflik masyarakat dan kepentingan konservasi. Kisah nelayan yang ditembak di sekitar Taman Nasional Komodo atau yang dikriminalisasi karena mengambil kepiting di Taman Nasional Ujung Kulon, adalah misal.

Melampaui itu semua, ekonomi biru mengajak berhenti berpikir tentang globalisasi, sentralisme, dan penyeragaman, serta mulai mengembangkan sumber daya lokal, meretas ketergantungan, dan mengubah aturan main di pelbagai sendi kehidupan.

Masyarakat Miangas yang tadinya dapat bertahan dengan talas, terpaksa tergantung pada beras yang pasokannya bisa berhenti hanya karena ombak besar di perairan utara Sulawesi.

Bila masyarakat tunduk pada “aturan main” bahwa rumah yang baik adalah bangunan beton permanen —sehingga penggerusan sumber air warga Kendeng untuk membangun pabrik semen menjadi keniscayaan dan harga sahamnya meningkat —maka selama itu pula selalu ada yang kalah dan menang. Apalagi, tak selamanya kebijakan publik berpihak pada orang ramai.

Mengubah “aturan permainan” adalah mengubah pola pikir bahwa masyarakat Indonesia sejatinya tinggal di zona gempa bumi, sehingga bangunan rumah beton permanen justru bisa menjadi mesin pembunuh. Permintaan bahan bangunan yang lebih pantas meningkat seharusnya malah bambu, yang lebih aman dan tidak mengorbankan sumber mata air untuk membangun pabrik semen.

Cerdik pandai lain yang mengilhami perjalanan ini adalah ekonom Inggris, EF Schumacher yang menulis ‘Small is Beautiful: A Study of Economics as if People Mattered’ yang dipublikasikan tahun 1973. Lagi-lagi gagasan ini sudah lama hidup di Nusantara. Idenya, jangan membuat repot diri sendiri dengan segala sesuatu yang besar, padahal yang kecil dan tepat guna, jauh lebih bermanfaat. Memulai usaha tak harus repot mencari pinjaman modal atau kredit, misalnya.

Mangut lele Mbah Marto di Yogyakarta tak membuka cabang, meski surplus pembukuannya memungkinkan untuk itu. Sama dengan warung “itiak lado mudo” di Bukittinggi, Sumatra Barat yang rata-rata beromzet 25 juta rupiah per hari.

Mbah Marto membuka warung rumahannya menjelang makan siang, dan tutup begitu hidangan habis. Tak ada shift dua atau shift tiga di dapurnya. Di Lumajang, Jawa Timur, ada warung rujak cingur yang tutup setelah terjual 60 bungkus. Tak peduli masih ada antrean pembeli.

Tak ada ekskalasi produksi atau ekspansi untuk meningkatkan kekuatan pasokan guna merespon demand yang terus meningkat. Tak ada produksi massal, tak ada beban bunga kredit, dan tak ada isu perburuhan.

Gagasan-gagasan ini bukan anti-pertumbuhan atau kemajuan. Tapi gagasan ini jelas tak disukai pemuja globalisasi dan modal besar. Sebagian akan dianggap klenik. Sebab Nusantara memang menyimpan ribuan kearifan yang dibalut lewat mitos atau tabu. Ini adalah bagian dari gagasan “mengambil seperlunya dari alam” seperti yang dilakukan masyarakat di pulau Enggano (Bengkulu) pemakan penyu di perayaan-perayaan tertentu atau masyarakat pemburu paus untuk konsumsi di Lamalera.

Apakah mereka dianggap lebih kejam dari industri perkebunan kelapa sawit atau kertas? Atau penyedia air minum dalam kemasan dan penambang batu bara?

Hutan larangan di Baduy, Banten, adalah contoh lain bagaimana konservasi pada hutan primer dibungkus dengan kesakralan adat, atau masyarakat Ciptagelar yang tidak memperdagangkan padi dengan balutan ‘mitologi’ yang menutupi ide besar tentang konsep ketahanan pangan.

Ekspedisi ini ingin merekam dan mendokumentasikan semua itu sebagai bagian dari ingatan kolektif bangsa Indonesia. Agar kita dan generasi baru nanti dapat belajar. Tak perlu selalu setuju. Tapi setidaknya ada percakapan publik dan bahan pengetahuan baru. Bila memang ini tugas media atau jurnalis, kami pun menyebutnya “backpack journalism”.

Meski kami tak selalu bisa konsisten melakukannya.

OUTPUT
Karena percaya pada sumber daya sendiri, kami pun tidak melibatkan sponsor dari pihak mana pun, dan hanya mengandalkan tabungan serta dukungan dari para sahabat yang membantu akomodasi dan logistik di sepanjang perjalanan. Ini adalah kerja gotong royong.

Kami memulai dari Jakarta 1 Januari 2015 dan akan kembali pada 31 Desember 2015, dengan produksi enam film dokumenter dan enam video perjalanan yang dapat diakses di kanal “Watchdoc Image” di Youtube. Tentu itu belum semua.

Ada 12 terrabyte materi video dan foto yang akan menjadi bagian dari pengetahuan milik bersama, yang pada saatnya nanti akan dipublikasikan.

ARTI LOGO
Warna biru menggambarkan misi ekspedisi. Mewakili perspektif warna planet Bumi di jagad raya. Bumi adalah planet yang mandiri. Ia bisa bertahan dengan apa yang ia miliki, serta mendaur ulangnya untuk kelangsungan hidup. Ia lestari atau berkelanjutan by default.

Ia bukan planet yang besar. Karena memang tidak dibutuhkan skala untuk dapat menopang kehidupan. Demikianlah mestinya sistem ekonomi dan produksi. Justru pada ukuran planet Bumi lah, kehidupan dapat terjadi. Setidaknya pada sistem tata surya kita.

Gambar sepeda motor menunjukkan bagaimana kami melakukan ekspedisi ini. Diambil dari siluet jenis motor bebek 125 cc keluaran tahun 2003 dan 2005 yang kami pakai.

Garis tebal ‘U turn’ kuning untuk huruf ‘U’ melambangkan semangat putar arah atau putar haluan. “Mengubah aturan main,” kata Gunter Pauli.

Dan kami percaya konsep pembangunan harus diubah agar kita mewarisi filosofi planet biru bernama Bumi.

Putarannya juga menunjukkan arah ‘Utara’ dalam bahasa kompas. Meminjam Pramoedya: Arus Balik.

Kalau lambang itu Anda balik dan lipat-gandakan (soal skala dan akumulasi), maka akan mirip ikon kapitalisme fast food, dan menuju ke selatan khatulistiwa. []

DANDHY | SUPARTA

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
25,100SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU