Kota yang kita tinggali ini, yang 12 tahun lalu porak-poranda diamuk tsunami, kekuasaan melakabnya dengan embel-embel “model Kota Madani”, setelah sebelumnya juga pernah digelari nama Kuta Raja.
Madani, sebuah nama yang tidak main-main, kabarnya ada aroma peradaban hendak ditegakkan di sana. Madani adalah penabalan dari kisah panjang perjalanan manusia, dari “jahiliyah” menuju “beradab”, dari membunuh, melecehkan dan merendahkan manusia kepada meninggikan dan memuliakan sesama manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Alkisah, negeri yang berdiri tegak karena kasih sayang dunia ini, kemadaniannya semakin bersinar dengan seringnya mati lampu, sering macetnya air bersih, seringnya hiburan gratis akhir tahun yaitu mencambuk manusia di keramaian untuk menghabiskan duit guna realisasi serapan anggaran, seringnya membatasi kebebasan sipil dan yang paling titik nadir adalah kekuasaan mengimani bahwa ruang-ruang publik bagi warga adalah sarang maksiat, petaka syariat, sehingga harus selalu diawasi dengan ketat, dicurigai secara berlebihan, bahkan ditutup.
Maka semakin lama kita hidup di kota ini, para kelelawar yang sering terbang di Taman Sari pada sore hari pun akan bisa bertanya, ini “madani kekuasaan”, atau “madani peradaban”?
Nalar Warga
Air bersih, listrik menyala-nyala, ruang publik yang nyaman dan aman, kebebasan sipil, bioskop, adalah “nalar warga”.
Di sini, setiap nalar warga, kekuasaan tidak menjawabnya dengan nalar warga, tapi menjawabnya dengan nalar agama. Nalar warga sejatinya harus dijawab oleh kekuasaan sebagai kewajiban “pelayanan publik” terhadap warga.
Bioskop adalah “nalar warga”, kebudayaan warga, fitrah kebudayaan makhluk yang bernama manusia, lalu kekuasaan menjawabnya dengan “nalar agama” bahwa bioskop sebagai ajang tempat maksiat, tanpa membuka ruang negosiasi dalam makna “demokrasi deliberatif” (semua bisa didiskusikan, dibicarakan secara setara, terus menerus), bukan menjawabnya dengan hitam putih.
Mendapati fenomena ini, para syaitan yang ada di Kota Madani pun tertawa. Dengan setengah berbisik, syaitan yang (kadang) juga menyamar memakai sorban berkata: “hahaha… maksiat itu ada di mana-mana kawan, kenapa cuma di bioskop? Maksiat itu bahkan ada di atas mimbar khutbah, di kantor-kantor pemerintah, di ruang-ruang para pejabat. Ketika sedetik saja manusia tidak ada Tuhan yang sebenarnya dalam dirinya, maka detik itu kami para syaitan akan masuk dan dengan mudahnya memaksiatkan manusia.”
Di negeri yang fondasi makrifatnya dibangun Hamzah Fansuri ini, ketika warganya berbicara “nalar warga”, maka kekuasaan segera meninjunya dengan “anti syariat Islam”, “musuh syariat Islam”. Ketika warga bicara kebebasan, mempersoalkan kebebasan yang direnggut kekuasaan, maka kekuasaan segera menghadapkan warganya pada “anti syariat” dan “pro syariat”, sehingga tupoksi kekuasaan bertambah (yang sebenarnya tidak ada dalam undang-undang), yaitu “mengadu domba warganya”.
Ketika warga menuntut pelayanan publik, dan kesetaraan hukum syariat bagi warganya, kekuasaan kerap “buang badan”, lempar handuk akan kewajibannya, dan segera mengganti baju kekuasaannya dengan jubah menjuntai, sambil memegang kitab suci, lalu berkata: “penegakan syariat adalah segalanya, paling utama.
“Kalau penegakan syariat sempurna, maka semua rakyat akan sejahtera. Bersabar sajalah. Jika tidak ada yang sabar dan selalu mempertanyakan kebijakan, ketahuilah bahwa mereka itu adalah musuh-musuh syariat Islam.”
(Saat memegang kitab suci, kekuasaan lupa bahwa “keadilan ilahiyah” harus diturunkan kepada keadilan bagi “insaniyah”). Begitulah kekuasaan, ingat untuk kepentingannya dan lupa ketika itu kewajibannya dan kita warga yang sering sekali ditipu oleh kekuasaan, selalu berjihad membela kekuasaan bukan pada kewajibannya, tetapi pada kepentingannya. Hipokrit…!!!
Kita dan Ketidakwarasan
Kita memang sedang ada di era ketidakwarasan. Kita selalu memuja simbol, tampakan luar, keagamaan kita adalah keagamaan impor. Untuk membangkitkan gairah keagamaan kita, maka ustaz seleb menjadi pilihan motivator. Kekuasaan sering kali “memassalkan agama”, padahal kosong melompong, karena Tuhan hadir di kalbu terdalam seorang hamba yang tenang, diam, bukan dilantang dan kerasnya suara mikrofon di hadapan massa di lapangan.
Kewarasan dan ketidakwarasan hanya dipisahkan oleh penanda kecil saja, yaitu tempat. Seringkali tempat bagi ketidakwarasan adalah ketika kekuasaan yang menjual agama untuk kekuasaan.
Yang paling berbahaya adalah “relasi-relasi kuasa” di luar kekuasaan, relasi kekuasaan bahkan ada di luar struktur kekuasaan, dan menjadi “Tuhan-Tuhan baru”, karena memakai jubah agama. Alhasil, dari “perkawinan serbuk silang” ini telah mengantarkan ketidakwarasan ada di puncak menara, maka ketika itu, kewarasan merantau keluar perbatasan.
Begitulah, kita selalu menyalakan lilin ketika gelap, namun ketika terang, dan sekeliling kita adalah kegelapan peradaban. Kita bersuka cita dan membela, bahwa itu jihad membela agama. Seolah musuh kita hanya maksiat orang-orang bawah, sedangkan syirik orang-orang atas, kita pura-pura tidak tahu.
Beginilah nasib ketika negeri kita serahkan kepada pemimpin yang ingin membawa kita ke surga, padahal Tuhan yang punya surga pun dia tidak kenal, hanya tahu nama dan itupun meraba-raba. Jika ini terus terbiarkan, sekian puluh tahun usia kita, maka sejatinya kita adalah hamba dari ketidakwarasan, bukan hamba Tuhan yang sebenarnya.
Oh… Kota Madani.[]
Teuku Muhammad Jafar Sulaiman adalah pemikir muda dan pemerhati masalah sosial keagamaan.