Friday, April 26, 2024
spot_img

Mereka Bicara Puisi Zubaidah Djohar “Pulang Melawan Lupa”

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Malam Ahad (5/2), Episentrum Ulee Kareng sesak. Jejeran kursi yang telah diatur tertib umumnya terisi. Hanya satu-dua yang terlihat kosong. Menghahap ke depan, ada sebuah podium yang bersebelahan dengan sofa dan di belakang ada spanduk yang bertuliskan Mereka Bicara Puisi Zubaidah Djohar.

Orang-orang di ruangan itu adalah jamaah sastra. Acaranya dimulai dengan tadarus puisi oleh Nazar Syah Alam dan kawan-kawan. Ya, Azhari Aiyub selaku tuan rumah Episentrum Ulee Kareng menyebutnya begitu; jemaah sastra untuk peserta malam itu.

Dalam acara mereka bicara puisi yakni buku kumpulan puisi bisu yang berjudul Pulang Melawan Lupa karya Zubaidah Djohar dihadirkan dua pembedah; Barlian AW dan Hudan Hidayat. Keduanya sama-sama sastrawan dan penyair.

“Dzu tidak hanya pandai berbahasa telanjang/terus terang, tapi dia juga pandai bermetafora,” sebut Hudan Hidayat.

Atas pernyataannya itu, Hudan mencontohkannya seperti yang terdapat dalam puisi Dzu yang berjudul Menanam Doa. “Di sini bahasa Dzu mengandung kekuatan empatik.”

Menurut dia, Zubaidah Djohar bisa memainkan dua bahasa sekaligus. “Paradog juga itu, satu kekuatan tersendiri,” ucapnya.

Sementara di mata Barlian AW, Zubaidah adalah penyair perempuankeempat di Aceh setelah Rosni Idham, Wina dan Dek Nong Keumalawati.

“Dzu datang membela sejarah sosiologis Aceh,” sebut Barlian.

Setelah diawali dengan tadarus puisi, acara yang diberi tema Intervista Con La Storia – Rantam Atra Kaleupah juga disertai nangka potong (cang panah) kebudayaan khususnya seputar buku tersebut.

Reza Idria dari Komunitas Tikar Pandan menyapa jamaah sastra malam itu dengan prolognya terhadap buku Zubaidah Djohar. Kemudian Fauzan Santa mempersembahkan cang panah kebudayaannya dengan membaca cerpen berjudul Pedagang Kacang dari Berenun karya Hamsad Rangkuti. Dan acaraini sendiri ditutup dengan cang panah kebudayaan yang disampaikan oleh Azhari Aiyub.

Nah, di sela-sela bedah buku juga tampil beberapa orang dari jamaah sastra yang membacakan puisi di dalam buku Zubaidah Djohar. Misalnya Maimun Saleh membaca puisi Dzu yang berjudul Di Negeri Tujuh Ribu Rok. Kemudian Prossa dan juga salah seorang jemaah sastra mewakili perempuan ikut tampil.

Bagi Dzu sendiri ketika ditanya kenapa memilih puisi, ia membuat pengakuan, puisi adalah jiwa. “Jadi bukan sekadar kata-kata indah, tapi bagaimana ketajaman jiwa dalam merangkai kata,” sebutnya.

Dalam buku puisi Pulang Melawan Lupa yang diterbitkan oleh Lapena ini terangkum 73 puisi yang terbagi dalam dua bab. Bab pertama disebut kebenaran bisu, sementara bab keduanya dinamakan pulang.

Dijelaskan, kebenaran bisu merupakan realitas kehidupan masyarakan terutama kaum perempuan di tengah perdamaian Aceh. Sedangkan pulang berarti mengajak merenung bahwa misi kita di dunia ini adalah menyemai kehidupan menuju pulang.

Terakhir, Fauzan Santa selaku pemandu acara berpesan kepada jamaah sastra pada malam itu untuk pulang tidak membawa lupa. “Tapi pulanglah dengan membawa diary,” serunya. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU