“BAGAIMANA sejarah lahirnya Acehkita?”
“Itu bagian dari pelarian,” kata Risman A Risman.
Dia berkisah, waktu itu ada pengumuman pemberlakuan Darurat Militer. Informasi dari kawan-kawan, dia termasuk dalam daftar pencarian mereka. Mengikuti saran banyak sahabat, Risman pun dievakuasi ke Jakarta.
Pada masa Darurat Militer, banyak aktivis bernasib seperti Risman. Akibat menyuarakan penolakan terhadap kebijakan pemerintah pusat itu, tak jarang dari mereka ditangkap dan diculik. Bahkan aktivis Aceh yang sudah berada luar pun terpaksa bungkam agar tidak berimbas kepada aktivis di dalam Aceh.
Sebagai mantan Direktur Koalisi NGO HAM, duduk diam tak bekerja, merupakan aib besar bagi Risman kala itu. Darurat Militer yang membungkam informasi dan media membuatnya selalu berpikir, bagaimana supaya informasi sebenarnya tetap bisa dibaca oleh seluruh dunia.
Saat itu media mainstream tidak berani menyiarkan informasi sebenarnya dari daerah konflik karena takut dibrendel PDMD. Menurut Risman, jika media tak menginformasikan keadaan sesungguhnya dari wilayah perang, maka tidak akan ada yang memperhatikan konflik di Aceh. “Kalau informasi yang keluar dari Aceh tidak benar, konflik di Aceh akan terus terjadi. Itulah mengapa gagasan membuat media alternatif penting waktu itu,” ujar Risman.
Saat itu Risman mengaku bukan siapa-siapa di Ibukota. Berkat bantuan Smita Notosusanto yang menjabat sebagai direktur Cetro (lembaga yang bergerak dalam isu reformasi konstitusi) mempertemukan Risman dengan Dandhy Dwi Laksono, mantan produser Liputan 6 SCTV yang dipecat karena menyiarkan berita testimoni korban konflik Aceh. Baru setelah itu bergabung pula J. Kamal Farza (Koordinator SAMAK- Solidaritas Aksi Masyarakat Anti Korupsi).
Rapat mengenai pembuatan media ini terus barlangsung. Markas acehkita saat itu adalah kantor Cetro. Buah dari rembuk beberapa kali antara Risman dan kawan-kawan akhirnya melahirkan acehkita.com.
Ketika Risman di Jakarta, dia tidak pernah berpikir bahwa konflik Aceh itu akan berakhir. Buktinya, saat itu sudah ada wacana untuk membuat konstitusi Aceh, yaitu semacam Undang Undang Dasar Negara.
Hanya saja dibenak Risman, bagaimana mengelola konflik Aceh secara damai dan menghentikan konflik bersenjata. Melihat kondisi masa Darurat Militer itu, dia sendiri mengakui sangat kecil kemungkinan untuk berdamai. Namun tetap berharap jangan sampai ada korban jiwa dalam operasi militer itu.
Sebagai media advokasi, itulah bagian dari tuga acehkita, yang bertujuan memberikan tekanan kepada dua belah pihak yang bertikai dan demi memblokade informasi yang dibuat oleh PDMD. Acehkita juga menggalang opini masyarakat dunia, bahkan ikut menerbitkan ‘Majalah Acehkita’ dalam dua versi, Indonesia dan Inggris.
“Konsep awal redaksi Acehkita lebih banyak teks, tak lama setelah itu mengarah kepada foto,” ungkapnya.
Dalam etika jurnalistik tidak dibenarkan menyiarkan informasi bersifat sadis. Termasuk foto korban kekerasan. Namun media acehkita tetap mempublikasikan foto “berdarah” (begitu mereka menyebutnya). Alasan mereka, jika kondisi korban tindak kekerasan tidak disiarkan lewat foto, orang tidak bisa membayangkan bagaimana kerasnya konflik di Aceh.
Data statistik terhadap korban konflik setiap bulannya memang disajikan oleh banyak media; berapa jumlah orang mati, berapa jumlah pengungsi, dan lainnya. Tetapi tidak ada yang tahu persis bagaimana fakta kondisi orang mati dan pengungsi di Aceh saat itu. Acehkita tampil sedikit berbeda.
Seperti sebuah foto jenazah yang terikat di pohon Pinang ini.
Tubuh itu kaku. Warna kulitnya pucat, tersatu dengan batang pohon Pinang yang juga pucat. Tubuhnya terikat di batang pohon, dengan kedua tangan dililit tali ke arah belakang. Ditengah mulut ada saputangan putih, juga terikat pada batang pohon menahan kepalanya agar tak terjatuh. Dalam mulutnya ada sumpalan kain yang sudah tak jelas lagi warnanya.
Kepalanya agak sedikit miring. Lehernya nyaris putus. Wajahnya menyisakan sisa-sisa lebam. Kakinya menekuk tepat dibagian lutut.
Potongan tubuh yang terikat itu tinggi besar. Otot-otot yang liat terlihat jelas di sana. Dia hanya menggunakan celana dalam saja, warna hijau tua. Di sekujur tubuhnya ada sisa-sisa darah kering. Mulai dari leher. Di dada. Di paha sampai kaki (Cerita Di balik Foto Tarmizy-Acehkita edisi Maret 2004).
Begitulah Tarmizi Harva menggambarkan foto jenazah yang ditemukan di Dusun Batee Leusung, Desa Seumirah, Kecamatan Nisam, Aceh Utara. Dalam tulisannya di Majalah Acehkita, fotografer Rueters ini juga melampirkan sebuah foto hasil bidikannya yang memenangkan penghargaan khusus World Press Photo (WPP) untuk kategori berita tunggal pada Februari 2004.
“Foto-foto inilah yang kemudian menggeparkan Jakarta dan internasional. Kami dimarahi dan ditegur keras oleh funding. Tapi itulah adanya. Memang tak ada foto di Aceh yang tidak berdarah,” kata Risman.
Kebutuhan terhadap yayasan untuk mengumpulkan dana, kemudian mendorong para pendiri acehkita mengajak serta beberapa pentolan LSM seperti Debra Yatim, Binny Buchori, Otto Syamsuddin Ishak, dan Todung Mulya Lubis sebagai board ‘Yayasan Acehkita’.
“Saya tidak ingin menjadi board yayasan Acehkita karena waktu itu baru saja berlaku UU yayasan, yang menyebutkan bahwa pendiri tidak boleh menerima gaji. Itulah mengapa saya tidak masuk sebagai salah satu pendiri yayasan,” akui Risman sambil tersenyum. []
ADI WARSIDI | DESI BADRINA | TEUKU ARDIANSYAH