Saturday, May 4, 2024
spot_img

OPINI | Peranan Pers Bebas di Era Pemerintahan Baru Aceh

SALAH satu pilar demokrasi yang terpenting adalah pers, sebagai media komunikasi antarpihak yang berada dalam sebuah komunitas, mulai dari komunitas kecil sampai dengan sebuah negara bahkan antarnegara. Tentu saja, bila pers dijadikan sebagai sarana berdemokrasi, maka pers itu harus berada pada esensi yang benar, yaitu pers yang bebas, pers yang adil, dan pers yang tidak memihak. Keberpihakan pers hanya pada satu hal yaitu keberanan atau fakta.

Karena kebebasan yang dimilikinya maka pers selalu menjadi andalan bagi pejuang kebenaran. Sebab, jika pers sudah memihak, justru akan menjadi ancaman bagi demokrasi, karena pers telah sebagai alat penguasa dan kaum penindas. Padahal kebebasan adalah sebuah sikap antipenindasan dan antikesewenang wenangan. Pada awalnya sejarah pers adalah sejarah tentang orang-orang yang ingin menyuarakan hak-hak mereka, antara lain hak untuk mengeluarkan pendapat.

Sejarah perjuangan bangsa-bangsa di dunia termasuk sejarah bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan dan sejarah negeri yang menuntut hak-hak seringkali dikaitkan dengan bagaimana tingkat kebebasan pers. Karena perannya yang begitu besar pula, maka lambat laun pers juga digunakan oleh pihak penguasa untuk mengawetkan kekuasaannya, bahkan untuk melawan suara-suara kebebasan yang didengungkan oleh rakyat melalui pers. Dalam konteks ini, pers tidak lagi bebas. Pers telah menjadi alat kekuasaan. Sedangkan pers yang berlawanan dengan kebijakan penguasa lewat otoritas yang ada padanya melakukan pemberangusan terhadap pers.

Maka dalam perkembangan proses komunikasi di pelbagai sudut dunia –terutama negara-negara berkembang– lahir pers (baik media cetak maupun elektronik) yang menjadi corong pemerintah. Dalam situasi seperti ini pers berpihak kepada mereka yang berkuasa: kepada negara atau partai politik. Maka kebebasan pers bukan lagi menjadi harapan bersama, tetapi justru telah keluar dari cita-cita pers sebagai media yang bebas dan independen.

Di negara-negara otoriter, pemerintah atau partai berkuasa dengan sengaja membangun pers yang kuat untuk membentuk opini, menyampaikan pesan-pesan ideologis, dan menangkal paham atau isme lain yang dapat mengganggu kelanggengan kekuasaan. Lewat pers pula mereka mengisi nalar rakyatnya dengan paham yang mereka anut, sekaligus membangun citra para pemimpin, misalnya citra kepala negara, pimpinan partai politik, atau lembaga parlemen. Ini terutama terjadi di negara-negara komunis, seperti Cina, Chekoslawakia, dan juga Uni Sovyet. Mereka memiki pers berupa surat kabar, radio televisi, dan juga kantor berita resmi pemerintah. Kita mengenal kantor berita Xin Huwa di CIna, atau Pravda di Uni Sovyet.

Pemerintah dengan corak seperti ini –yang antidemokrsai – bukan hanya menerbitkan surat kabar dan membangun media elektronik, tetapi juga menyensor berita secara sistematis yang diterbitkan oleh swasta. Pers kehilangan jati dirinya, yaitu pers yang tidak lagi bebas sebagai alat pembangunan demokrsai. Di negara kita Indonesia juga pernah kita alami situasi seperti ini ketika televisi dan radio hanya dikuasai pemerintah, sedangkan surat kabar jumlahnya dibatasi melalui proses Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak) dari pihak militer. Kemudian diganti dengan SIUPP, tetapi untuk mendapatkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dari Departemen Penerangan pun bukan perkara mudah.

Sekarang Indonesia mengalami lompatan besar di dunia dalam hal kebebasan pers, sejalan dengan bergulirnya reformasi pada tahun 1998. Selain surat kabar tidak lagi memerlukan lagi SIUPP, semua pihak dibenarkan menerbitkan surat kabar. Tidak banyak negara dunia yang memiliki kekebasan pers seperti di Indonesia. Kaum wartawan dan pekerja pers di negara-negara tertentu terus berjuang menuntut kebebasan menulis dan menyiarkan berita sebagai hak dasar dari pers. Maka peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia yang kita peringati sekarang ini sangat penting maknanya, bukan hanya bagi negara yang belum memiliki kebebesan pers sebagai cita-cita mulia, tetapi juga bagi Pemerintah Aceh, yang dalam topik ini kita sebut sebagai pemerintahan baru Aceh.

Partai Aceh yang memenangi pemilihan gubernur/wakil gubernur dan sejumlah bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota, untuk lima tahun ke depan, sebagaimana yang tercantum dalam visi dan misinya sangat mengorhormati hak-hak dasar rakyat yaitu hak mendapatkan kesejahteraaan, kebebasan, dan kemakmuran. Ketiga komponen ini baru dapat dicapai jika pers hanya berpihak pada kebenaran, menjauhi fitnah, dan tidak mengkultus individu. Pers yang baik ialah pers yang mampu dan mau memotret apa yang terjadi di dalam masyarakat.

Bagi pers yang bebas, fakta dan kebenaran adalah komitmen yang harus dipegang teguh. Pers yang baik sebagaimana juga diatur dalam undang-undang dan pelbagai regulasi ialah pers yang menghargai nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Hak memperoleh informasi adalah hak yang tidak boleh dihambat-hambat, baik oleh pemerintah, maupun oleh pers itu sendiri.

Pemerintah baru Aceh di bawah kendali Partai Aceh sesuai dengan mandat yang diberikan rakyat melalui Pilkada 9 April 2012 lalu adalah pemerintah yang berpegang teguh pada butir-butir MoU Helsinki yang kemudian diimplementasikan dalam Undang Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerimtahan Aceh. Untuk memperkuat pemerintahan dalam melaksanakan visi dan misinya dibutuhkan tiga pilar penyokong yaitu parlemen yang kuat dan berkualitas, pers yang bebas dan kritis, serta partisipasi rakyat.

Jika kita runut secara bijak ada tiga hal pokok yang menjadi “hala tuju” Pemerintahan Aceh yaitu, memantapkan perdamaian Aceh dalam bingkai NKRI, memperjuangkan hak-hak rakyat Aceh atas kekayaan alamnya, serta [pelaksanmaan demokrasi dan penegakan hukum. Dari sanalah akan lahir sebuah acuan bagi Aceh yang makmur, Aceh demokratis, dan Aceh yang bermatabat di bawah naungan Dinul Islam sebagai nilai-nilai yang telah diwarisi berabad-abad yang lalu.

Pemerintah baru Aceh adalah pemerintah yang menempatkan pers sebagai pilar utama demokrasi, sehingga semua keluhan, harapan, serta keinginan rakyat dapat diketahui oleh pengelola pemerintahan. Demikian juga setiap kebijakan pemerintah dapat dipahami oleh masyarakat melalui pers yang jujur, pers yang tiudak hanya mementingkan aspek bisnis di atas kepentingan daerah.

Pers yang hanya mementingkan kepentingan bisnis memang wajar saja ketika dunia sekarang memaknai pers sebagai sebuah industri. Namun sebagai salah satu komponen masyarakat Aceh, pers yang terbit dan beredar di Aceh juga memiliki tanggung jawab besar terhadap cita-cita perjuangan rakyat Aceh yang telah memakan korban begitu banyak, dan telah pula memberikan konstrusi besar terhadap pers melalui berita-beritan yang mendunia. Siapa pun tidak menginginkan adanya pers yang tdak adil, pers yang memihak, bahkan pers yang terang-terangan membela hal-hal belum pasti kebenarannya.

Kita membutuhkan pers yang bijak yaitu pers yang bukan hanya menyajikan fakta sumir, tetapi juga dapat melakukan investigasi dan check and recheck terhadap sebuah kasus, baik kasus sosial, kasus kriminal, lebih-lebih kasus politik. Kita sadar memang masyarakat Aceh adalah masyarakat yang sangat menyukai masalah politik termasuk berita politik. Namun kita juga harus mengetahui bahwa pers juga harus mengajarkan cara-cara berpolitik yang santun kepada masyarakat. Sebab, selain berperan sebagai media informasi dan media hiburan, pers juga berperan sebagai media edukatif.

Kami menyadari berapa besarnya peranan pers dalam proses perdamainan Aceh, demikian juga dalam membangun demokrasi di Aceh termasuk dalam pelaksanaan Pilkada yang baru lalu, dan Pilkada di beberapa daerah yang akan dilaksanakan di Aceh dalam waktu dekat ini. Sejalan itu pula pula agaknya sudah pada temptanya kami menaruh harapan kepada pers terutama pers daerah yang mengklaim sebagai persnya orang Aceh agar dapat bersikap bijak dan dewasa. Kami tidak akan meminta agar pers berpihak kepada pemerintah atau Partai Aceh yang mengendalikan pemerintahan, tetapi harapan kami agar kiranya pers dapat bersikap adil dan jujur.

Sebab, faktor kejujuran bagi pers sangat perlu, karena dengan kepercayaan itu itu maka menjadi besar. Pers yang partisan adalah pers yang ingin menggali kuburannya sendiri, karena lama kelamaan masyarakat akan bosan dengan kebohongan yang disajikan oleh koran tertentu. Bagi Pemerintah Aceh ke depan, harapan yang terpenting ialah semua pers yang terbit dan beredar di Aceh dapat menempatkan posisi ini, yaitu poisi yang lebih jujur tanpa memihak.

Sebab, sejarah mencatat bahwa tidak ada sesuatu di dunia ini akan langgeng pada suatu poisi dan kedududukan selama-lama. Tidak ada sebuah partai yang terus menerus eksis jika tidak didukung oleh pers dan masyarakat. Namun masyarakat sebagai pembaca dan pemirsa sekarang sudah lebih arif, sudah lebih cerdas dalam menilai suatu media. Masyarakat pembaca dapat menilainya dari berita yang disajikan, kemudian membandingkan dengan berita media lain atau dengan fakta yang sesungguhnya berada di lapangan.

Maka tidak jarang sebuah surat kabar yang pada awalnya memegang peran penting dengan tiras yang besar, tiba-tiba surut dan mengecil akibat tidak lagi mendapat pekercayaan kepada masyarakat, karena menyiarkan berita-berita yang tidak benar.membela seseorang dan satu golongan, dan dipihak lain menyusutkan tokoh lain dan kelompok lain, karena beberapa factor antara lain karena faktor ekonomis.

Oleh karena itu dalam menyambut Hari Kebebasan Pers Internasional, kita berharap pers yang terbit dan beredar di Aceh juga dapat menjalankan kekebasan tersebut dengan semangat yang lebih elegan dan menjunjung tingi nilai nilai demokrasi. Pemerintah Aceh ke depan adalah pemerintah yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut, dan menampatakan pers sebagai mitra dalam membangun Aceh sesuai dengan butir-butir MoU Hesinki yang telah diimplementasikan dalam UUPA. Marilah kita bersama-sama menjaga kedamaian dan perdamaian Aceh, karena dengan damai dan amannya Aceh maka Indonesia akan damai dan aman. []

*) DR ZAINI ABDULLAH, Gubernur Aceh periode 2012-2017.
**) Tulisan ini disampaikan pada diskusi AJI Banda Aceh memperingati “World Press Freedom Day” 2012 atau #WPFD2012 di Gedung Sultan Selim II Banda Aceh, Kamis, 3 Mei 2012.

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU