Friday, April 26, 2024
spot_img

OPINI | Masa Depan Informasi Bencana

“TERJADI gempa di Pulau Simeulue, durasinya lumayan lama. Jaringan listrik dan komunikasi tidak terganggu, warga masih waspada, meskipun saat ini telah normal kembali.” Demikian isi pesan yang masuk ke email melalui smartphone saya dari Ahmadi, jurnalis yang bertugas di Kabupaten Simeulue beberapa menit setelah gempa pukul 1.38 dini hari tanggal 11 Januari 2012. Lindu berkekuatan 7,6 SR, sekitar 423 kilometer arah Barat Daya Banda Aceh, pada kedalaman 29 kelometer di bawah permukaan laut ini sempat dirilis oleh Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika berpotensi tsunami.

Kemudian masuk pesan lain dari seorang teman yang bekerja pada lembaga kemanusiaan, “Lagi breaking news di CNN. Isinya warning: berpotensi tsunami dalam 50 menit. Jauhi pantai!”. Jam-jam menjelang subuh itu dipenuhi dengan SMS, telepon, email dari grup mailing list (milis) Forum Jurnalis Aceh Peduli Bencana (FJAPB), sahabat, bahkan kerabat dari luar Aceh. Sementara, FJAPB sendiri adalah forum ini terdiri atas para jurnalis dan aktivis yang bekerja di Aceh dan peduli pada isu-isu pengurangan risiko bencana.

Syukur tidak ada kerusakan atau korban jiwa. Masih terekam jelas dalam ingatan masyarakat bagaimana gempa dan tsunami dahsyat memporak-porandakan Aceh dan menimbulkan korban jiwa ratusan ribu jumlahnya pada tanggal 26 Desember 2004. Pengalaman buruk tsunami menjadikan masyarakat Aceh lebih paham tentang bencana khususnya tsunami. Buktinya, tanpa menunggu aba-aba dari otoritas setempat, atau tanpa menunggu sirine tsunami, yang pada saat itu tidak berfungsi, masyarakat sangat tahu harus berbuat apa, yaitu dengan menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi atau ke daerah yang dianggap cukup jauh dari titik pantai.

Tidak hanya email, tapi juga telepon, SMS, Blackberry Messenger,Whatsapp, gencar menginformasikan kondisi terkini pasca gempa. Saya memutuskan untuk evakuasi bersama keluarga berdasar informasi-informasi itu. Tak lupa sambil mengingatkan tetangga sekitar yang sebagian masih terlelap dengan telepon, SMS, bahkan saya sempat keliling komplek perumahan sambil membunyikan klakson mobil menuju ke tempat aman. Beberapa tetangga sempat terjaga atas “kegaduhan” yang saya timbulkan. Ada yang ikut melakukan evakuasi, ada pula yang kembali ke pembaringan namun tetap awas.

Hingga menjelang subuh arus informasi tentang gempa terus mengalir, walau frekuensinya mulai berkurang. “Sekarang sebagian besar warga yang menghindar sudah kembali ke rumahnya masing-masing, namun sebagian masih bertahan di beberapa lokasi. Dan hal yang tak kita inginkan tidak terjadi” pesan jurnalis lain. Subuh itu, lalu-lintas info gempa di tutup oleh jurnalis dari Kabupaten Simeulue, yang sangat aktif memantau dan melaporkan situasi dari daerahnya. “Setelah puas berkeliling melihat situasi bersama Kapolsek Simeuluee Timur, belum ada laporan kerusakan rumah atau bangunan, luka-luka maupun korban jiwa. Dan telah sampai dirumah utk persiapan menyambung tidur yang tertunda.Salam dari Pulau Simeulue” pungkas Ahmadi.

Saat terjadi bencana, kecepatan informasi adalah nyawa. Walaupun keakuratan juga tak boleh abai. Lantas media internet dan turunannya seperti email, facebook, twitter atau BBM menjadi andalan untuk mewartakan bencana agar kepada mereka baik yang berada di lokasi bencana atau di luar. Bahwa bencana tsunami 2004 di Aceh menandai dimulainya era jurnalisme warga (citizen journalism) dimana berita dapat disiarkan oleh siapa saja tak mesti menjadi jurnalis. Bahkan tidak sedikit media massa umum mengadopsi informasi dari warga ini.

Tiga bulan kemudian, tepatnya 11 April 2012 Aceh kembali digoncang oleh gempa berkekuatan 8,5 SR dan menurut BMKG berpotensi tsunami. Pengalaman gempa juga menjadi catatan penting bagaimana kecepatan informasi tentang potensi tsunami menyebar di kalangan masyarakat. Tanpa menanti sirene peringatan tsunami puluhan ribu warga di kota seperti Banda Aceh langsung menyelamatkan diri ke tempat lebih aman. Beberapa media nasional dan asing sempat “memuji” kesiapsiagaan masyarakat Aceh saat ini jauh lebih baik dalam menghadapi gempa dan potensi tsunami. Yang masih catatan merah adalah kapasitas pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) yang dianggap masih lemah misalnya dalam memobilisasi dan mengkoordinasikan sumber daya yang dimiliki, atau yang paling parah adalah tidak berfungsinya sirine peringatan tsunami, untuk kedua kalinya. Sama seperti tiga bulan lalu.

Tidak hanya di Indonesia, pengalaman badai Isaac yang melanda beberapa negara bagian di Amerika Serikat Agustus lalu juga menyisakan kesan tersendiri bagi Gina Masullo Chen yang sempat menuliskan pengalamannya pada laman Nieman Journalism Lab. Saat itu ia bersama keluarganya berada 70 mil dari pantai memantau pemberitaan dari media tradisional (seperti TV, radio dan koran) dan laporan warga melalui media sosial, twitter tentang apa yang sedang terjadi. Media-media tradisional melakukan hal “biasa” dalam meliput bencana seperti jalan raya yang tidak bisa dilewati hingga sekolah yang tutup. Tapi media tersebut juga memanfaatkan jasa twitter dan facebook, bahkan ada yang merancang aplikasi perangkat lunak khusus untuk iPhone dan Android, yang menyediakan informasi perkembangan cuaca terkini, penjelasan badai secara sains, dan membantu warga dalam menyelamatkan diri. Jurnalisme warga diyakini mampu memperkaya peliputan bencana dengan menyediakan tips dan pengalaman-pengalaman yang walaupun belum dikonfirmasikan yang menginformasikan masyarakat tentang apa yang sedang terjadi.

Pengguna Internet Terus Meningkat
Lantas mengapa penyebaran informasi bencana via internet dan jurnalisme warga menjadi makin diminati? Mengutip Ahmad Arif dalam Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme, 2010, hal ini dikarenakan sempitnya ruang penyaluran berita di media-meda arus utama (mainstream) yang makin memperkuat munculnya media tandingan. Sementara untuk konteks Aceh, penggunaan media alternatif ini menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Kesimpulan ini berdasarkan pada data-data dari survey yang pernah dilakukan oleh Disaster Risk Reduction for Aceh atau DRR-A, UNDP akhir tahun 2010 pada 11 kabupaten dan kota di Aceh. Laporan baseline survey tersebut menjelaskan bahwa sumber informasi masyarakat tentang pengurangan risiko bencana paling dominan berasal dari media TV, kemudian diikuti oleh koran, papan pengumuman di tempat umum seperti masjid, kantor desa dan radio. Sedangkan internet (website, blog, dan media sosial) menduduki posisi juru kunci dengan angka kurang dari 1 persen.

Dua tahun kemudian, UNDP melakukan survey akhir (endline survey) untuk melihat trend perubahan dari temuan-temuan sebelumnya. Dalam survei tahun 2012 tersebut juga meneliti karakteristik masyarakat, pemerintah, sekolah tentang pengurangan risiko bencana. Untuk pemimpin pasar tetap dipegang oleh media TV -khususnya TV swasta -, dan koran, walaupun secara kuantitas mengalami penurunan dibandingkan hasil survey tahun 2010. Yang menarik adalah sumber informasi masyarakat di bidang pengurangan risiko bencana dari internet yang sebelumnya tidak mencapai 1 persen kini mengalami kenaikan menjadi 3 persen. Ada pergeseran dimana para konsumen media seperti TV dan koran ataupun radio kini sudah mulai beralih ke internet dalam memperoleh informasi tentang bencana dan informasi-informasi lainnya.

Hal tersebut bukanlah mengada-ada karena layanan internet di Aceh juga mengalami peningkatan, baik itu yang disediakan oleh pemerintah, maupun non-pemerintah dan swasta. Program pemerintah seperti Program Layanana Internet Kecamatan yang dicanangkan Kementrian Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan dinas terkait juga menjadi salah satu faktor penting. Tidak hanya menyediakan layanan internet, pemerintah juga memberikan pelatihan tentang pemanfaatan internet kepada masyarakat.

Salah satu layanan internet yang paling cepat mobilisasi informasi dan penggunanya adalah twitter. Menurut data yang dikeluarkan oleh www.semiocast.com, Indonesia berada posisi ke 5 di dunia dengan jumlah pengguna sebanyak 29,4 juta. Sedangkan nomor satu ditempati oleh Amerikan Serikat dengan141,8 juta pengguna. Media sosial ini termasuk salah satu penyedia dan penyebar informasi yang penting di bidang kebencanaan di Aceh. Jumlah penggunanya pun menunjukkan pola yang terus meningkat. Salah satu akun twitter yang paling berpengaruh dan banyak pengikutnya adalah @iloveaceh (I Love Aceh). Tujuan akun ini adalah sebagai wadah untuk saling berbagi informasi tentang Aceh mulai adat, budaya, kuliner atau apa saja termasuk bencana. Saat terjadi bencana seperti banjir, gempa, kebakaran, longsor yang sempat melanda Aceh beberapa waktu lalu, baik masyarakat, pemerintah, jurnalis bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentang kondisi terkini. Tidak sedikit jurnalis yang juga menjadi pengikut akun ini. Kemudian informasi-informasi yang tersedia tersebut dapat menjadi dasar atau bahan bagi jurnalis dan media untuk menindaklanjuti dan memproduksinya menjadi kisah lain. Pun kita jumpai bagaimana akun-akun twitter dan facebook yang membuat tautan ke website media-media lain.

Di sini kita lihat bagaimana media sosial dan media tradisional menjalin hubungan mesra, dan simbiosis mutualisme. Media sosial sudah tidak bisa lagi dipandang sebeleh mata, karena ia juga mampu menutupi kelemahan TV atau koran dalam kecepatan dan keakuratan informasi. Selain penyedia dan penyebar informasi tentang bencana, kombinasi dua jenis media ini juga terbukti telah sukses dalam menggalang simpati, partisipasi hingga menggalang bantuan dan relawan.

Utilisasi jejaring sosial juga bukan domain masyarakat dan media saja. Pemerintah dan instansi yang menangani masalah bencana juga perlu memperkuat platform seperti ini. Pada tataran nasional, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tentunya sangat paham betapa strategisnya jejaring seperti facebook dan twitter. Namun, untuk tingkat propinsi dan kabupaten, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sudah saatnya memanfaatkan dan mengoptimalisasikan media ini. Karena bencana sering terjadi di wilayah otoritas institusi ini. Dan yang tak kalah pentinga adalah keseriusan pemerintah di daerah untuk terus meningkatkan infrastruktur jaringan internet hingga ke wilayah-wilayah jauh di pelosok.

Akhirnya, masa depan penyediaan dan diseminasi informasi bencana harus dilakukan secara “multiplatform”, mudah dicari, diakses, dan hanya dalam hitungan detik. Sinergisasi dan perpaduan penyebaran informasi tentang bencana antara masyarakat, media dan pemerintah merupakan salah satu faktor krusial bagi pengambilan keputusan sebelum, saat dan pasca bencana, mengurangi potensi kerugian yang ditimbulkan, dan yang paling penting adalah menyelamatkan jiwa akibat bencana yang terjadi. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU