Thursday, May 2, 2024
spot_img

OPINI | Punk, Emang Menyimpang?

DALAM sepekan terakhir, Aceh kembali mendapat sorotan. Bukan karena konflik atau hukum cambuk, tapi soal penangkapan anak-anak punk. Penangkapan anak-anak punk yang dilakukan satpol PP dan Polisi memunculkan kontroversi. Pemerhati HAM mempertanyakan tindakan pemerintah daerah dan polisi setempat menertibkan mereka. Media pun turut nimbrung menyoal langkah pemda dan polisi menangkap hingga menggunduli para anak punk.

Punker digunduli di SPN Seulawah. | FOTO: Chaideer Mahyuddin/ACEHKITA.COM
Sontak tindakan polisi mengirim para punkers ke Sekolah Polisi Negara (SPN) Seulawah, Aceh Besar, memancing beragam tanggapan. Kapolda Aceh Inspektur Jenderal Iskandar Hasan pun harus menjelaskan kepada DPRA ikhwal langkahnya bersama Pemerintah Kota Banda Aceh. Dalam waktu bersamaan, beberapa Kedutaan Besar asing di Jakarta juga harus menelpon Iskandar menanyakan alasan yang jelas, karena dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM).

Namun, Kapolda tak bergeming jika tindakannya sudah benar, apalagi dikaitkan dengan kondisi daerah Aceh yang memberlakukan syariat Islam. Kapolda berpendapat, tindakan punk adalah menyimpang dari norma masyarakat dan adat di Aceh. Penertiban ini mendapat dukungan MPU Aceh dan simpati warga masyarakat.

Pemerhati HAM dan media asing merasa terusik dengan tindakan ini. Solidaritas terhadap punk pun di-blow up dari berbagai daerah bahkan dari luar negeri. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Moskow, Rusia, seperti dikutip acehkita.com, Ahad (18/12), jadi sasaran kemarahan akibat tindakan polisi Indonesia. Demikian juga dengan komunitas punk ibukota yang prihatin dengan tindakan polisi di Aceh memperlakukan rekan mereka.

Pola pembinaan yang dilakukan Polda dan Pemko Banda Aceh di SPN adalah biang dari masalah yang mendapat banyak sorotan. Mereka mempersoalkan pembinaan di SPN adalah bentuk teror mental secara tidak langsung. Selayaknya, mereka dimasukkan dalam ranah dayah atau pesantren yang langsung mendapatkan pendidikan agama. Namun polisi beralasan, kondisi mental mereka terlanjur menyimpang sehingga mendapat pembinaan mental baru dibekali ilmu agama.

Yang mencemaskan adalah adanya perilaku menyimpang seperti kebiasaan kumpul yang menjurus pada hal-hal yang negatif. Nah perilaku ini dikhawatirkan “menular” pada generasi muda di Aceh. Tanpa pengaruh punk saja, kondisi moral generasi Aceh saat ini sudah lampu kuning. Konon pula setelah kelompok punk dibiarkan subur di tanah syariat.

Siapa pun boleh berpendapat bahkan beda pendapat. Persoalannya sekarang, siapa yang harus bertanggungjawab terhadap anak punk. Anak punk tidak diposisikan sebagai tertuduh, apalagi terhukum. Sebagai manusia, mereka butuh pembinaan dan arahan. Namun, protes dan komplain tidak selamanya melahirkan solusi. Maka, yang paling penting sekarang bagaimana mencari solusi menghadapi fenomena punk di Aceh.

Sebagai daerah yang teguh berpegah pada nilai agama dan budaya islami, selayaknya tidak menyuburkan adanya keganjilan dalam masyarakat. Anak punk dalam kondisi normal sangat tidak lazim berkembang pesat di Aceh.

Meminimalisasikan punk adalah satu dari tugas penting memberangus tindakan menyimpang, bukan hanya sekadar mengurus punk. Karena masih banyak perilaku abnormal lain yang lebih dari sekadar model rambut atau trend bergaul. Korupsi, dekadensi moral hingga persoalan pendangkalan aqidah yang mungkin akan terus terjadi, sehingga tidak ada lagi muncul pertanyaaan: Punk, emang menyimpang? []

MUKHTARUDDIN YACOB, Ketua Aliansi Jurnalis Independen Kota Banda Aceh

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU