Friday, May 3, 2024
spot_img

Para Penjaga Ulu Masen

Setelah lama menguras hutan, eks pasukan dan para pembalak itu, kini beralih kerja menjadi penjaga Ulu Masen. Harapan keselamatan gunung di bagian utara Aceh itu kini sebagaian berpangku di pundak mereka.

***

MENGENAKAN kostum lengkap ala tentara, –tanpa senjata dengan carrier menggunung– 18 anggota Jantho Ranger menempuh perjalan dalam kelebatan hutan, sekitar satu bulan lalu. Dipimpin sang komandan, Mulyadi, mereka mulai bergerak perlahan. Tujuan kali ini adalah patroli monitoring hutan.

Perjalanan operasi hari itu tidak sia-sia. Setelah menempuh perjalanan jauh dari Jantho, mereka berhasil memergoki pelaku perambahan hutan di pegunungan Panca, Lembah Seulawah, sekitar 20 kilometer dari Kota Jantho.

“Saat itu kita kasih pangarahan tentang akibat dari kerusakan hutan, dan mereka menerima pengarahan kita dengan baik,” kata Mulyadi, Komandan Jantho Ranger, yang dijumpai di Jantho, Sabtu pekan lalu.

Ranger, merupakan organisasi yang dibentuk Fauna & Flora International (FFI) Aceh Programme, untuk menjaga, dan melindungi hutan Aceh, khususnya Hutan Ulu Masen. Setiap bulannya, para ranger selalu berpatroli monitoring hutan di wilayah kerja masing-masing.

“Kita rutin melakukannya di kawasan Hutan Jantho,” ujar Mulyadi. Selain melakukan monitoring, Mulyadi bersama ‘pasukannya’, juga harus menangani konflik satwa, yang belakangan sering terjadi di Aceh.

“Kami pernah turun ke Lhong saat konflik satwa, untuk mendata berapa korban, dan titik koordinat kejadian,” tambah mulyadi.

Pembentukan ranger diinisiasi sejak moratorium logging yang dicanangkan oleh Pemerintah Aceh, 2007 silam. Mereka yang direkrut adalah masyarakat wilayah kemukiman dari tempat ranger itu bekerja, sehingga ranger yang dipilih dari masyarakat bisa bekerja kembali untuk masyarakat.

“Kita mempekerjakan mereka yang bekas kombatan, pemuda, bisa juga mantan logger (pembalak liar). Dalam hal ini kita juga mengajak polhut, dan instansi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap hutan,” kata Matthew Linkie, Tehnical Manager FFI-Aceh, yang dijumpai dikantornya, akhir November lalu.

Karena direkrut dari masyarakat, diharapkan para ranger bisa memberi dampak positif secara langsung kepada masyarakat. Selama ini, kata Linkie, apabila terjadi konflik satwa gajah, maka masyarakat akan memburu gajah tersebut. Padahal, ada undang-undang yang melindungi gajah, sebagai satwa yang terancam punah.

“Salah satu kerja Ranger adalah menyelamatkan satwa. Jadi kita membuat program semacam pemberdayaan untuk warga, agar mereka ada kesibukan, dan tidak lagi memotong kayu. Jadi habitat gajah dan satwa lainnya tidak terganggu,” ujar Linkie lagi.

Sebelum Ranger dibentuk, masyarakat mengatakan, banyak terjadi kegiatan illegal loging di pegunungan, khususnya Jantho. Seperti yang diceritakan Munzir, warga Jantho Baru. Ia mengisahkan, sekitar beberapa tahun yang lalu, aktifitas perambahan hutan yang terjadi di pegunungan Jantho begitu parah. Akibatnya satwa liar turun hingga ke perkampungan penduduk.

“Kami merasakannya secara langsung akibat dari illegal logging itu. Harimau turun ke pinggiran gampong. Malah pernah naik ke kandang saya,” kata Munzir.

Keberadaan ranger, memang dirasakan langsung oleh para penduduk. Di Jantho, perambahan hutan mulai berkurang, bahkan bisa dikatakan tidak lagi terjadi.

“Kita rutin melakukan kegiatan monitoring di kawasan hutan Jantho. Illegal loging untuk saat ini sudah sedikit berkurang, bahkan sejak kita melakukan monitoring, kita sudah jarang menemukan bekas illegal loging yang baru. Mungkin ini bentuk kesadaran dari masyarakat,” kata Ibrahim, Anggota Divisi Monitoring Jantho Ranger, 12 November lalu.

Pernyataan Ibrahim, ikut diperkuat Mulyadi. Dia menyebutkan, setiap melakukan operasi, timnya, sudah sangat jarang menjumpai logger, karena pelaku illegal logiing tersebut sudah sangat sulit bisa diketemukan di pegunungan Jantho, khususnya.

“Untuk para tukang angkut kayu ada kita jumpa, tapi logger sudah nggak jumpa lagi. Karena di kota Jantho ini sudah sangat berkurang sudah.”

Mulyadi juga menyebutkan, kondisi hutan Jantho sebelum dibentuknya Community Ranger, rusak berat. Setelah adanya ranger, hutan mulai aman dari suara mesin chain saw. “Penyebab lain, dulu masyarakat membuka lahan berpindah-pindah. Kita kasih sosialisasi, sehingga masyarakat tidak lagi berpindah-pindah, dan menetap di satu lahan saja,” kata Mulyadi.

Panyebab konflik satwa, seperti dikatakan Mulyadi, akibat habitatnya dalam hutan yang sudah rusak. “Makanan pun sudah habis, sehingga dia turun ke gampoeng cari makan. Yang kita lakukan bila jumpa dengan pemburu satwa, memberi tahu, jangan terlalu sering memburu rusa yang merupakan makanan satwa seperti harimau di hutan. Kalau nggak, ya dia cari di gampong, sasarannya ya punya masyarakat.”

Mahdi Ismail, Coordinator Community Ranger FFI menjelaskan, organisasi yang dibentuk ditingkat kemukiman ini diharapkan bisa mengkaderkan masyarakat, agar pro terhadap konservasi. “Awalnya kita merekrut ranger dari mereka yang mendapatkan manfaat langsung dari pembalakan liar,” kata Mahdi.

Jadi, sebagian anggota ranger, merupakan mereka yang eks kombatan, dan mereka yang pernah terlibat langsung dengan aktivitas perambahan hutan. “Secara tidak langsung, mereka tidak kembali kepada pekerjaannya yang lama. Secara signifikan sudah terkurang lagi aktifitas illegal logging,” ucap Mahdi.

Dengan membina para pembalak hutan menjadi penjaga, otomatis tingkat kerusakan Ulu Masen bisa lebih kecil, “Jadi setelah kita rekrut, kita bina mereka, dan mereka mulai melakukan eduaksi-edukasi yang sifatnya kecil terhadap orang tua, kerabat, dan keluarga-keluarga mereka. Minimal kita mengharapkannya kesana. Setidaknya pembalak hutan ini sudah menjadi ranger, dan kita memberikan edukasi secara kontinyu,” kata Mahdi.

Walau bekerja sebagai aktivis lingkungan yang bertugas menjaga hutan, kerja ranger berbeda dengan polisi hutan (polhut). Ranger tak punya kuasa untuk menindak para logger (pelaku illegal logging). “Apabila mendapati pekerja yang menurunkan kayu, maka kita hanya bisa memberikan nasihat saja, dan tidak menindak,” kata Mulyadi.

Timnya, seperti kata Mulyadi, juga kontinyu melakukan operasi setiap bulan. Untuk sekali patroli, Comunnity Ranger menghabiskan waktu 5, sampai 10 hari ditengah hutan. Mereka menempuh jarak 45 kilometer, dengan berjalan kaki.

“Kita memberi penyadaran. Kalau polisi hutan bisa langsung menangkap,” sebut Mulyadi. Apabila sudah diberikan pengarahan sekali, tapi terulang, maka ranger hanya berhak melaporkan kepada pihak berwajib, untuk menanganinya.

Waktu mendekati malam. Sayup-sayup lantunan ayat suci terdengar dari Jalin, sekitar satu kilometer dari markas Jantho Ranger. Aktifitas mulai sepi. Beberapa ranger terlihat memberi umpan kambing, sebuah usaha pemberdayaan perekonomian yang dijalankan ranger, disokong FFI. Disisi kandang kambing, sebuah tempat pembibitan tampak tegak berdiri. Disanalah para ranger menanam bibit pohon, untuk meneyemai gunung Jantho dari kerusakan.

“Kita ingin organisasi ini independen. Independen baik dalam bekerja untuk konservasi, maupun dalam segi perekonomiannya. Kita mensupport skill konservasinya, dan juga yang kita sebut lifelihood (pemberdayaan ekonomi),” kata Mahdi Ismail.

***

WILAYAH hutan Ulu Masen menyimpan kekayan yang beragam. Dihutan seluas 738.856 Ha. Ini, terdapat hampir 2000 spesies burung, termasuk 20 endemik Sumatera, dan 6 endemik Aceh. Selain itu, di hutan yang terletak di Pegunungan Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, dan Pidie Jaya ini, juga terdapat sekitar 773 binatang amphibi dan reptil. Sayangnya, seperti dituliskan dalam buku Selayang Pandang Hutan Aceh, seluruh jenis binatang tersebut hidup dalam keterancaman, akibat banyaknnya pelaku illegal logging yang terjadi.

Sebagai salah satu suksesor penjaga hutan, sampai saat ini, Comunity Ranger sudah terbentuk di empat kabupaten, untuk melindungi semua satwa tersebut dari kepunahan. Di Aceh Besar diberi nama Jantho Ranger, Aceh Barat, dengan Kreung Bajikan Ranger, Purba Ranger di Aceh Jaya, dan Blang Raweu Ranger di Pidie. Hingga kini, jumlah ranger di empat kabupaten tersebut adalah 73 anggota, ditambah, 10 personil Training Of Trainer (TOT).

“Keinginan kita, pada tahun depan akan kita buat persemaian. Kita akan ajak masyarakat untuk menanam pohon yang sudah gundul di kawasan pegunungan kita. Sehingga untuk ancaman banjir dan langsor akan berkurang. Karena sekitar 2 juta penduduk aceh sangat bergantung pada keberadaan hutan Ulu Masen, yang menyediakan pasokan air bersih untuk pertanian, maupun hutannya untuk mencegah terjadinya longsor,” demikian yang menjadi harapan Mulyadi dan ranger lainnya. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU