Saturday, April 27, 2024
spot_img

Mereka yang Hidup Damai di Negeri Syariat

MENDUNG menggelayut di langit Tangse, ketika lima mobil itu melaju menembus aliran sungai, di hari Minggu, awal Maret. Willy, sang sopir, sigap menghindar longsor yang memenuhi badan jalan. Bersama Maun, warga asli Tangse, ia menuntun dua mobil pick up, yang berisi penuh barang. Tak lama, mobil tersebut memelan. Mereka mulai melambaikan salam saat menepi, di kerumunan.

Warga etnis Tionghoa melakukan ritual menyambut Tahun Baru Imlek 2561 di Vihara Dharma Bakti Peunayong, Banda Aceh, Sabtu (13/2/2010). | FOTO: Ucok Parta/ACEHKITA.COM
“Menye awai ata awak Cina hanjet pajoh (Kalau dulu, punya orang Cina nggak bisa makan),” celutuk seorang perempuan, menyambut kedatangan rombongan Willy, sambil cengengesan.

“Hus, orang Cina itu Indonesia juga,” Maun menimpali. Ia warga Tionghoa keturunan, yang lahir dan besar di Tangse, daerah yang baru sepekan lalu dihempas banjir bandang.

Minggu, 4 Maret lalu, bersama sekitar duapuluhan pengurus Vihara Sakyamuni Banda Aceh, Willy mengantar bantuan yang dikumpulkan masyarakat Buddha, yang tinggal di seputaran Peunayong, Banda Aceh.

“Bantuan ini kita kumpulkan secara spontanitas, atas kesadaran umat Buddha di Banda Aceh. Sebagai masyarakat Aceh, secara tidak langsung kita ikut merasakan bencana itu,” kata Wakil Ketua Yayasan Vihara Sakyamuni Banda Aceh Willy Putra Nanda.

Sebagai kaum minoritas di Aceh, mereka, masyarakat Cina keturunan memaknai musibah banjir bandang Tangse, layaknya mereka dihempas gelombang tsunami, 2004 silam.

“Kita merasakan dahsyatnya tsunami waktu itu. Karena itu, kita mengharapkan, dengan sedikit bantuan dari kita, bisa ikut meringankan beban saudara-saudara di Tangse,” ujar Willy, kepada acehkita.com.

Jony, ketua harian Vihara Sakyamuni, yang dijumpai di vihara akhir Februari lalu ikut merasakan hal yang sama. Ia menyadari, tujuh tahun silam, warga Aceh membantu mereka, yang baru disapu tsunami. Karenanya, Jony menuturkan, sudah menjadi kewajiban bagi mereka yang mempunyai rezeki, untuk menyumbang ke Tangse.

“Kita sama-sama orang Aceh. Dulu kita yang kena tsunami, saudara-saudara kita ikut membantu. Sekarang giliran kita yang mungkin ada sedikit rezeki,” papar Joni.

Masyarakat keturunan Tionghoa, hidup berbaur bersama masyarakat Aceh. Di Peunayong, vihara bersebelahan dengan gereja. Tak jauh dari sana, sebuah masjid ikut gagah berdiri. Karenanya, kerusuhan yang mengatasnamakan agama tak pernah terjadi.

Di sini, toleransi yang bagus terus dijaga. Sebagai masyarakat yang tinggal di daerah yang memberlakukan syariat Islam, tentu ada batasan norma yang harus dijaga.

Pengamat Cina di Aceh, A. Rani Usman, yang dijumpai akhir Februari lalu menyebutkan, antara masyarakat Aceh dan Cina bisa hidup bersama dan saling menjaga. Contohnya, kata Rani, bisnis orang Tionghoa di Peunayong lancar-lancar saja. Bahkan mereka berbaur, sama-sama berbisnis di Peunayong.

“Saya melihat kehidupan mereka di Aceh sangat-sangat beda dengan daerah lain. Malah, ketika 20 tahun krisis saja, mereka hidup aman-aman saja. Intinya mereka saling menjaga, saling menghargai,” ucap Dosen Komunikasi Antar Budaya IAIN Ar-Raniry ini.

Hal senada dikatakan Liong, salah seorang guru Bahasa Mandarin di Bimbingan Belajar, Aku Cinta Indonesia (ACI) Peunayong. Ia menyebutkan, toleransi dan rasa saling menghargai antara dua suku –Aceh dan Cina– begitu terasa. Hanya saja, kata Liong, masyarakat Tionghoa yang kadang masih memisahkan diri.

“Orang Cina itu kadang tidak bergaul, seperti memisahkan diri. Padahal kata pepatah, tak kenal makanya tak sayang,” ujar Liong.

A. Rani Usman mempersoalkan hal yang sama. Tidak terbangunnya akulturasi budaya, memberikan batasan yang jauh antara masyarakat Aceh dan Tionghoa.

“Selama ini antara kita dan mereka masih terkotak-kotak. Seharusnya mereka harus menganggap diri sebagai bagian dari orang Aceh, yang lahir dan besar di Aceh. Selama ini yang terjadi, orang Aceh bergabung dengan orang Aceh, sebaliknya orang Tionghoa juga demikian. Itu yang menjadi sebuah kekhawatiran, dan seharusnya kita dan mereka harus bisa saling membuka diri,” ujar Rani.

Permasalahan besar yang dikhawatirkan timbul, adalah ketika ada perasaan etnosentrisme, atau menganggap budaya sendiri lebih baik. “Kalau anggapan itu ada, kehidupan antara kita dan mereka tentu tidak akan harmonis,” tambah Rani.

Perayaan tahun baru Imlek di pasar Peunayong, 11 Februari 2010. | FOTO: Ucok Parta/ACEHKITA.COM
Ia berpesan, seharusnya, warga Cina, jangan menutup diri dengan Peunayongnya. “Jangan juga terlalu sibuk dengan bisnis, nanti ketinggalan informasi lainnya.”

Konflik-konflik kecil antara masyrakat asli dan keterunan, dituturkan Vivi, salah seorang pengurus vihara, tentulah ada. Misal saja, kata Vivi, ada bisikan-bisikan ketika orang Cina singgah di warung kopi.

“Tapi itu tidak menjadi sebuah persoalan. Dan kalau konflik umum yang meluas tidak ada. Kita hidup beriringan dengan masyrakat Islam, dan Kristen.” Vivi menambahkan, ada penghargaan dari umat Buddha dan Kristen yang patut diapresiasi. “Kalau Idul Fitri, orang Cina tidak buka toko. Kalau puasa orang kami juga tidak jualan makanan,” kata Vivi.

Kerukunan bergama bahkan tidak hanya terjadi di sebuah kota besar. Dalam lingkup keluarga, Vivi bahkan mempunyai dua pengikut agama. Keluarga besarnya beragama Buddha. Sedang kakak laki-laki, dan kakak perempuannya beragama Islam.

“Dalam agama Budha, kita sangat terbuka. Cuma memang ada beberapa tradisi yang selalu kita jaga. Misal ketika kakak saya memilih pindah agama, yang pertama dikatakan mama, pikir-pikir dulu. Itu aja. Kemudian mama tanya, apa kamu siap jika nanti mama meninggal, kamu harus sujud?” tutur Vivi lagi. Dalam Buddha menjadi tradisi sujud di kaki jenazah almarhum orang tua.

Kondisi Aceh, kata Vivi, begitu aman, sebatas tak membicarakan masalah keyakinan. Kerukunan dan saling menghargai menjadi kunci, antara warga Aceh dan keturunan tak pernah saling bentrok. “Kan udah diatur dalam pasal 5 keputusan menteri, tidak boleh mengagamakan orang yang telah bergama. Jadi kondisi Aceh sangat-sangat rukun, sebatas kita tidak menyinggung agama,” lanjut Vivi.

Rani Usman, selaku pemeluk Islam juga menuturkan hal yang sama. “Dalam Quran sudah ditulis, lakum di nukum waliyadin,” ujar Rani. Artinya; Bagiku agamaku, bagimu agamamu.

Menyangkut syariat Islam, Rani menjelaskan, tak ada kekangan buat warga Cina. Tidak ada yang mengekang. Masalah pakaian tidak juga mengikat. Hanya saja, sebagai masrakat yang hidup di tengah orang Aceh, harus ada sebuah kesadaran akan budaya Islam, yang masih kental.

“Mereka harus sadar, hidup di Aceh, ya harus beradaptasi dengan kebudayaan di Aceh. Kecuali hukum-hukum lain, semisal mabuk, minum khamar, itu berlaku untuk semua saya rasa,” katanya.

Yang pasti, Aceh menjadi tempat paling aman, tidak ada pengusiran yang mengatasnamakan perbedaan. “Antara kita, Aceh dan Cina, dari dulu hingga kini hidup aman,” kata Rani. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU