RAINGOT Sabeuleleu (70) dan Bettli Siritoitet (60) sedang mengumpulkan sedikitnya 10 jenis tanaman obat di hutan Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, untuk menyembuhkan Donatus Sama Poupou yang mengeluh sakit telinga dan kepala.
Para sikerei (dukun/tabib) ini hanya mengambil tanaman liar dan bukan tanaman budidaya atau yang sengaja ditanam di halaman seperti apotek hidup.
“Semua tanaman yang kami butuhkan sekarang ini masih ada di hutan,” ujar Raingot (foto 1, kiri).
Proses pengobatan dilakukan melalui ritual “turuk lajo” atau tarian yang menirukan gerakan-gerakan burung elang.
Desa Madobag sendiri menjadi salah satu dari tiga desa yang digadang-gadang oleh pemerintah setempat untuk pembangkit listrik tenaga biomassa bambu.
Energi terbarukan ini rencananya berkapasitas 1 Mega Watt, namun membutuhkan areal 300-500 hektare untuk menanam bambu.

Selama ini, warga mengandalkan panel surya bantuan untuk 1-2 bola lampu, atau mengusahakan genset sendiri bagi yang mampu membeli bensin antara 14-35 ribu rupiah per liter. PLN sendiri baru melayani rata-rata 35 persen warga Kepulauan Mentawai
Meski energi terbarukan adalah konsep yang ramah lingkungan dan cocok dengan konsep mandiri energi untuk daerah kepulauan seperti Mentawai, namun sejumlah pihak mengkhawatirkan kebutuhan lahan untuk bambu yang mengancam lahan untuk tanaman pangan dan obat-obatan.
Apalagi, pernah ada pengalaman proyek sawah di lahan gambut di Pulau Siberut yang gagal, sementara hutan dan tanaman sagu kadung tumpas.
Energi alternatif lain yang dapat dikembangkan di Kepulauan Mentawai adalah mikrohidro, angin, dan gelombang laut. []
DANDHY LAKSONO | SUPARTA ARZ