BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Program pemantauan media di Indonesia dipandang harus berjalan secara simultan. Organisasi pers mempunyai peran strategis untuk memantau media untuk menyehatkan pemberitaan dan memenuhi hak publik.
Hal itu disampaikan anggota Dewan Pers Agus Sudibyo pada Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Rabu (21/03). FGD digelar untuk mengekspos hasil pemantauan terhadap 18 media yang dilakukan AJI dalam sebulan terakhir.
Agus menilai, selama ini sangat sedikit lembaga yang melakukan pemantauan media. “Saya kira, untuk memantau media, bukan hanya tugas AJI sebagai organisasi pers, tapi harus sinergi secara bersama-sama dengan organisasi lain,” ujar Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers.
Menurut Agus Sudibyo, selama ini telah berlangsung pendataan (coding) terhadap pemberitaan syariat Islam di Aceh. AJI Banda Aceh telah menemukan pemberitaan yang cenderung melabrak etika, sehingga Kode Etik Jurnalistik yang menjadi acuan bisa dipertanggungjawabkan.
Mukhtaruddin Yacob, manager program “Pemantauan Berita Syariat Islam” AJI Banda Aceh, mengatakan, kondisi kualitas pemberitaan syariat Islam di Aceh selama ini belum menggembirakan.
“Pemberitaan media massa terhadap isu syariat Islam cenderung pada hal-hal yang negatif, sehingga memunculkan stigma menyeramkan,” kata Mukhtar.
Ia mencontohkan, ada media yang menulis judul “Mansur Garap ‘Lahan Tidur'”. Lahan tidur yang dimaksud dalam berita itu adalah janda. “Apa hubungannya janda dengan lahan tidur?” ujar Mukhtar.
Di sisi lain, media juga mencitrakan negatif perempuan yang diduga melanggar syariat. “Ada penyebutan janda jablai (jarang dibelai). Lalu apakah si wartawan pernah mewawancarai janda tersebut, sehingga disimpulkan jablai?” sebut mantan ketua AJI Banda Aceh itu. []