Friday, April 26, 2024
spot_img

Perajin Rotan di Kampung Bekas Tsunami

MATAHARI pagi masih enggan menampakkan cahaya saat Taswiyah tiba di gubuk di pinggir jalan lintas Banda Aceh-Meulaboh. Di gubuk itu, tumpukan rotan tersusun rapi. Saban pagi, perempuan 47 tahun itu meraut rotan-rotan itu untuk dijadikan aneka kreasi: tudung saji, vas bunga, topi, keranjang, keranjang parsel, dan guci.

A. Setyadi/ACEHKITA.COM
A. Setyadi/ACEHKITA.COM
Taswiyah telah lama menggeluti usaha ini sehingga tak heran jika jari-jarinya lincah menyusun rotan-rotan yang telah dibelah-belah itu. Bak mengayam tikar, ia mengayam rotan-rotan kecil menjadi tudung saji beragam bentuk dan ukuran.

Membuat tudung harus ditekuni dengan ulet dan sabar. Dibantu putrinya, Taswiyah memilah rotan pilihan agar memperoleh hasil yang berkualitas tinggi. Rotan pilihan itu kemudian dijemur selama dua hingga tiga hari. Ritual ini dilakukan agar tudung saji yang dihasilkan tidak cepat renggang.

Setelah kering, rotan itu dibelah kecil-kecil dan diraut agar menghasilkan rotan yang halus dan bersih. Langkah selanjutnya, rotan berukuran kecil dianyam dan jadilah tudung saji yang cantik beraneka ragam. Satu tudung saji menghabiskan 3,5 kilogram rotan.

Taswiyah memasarkan tudung saji buatannya di depan gubuknya di Desa Kueh, Keude Bieng, Aceh Besar atau di jalur lintasan Banda Aceh-Meulaboh. Per hari, ia bisa menjual satu hingga dua tudung saji.

“Tapi kalau hari Minggu itu bisa lebih. Kalau hari Minggu bisa terjual hingga Rp1 juta perhari,” kata Taswiyah kala ditemui acehkita.com, akhir Januari lalu.

Ia memilih tak memasarkan hasil kerajinan tangannya kepada agen. Sebab, memasarkan sendiri tudung saji itu lebih menguntungkan ketimbang menjual kepada agen. Dari tudung saji yang laku, ia bisa meraup untung antara Rp50 ribu hingga Rp80 ribu per tudung saji.

Kreasi Taswiyah lumayan beragam. Ada pula yang terbuat dari rotan bulat, selain dari rotan belah. Untuk yang berbahan baku rotan bulat, harganya lebih mahal, mencapai Rp180 ribu. Sedangkan rotan belah hanya Rp120 ribu paling mahal.

“Kalau rotan bulat lebih awet. Tahan lama, meski diinjak oleh anak kecil. Tidak akan patah,” sebut Taswiyah.

***

A. Setyadi/ACEHKITA.COM
A. Setyadi/ACEHKITA.COM
TASWIYAH bukan seorang diri berprofesi sebagai perajin rotan di Desa Kueh, Kecamatan Lhoknga. Perempuan-perempuan desa tersebut secara turun temurun telah menekuni kerajinan rotan. Sehingga, jika bertandang ke kawasan Keude Bieng itu, akan dijumpai hasil kerajinan mereka yang dipajang di pinggir jalan.

Kerajinan rotan telah menjadi denyut nadi perekonomian warga Kueh, selain bertani dan berkebun. Usaha kerajinan rotan ini diwariskan secara turun temurun, dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

“Saya belajar dari orang tua saya,” kata Taswiyah. “Kami tidak pernah mendapat pelatihan dari pemerintah.”

Karenanya, kreasi kerajinan mereka pun kadang-kadang sangat terbatas. Padahal, seperti diakui Taswiyah, pelatihan lanjutan mengenai kerajinan ini sangat dibutuhkan para perajin di sana. Menurut Taswiyah, pelatihan ini dibutuhkan agar produksi olahan rotan mereka bisa bersaing dengan produk lainnya.

Para perajin rotan juga membutuhkan bantuan modal. Sebab, selama ini mereka kekurangan modal sehingga tidak bisa memproduksi kerajinan rotan dalam partai besar.

Meski olahan rotan mereka diminati, tapi tak jarang para perajin dihimpit kekurangan modal. Bahkan, ada usaha yang terancam gulung tikar. Agar usaha tetap bertahan, Taswiyah bersama warga lainnya terpaksa meminjam modal dari sejumlah bank yang ada di Aceh.

Modal itu mereka pergunakan untuk membeli bahan baku dari pedagang rotan. Mereka lebih memilih meminjam modal di bank dari pada di Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Alasannya, “di bank bunganya sedikit, ketimbang di PNPM Mandiri,” ungkapnya.

Taswiyah memulai usaha rumahannya berawal dari dana pinjaman dari bank. Bermodal pinjaman Rp30 juta dari Bank Mandiri, Taswiyah menggunakan uang itu untuk merehab rumah yang rusak akibat tsunami delapan tahun lalu dan merintis usaha kerajinan rotan.

“Kami mengharapkan modal yang tidak harus dikembalikan. Kalau pinjam modal di bank setiap akhir tahun harus setor,” harapnya.

Bukan tak mungkin, kata Taswiyah, para perajin rotan di desanya bakal bertumbangan akibat kekurangan modal. Atau, bak kata pepatah, hidup segan mati tak mau. Padahal, “ini mendongkrak ekonomi masyarakat kecil di sini.” []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU